JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU GD) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (17/11/2020) siang. Pemohon Perkara Nomor 94/PUU-XVIII/2020 ini adalah Ahmad Amin, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Pendidikan Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), serta Pasal 56 ayat (1) UU GD. Sedangkan yang menjadi batu uji Pemohon adalah 19 pasal dalam UUD 1945, yaitu Pasal 1 Ayat (3), Pasal 4 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (2), Pasal 18 Ayat (2), Pasal 18 Ayat (5), Pasal 20 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (2), Pasal 20 Ayat (4), Pasal 20A Ayat (1), Pasal 22A, Pasal 22D Ayat (1), Pasal 22D Ayat (2), Pasal 23 Ayat (1), Pasal 23 Ayat (2), Pasal 23C, Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (2), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pemohon hadir di persidangan secara virtual tanpa didampingi kuasa hukum. Pemohon mengungkapkan saat ini Pemohon menerima gaji pokok berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedelapan Belas Atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil yang secara langsung maupun tidak langsung adalah bagian daripada eksekutif, sehingga memiliki hak untuk membicarakan UU a quo baik materi maupun dasar hukumnya, prosedur dan peran lembaga ekskutif dan legislatif dalam menjalankan UUD 1945, kepastian kewenangan lembaga Legislatif Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Eksekutif (Presiden).
Menurut Pemohon, dengan berlakunya ketentuan a quo, yang menetapkan gaji pokok sebagai besaran mata anggaran tunjangan profesi dan belanja keuangan negara untuk kelompok guru dan dosen berdasarkan penalaran yang wajar telah melanggar hak konstitusional Pemohon atas kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Tahun 1945.
“Berlakunya ketentuan a quo, yang menyatakan gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah berdasarkan penalaran yang wajar telah melanggar hak konstitusional Pemohon sebagaimana telah diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Ketentuan a quo menisbatkan gaji pokok guru yang diangkat satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah, gaji pokok dosen kepada gaji pokok PNS dalam PP No. 7/1977 berdasarkan penalaran yang wajar telah melanggar hak konstitusional Pemohon yaitu adanya jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum yang telah diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” kata Ahmad Amin.
Selain itu, menurut Pemohon, berlakunya ketentuan a quo, yang menetapkan gaji pokok menjadi besaran tunjangan profesi, tunjangan khusus guru/dosen serta tunjangan kehormatan bagi profesor berdasarkan penalaran yang wajar telah melanggar hak konstitusional Pemohon untuk berhak mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, yang telah diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“UU a quo yang mengamanatkan mata anggaran tunjangan profesi, tunjangan khusus dan tunjangan kehormatan serta besaran belanja negara dalam undang-undang sebagai produk yang menggambarkan kewenangan dan hak DPR telah merugikan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum bahwa negara dikelola sesuai Konstitusi. Padahal keuangan negara merupakan bagian dari Pemerintahan yang menjadi wewenang Presiden,“ ungkap Ahmad.
Oleh karena itu, Pemohon mengajukan sembilan petitum tertuang dalam permohonan ini. Salah satu petitum Pemohon yaitu, Pemohon meminta MK menyatakan materi kalimat “.... diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama;” pada pasal 16 ayat 2 bahwa Tunjangan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama sepanjang dimaknai gaji pokok PNS bertentangan dengan konstitusi UUD NRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Perbaikan Urutan Permohonan
Sidang pengujian materi UU GD ini dilaksanakan oleh panel hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Saldi Isra bersama dua anggota panel Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh. Menanggapi permohonan Pemohon, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar Pemohon memperbaiki urutan permohonan menjadi lebih sistematis. “Urutan-urutan dalam permohonan agar diperbaiki, kata Daniel.
Selain itu, tambah Daniel, dalam sistematika permohonan dicantumkan identitas Pemohon, kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, alasan permohonan, dan terakhir petitum. Kemudian menasehati Pemohon agar menguraikan pasal-pasal yang diuji dan pasal-pasal yang menjadi batu uji.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menilai permohonan Pemohon terlalu tebal sehingga agak sulit untuk memahami permohonan tersebut. “Permohonan Bapak harus disederhanakan, memenuhi sistematika permohonan yang baik, isinya juga sederhana saja, tidak usah mutar-mutar seperti ini sehingga permohonan mudah dipahami. Kemudian dalam kedudukan hukum, Bapak harus lebih menguraikan identitas Bapak yang PNS namun bukan guru dan mempersoalkan gaji guru dan dosen. Bapak juga harus menjelaskan keterkaitan kerugian konstitusional Bapak sebagai PNS yang mempersoalkan gaji guru dan alokasi dana dari APBN. Termasuk SK Bupati untuk pengangkatan Bapak sebagai PNS. Jadi harus lengkap,” jelas Suhartoyo.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyoroti banyaknya pasal dalam UU GD yang dijadikan sebagai dasar pengujian oleh Pemohon. “Semakin banyak Bapak menggunakan dasar pengujian konstitusional, semakin banyak yang harus Bapak uraikan. Misalnya, Bapak menguji Pasal 16 ayat (2). Bapak harus menjelaskan mengapa Pasal 16 ayat (2) bertentangan dengan pasal-pasal yang menjadi batu uji. Kecuali Bapak tentukan, misalnya Pasal 16 ayat (2) bertentangan dengan dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945, cukup dijelaskan satu pasal,” tegas Ketua Panel Saldi Isra.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari.