JAKARTA, HUMAS MKRI - Warga negara yang merasa dirugikan atas tindakan pemblokiran yang dilakukan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) dapat mengajukan upaya administratif. Upaya administratif yang dapat ditempuh terdiri atas keberatan dan banding sebagaimana diatur pada Pasal 7 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Hal ini disampaikan oleh Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan, dalam sidang mendengarkan keterangan pemerintah yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, pada Selasa (17/11/2020). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 81/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Redaksi Suara Papua dan AJI yang menguji Pasal 40 ayat (2b) UU ITE.
“Sesungguhnya ketentuan a quo sama sekali tidak menghambat dan menghalangi hak Para Pemohon untuk mengajukan gugatan ke lembaga peradilan atas tindakan pemutusan akses yang dilakukan oleh pemerintah karena tindakan pemerintah tersebut dapat dinyatakan tidak sah oleh lembaga peradilan, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Administrasi Pemerintahan,” ujar Semuel di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Semuel yang mewakili Pemerintah menjelaskan ketentuan a quo haruslah dibaca satu kesatuan yang utuh dengan norma pandahulunya, khususnya norma rujukannya, yaitu Pasal 40 ayat (2a) UU ITE. Apabila cermati ketentuan Pasal 40 ayat (2a) Undang-Undang ITE Perubahan, maka menjadi sangat jelas bahwa norma tersebut memberikan kewajiban kepada pemerintah melakukan pencegahan, penyebarluasan, dan penggunaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Berkenaan dengan dalil Para Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan a quo menutup ruang ketersediaan mekanisme perlindungan untuk menghadapi penyalahgunaan, termasuk komplain dan pemulihan atas pemblokiran konten yang dilakukan secara sewenang-wenangan, hal ini tidaklah benar karena faktanya situs web Suara Papua telah dilakukan normalisasi pada tanggal 20 Desember 2016. Selain itu, mekanisme komplain pemulihan atas pemblokiran atau penghapusan konten, merupakan implementasi teknis dari ketentuan a quo yang telah diatur dalam Pasal 16 PM Kominfo 19/2014,”urai Semuel.
Baca juga: Sempat Alami Pemblokiran, Redaksi Suara Papua dan AJI Gugat UU ITE
Konten Separatis
Menurut Semuel, pemutusan akses terhadap situs suarapapua.com telah melalui proses yang ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu telah melalui verifikasi oleh tim task possessive dan hasil verifikasi dinyatakan bahwa situs Suara Papua mengandung konten yang melanggar hukum, yaitu konten separatisme. Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) juga telah membuka ruang pengaduan komplain untuk pengujian terhadap situs internet yang dianggap meresahkan masyarakat sudah tidak lagi mengandung konten negatif. Tak hanya itu, lanjutnya, Kemenkominfo juga membuka ruang bagi pengelola situs untuk mengajukan normalisasi atau pemulihan atas pemblokiran. Ia menjelaskan, tata cara dalam pelaksanaan normalisasi telah diatur dalam Ketentuan Pasal 16 Peraturan Menteri Kominfo Nomor 19 Tahun 2014.
“Dalam ketataan implementasi teknis terkait peraturan konten internet negatif dan normalisasi situs atas pemblokiran situs yang bermuatan negatif, Kementerian Kominfo dan Informatika telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP). Pelaporan konten negatif dan normalisasi situs untuk menunjang kelancaran dalam pemrosesan normalisasi dan juga memberikan kepastian hukum. Sehingga, ketentuan a quo dan mekanisme pelaksana secara teknis telah diatur oleh hukum, sehingga tidak menyalahi prinsip prediktabilitas. Kementerian Komunikasi dan Informartika juga menyediakan situs trust positive dalam rangka transparansi penanganan konten internet yang melanggar hukum,” urai Semuel.
Dalam pelaksanaannya, sambung Semuel, pemutusan akses hanyalah dilakukan terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dalam rangka melindungi hak asasi individu lain, kepentingan umum, dan/atau keamanan negara. Sehingga telah sesuai dengan prinsip legitimasi yang diatur dalam Pasal 19 ayat (3) ACCPR. Selain itu, dengan telah diberikan ruang untuk normalisasi situs internet yang telah diblokir, maka telah sesuai dengan prinsip proposionalitas.
Baca juga: Redaksi Suara Papua dan AJI Perbaiki Permohonan Uji UU ITE
Sebelumnya, Para Pemohon merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi. Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah. Ia menegaskan, bahwa kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law.
Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, maka hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut kepada Pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi. Hal demikian membuat sulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada Pemerintah melalui lembaga Peradilan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU ITE dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Andhini