JAKARTA, HUMAS MKRI - Sesuai dengan visi untuk menciptakan peradilan yang modern, permohonan di Mahkamah Konstitusi lebih mengutamakan substansi sehingga Pemohon dalam mengajukan permohonan boleh tanpa didampingi kuasa hukum. Karena pada dasarnya, model permohonan yang dibuat oleh Pemohon sederhana sekali. Demikian sepenggal kalimat yang diutarakan Wakil Ketua MK Aswanto dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat Angkatan XII yang diselenggarakan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Sabtu (14/11/2020).
Dalam pemaparan materi berjudul “Beracara pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Aswanto menyebutkan kendati sederhana, masih banyak dari permohonan khususnya pengujian undang-undang (PUU) yang masih belum memahami pentingnya keberadaan legal standing Pemohon. Karena bagian ini menjadi gerbang awal bagi Mahkamah untuk masuk pada pokok permohonan.
“Bahkan akibat tidak diuraikan secara komprehensif, banyak dari Pemohon yang permohonannya tidak dapat diterima atau gagal akibat hal ini,” jelas Aswanto dalam kegiatan yang diselenggarakan bekerja sama dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Selain itu, Aswanto juga mengatakan, bagian berikutnya dari permohonan yang harus diamati adalah Posita atau alasan permohonan. Pada bagian ini, Pemohon juga diperkenankan mengulas legal standing dengan membangun argumentasi berlandaskan teori yuridis, filosofis, dan sosiologis. Dengan demikian, tergambar sebab akibat dan pertautan antara legal standing Pemohon.
Berikutnya, Aswanto menjabarkan terkait perbedaan pengujian undang-undang yang terdiri atas pengujian materil dan formil. Pengujian undang-undang secara materiil berkenaan dengan muatan materi dalam ayat, pasal, dan atau bagian undang-undang yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. Sementara pengujian formil berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang. Dalam pengajuan pengujian formil terdapat batasan waktu, yakni 45 hari setelah undang-undang tersebut dimuat dalam lembaran negara.
Aswanto juga menyebutkan pula bahwa terkait dengan putusan MK harus diperdengarkan karena sifatnya yang mengikat bagi seluruh pihak, bukan hanya bagi para pihak yang berperkara. “Maka dari itu, sebagai peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir, maka sifat dari putusan MK pun bersifat final dan erga omnes,” jelas Aswanto.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.