JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (16/11/2020) siang. Para Pemohon diwakili tim kuasa hukum.
Perbaikan permohonan antara lain dengan mempersingkat penjelasan mengenai Kewenangan Mahkamah. “Berkaitan dengan Kewenangan Mahkamah, berdasarkan catatan kemarin agar dipersingkat. Maka dengan ini kami menyatakan dipersingkat Kewenangan Mahkamah dan juga berkaitan dengan legal standing, berkaitan dengan para Pemohon untuk dipisah menjadi Pemohon I, Pemohon II untuk kemudian dinyatakan sebagai para Pemohon. Terus ada juga beberapa tambahan alat bukti berkaitan dengan konvensi diskriminasi yang sudah kami masukkan dan penambahan pokok perkara satu poin,” kata kuasa Pemohon, Nova Harmoko.
Sementara kuasa Pemohon lainnya, Ahmad Fauzi menerangkan perbaikan permohonan terkait petitum. Adapun dalam perbaikan perbaikan petitumnya, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor bertentangan dengan UUD 1945. Menyatakan Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor yang frasa sebelumnya: “hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”, berlaku konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) menjadi frasa baru yang selengkapnya berbunyi: “masa tugas hakim Ad Hoc adalah untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan diusulkan untuk diangkat kembali setiap 5 (lima) tahun oleh Mahkamah Agung”.
Baca Juga:
Dua Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor Mempersoalkan Masa Jabatan
Untuk diketahui, Pemohon Perkara Nomor 85/PUU-XVIII/2020 ini adalah Sumali (Pemohon I) dan Hartono (Pemohon II). Sumali dan Hartono adalah Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Para Pemohon melakukan pengujian Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor yang menyebutkan, “Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Para Pemohon mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya pasal tersebut karena adanya periodisasi jabatan hakim ad hoc tipikor selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali jabatan. Hal ini menurut para Pemohon dapat mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi.
Adanya periodisasi jabatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali jabatan sangat merugikan para Pemohon karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan payung kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam ketentuan undang-undang tersebut tidak ada satupun norma pasal yang mengatur periodisasi bagi hakim yang berada di lingkungan peradilan maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia, sehingga norma tentang periodisasi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk kerugian yang nyata bagi para Pemohon, yang melampaui peraturan dasarnya yakni ketentuan Pasal 24 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.