JAKARTA, HUMAS MKRI - Hari kedua Sosialisasi 4 Pilar Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) dan Peningkatan Hak Konstitusional Warga Negara bagi Muslimat Nahdatul Ulama (NU) dan Wanita Syarikat Islam yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi (MK) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua pada Rabu (18/11/2020) diisi dengan berbagai sesi materi secara virtual.
Ketua MK periode 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menyajikan materi Konstitusi dan Konstitusionalisme. Dalam kegiatan tersebut, Jimly menyebut bahwa kegiatan sosialisasi seperti ini sangat penting agar warga negara memiliki persepsi yang sama dalam berbangsa dan bernegara. Menurut Jimly hal ini penting sekali untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai hak konstitusional bagi warga negara.
“Sebagai warga negara juga harus paham dalam kehidupan bernegara karena secara konstitusionalisme melaksanakan prinsip-prinsip bernegara yang ditetapkan founding father,” ujarnya di hadapan para peserta baik secara luring maupun daring.
Selain itu, Jimly juga mengatakan, masyarakat harus menjaga konstitusi sampai generasi ke depan. Ia menyebut, konstitusi merupakan suatu kesepakatan. Karena berupa kesepakatan sehingga tidak semua dapat terpuaskan dengan hal tersebut. “Memang konstitusi tidak bisa memuaskan semua pihak maka warga yang merasa konstitusinya terlanggar berhak memperjuangkannya ke mk,” jelas Jimly.
Empat Pilar
Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua MPR Kordinator Bidang Sosialisasi 4 Pilar, Ahmad Basarah menjelaskan bahwa 4 pilar MPR adalah Pancasila sebagai dasar dan UUD 1945 sebagai konstitusi serta ketetapan MPR. Ia mengatakan, negara kesatuan RI merupakan bentuk negara sementara bhinneka tunggal ika sebagai semboyan negara.
Lebih lanjut Ahmad menjelaskan, bahwa sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara adalah sosialisasi tentang Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi negara. NKRI sebagai bentuk negara yang bersifat final dan bhinneka tunggal ika sebagai sistem sosial bangsa Indonesia. Menurutnya, penyebutan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara tidaklah dimaksudkan bahwa keempat pilar tersebut memiliki kedudukan yang sederajat. Karena setiap pilar memiliki tingkat, fungsi dan konteks yang berbeda.
Selain itu, Ahmad menjelaskan, dalam putusan MK Nomor 100/PUU-XI/2013 tentang pengujian UU 2/2011 tentang partai politik, MK menegaskan posisi pancasila sebagai dasar negara. Putusan MK tersebut tetap mempertahankan dan mendukung upaya pendidikan karakter bangsa dengan tetap menyatakan konstitusional upaya parpol dan lembaga negara lainnya yang melaksanakan pendidikan melalui pemasyarakatan Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, sambung Ahmad, terdapat perbedaan hukum antara pelaksanaan kegiatan sosialisasi empat pilar berbangsa dan bernegara yang dilakukan MPR selama ini dengan putusan MK. “Payung hukum kegiatan MPR adalah UU 27/2009 sementara yang digugat pemohon dan dikabulkan MK adalah UU parpol,”ujarnya.
Dikatakan Ahmad, MPR harus melaksanakan program 4 pilar ini karena pendidikan pancasila hilang dari kurikulum pendidikan nasional. Menurutnya, negara dianggap abai sehingga untuk mengisi kekosongan peran negara dalam membentuk mental dan ideologi bangsanya ketua MPR periode 2009-2014 Taufiq Kiemas merancang dan melaksanakan agenda pemantapan nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan melalui sosialisasi 4 pilar.
Dengan demikian, pada prinsipnya, Pancasila tetap diposisikan sebagai ideologi dan dasar negara yang kedudukannya berada di atas tiga pilar lainnya. Dimasukkannya pancasila sebagai bagian dari 4 pilar semata-mata untuk menjelaskan adanya landasan ideologi dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu pancasila yang menjadi pedoman penuntun bagi pilar-pilar kebangsaan dan kenegaraan lainnya.
Sejarah Perubahan UUD 1945
Pada sesi berikutnya Anggota DPR Komisi XI Agun Gunandjar Sudarsa menyampaikan materi mengenai Sejarah Perubahan UUD NRI Tahun 1945. Agun menjelaskan tujuan dilakukan perubahan yaitu untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara, kedaulatan rakyat, hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, kesejahteraan sosial, serta eksistensi negara demokrasi dan negara hukum. Perubahan dilakukan secara menyeluruh maka untuk memahami UUD ini menjadi sulit.
Lebih lanjut Agun menjelaskan, sebelum lahirnya MK, supremasi konstitusi tidak lagi ada pada MK. Tetapi supremasi itu ada di pasal 1 ayat (2) dimana rakyat memiliki kedaulatan yang dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Namun, MPR tidak diberikan kewenangan untuk melakukan pengujian perundang-undangan yang ada di bawahnya. Sehingga, banyak peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya yang justru bertentangan dengan nilai-nilai konstitusi itu sendiri.
Jaminan HAM
Sementara pemateri terakhir hari ini, Amzulian Rifai Ketua Ombudsman menyampaikan materi Jaminan Hak Konstitusional Warga Negara dalam Semangat Bhinneka Tunggal Ika. Ia mengatakan, HAM di Indonesia didasarkan pada konstitusi dan beberapa perundang-undangan. Banyak upaya negara untuk memberikan jaminan untuk warga negaranya.
Selain itu, Amzulian menjelaskan bahwa terhadap HAM ada mekanisme global, regional dan regional terhadap perlindungan HAM. Selain itu, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan dan lembaga yang memberikan proteksi terhadap pelanggaran HAM.
Sebagai informasi, kegiatan ini dilaksanakan 4 hari pada Selasa – Kamis (17 – 19/11/2020) dari Muslimat Nahdatul Ulama (NU) dan Wanita Syarikat Islam. Kegiatan sosialisasi ini diikuti oleh peserta baik secara daring (online) maupun secara luring (offline) di Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi, Cisarua, Bogor. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari