JAKARTA, HUMAS MKRI – Negara Indonesia adalah negara hukum. Ada dua prinsip yang dikenal dalam negara hukum. Pertama adalah konsep rule of law yang dikembangkan dalam negara-negara anglo saxon dengan common law system. Kedua, konsep negara rechtsstaat yang popular di negara-negara kontinental dengan civil law system.
“Sebenarnya dua prinsip ini secara garis besar sama, walaupun ada perbedaan-perbedaan. Tetapi secara prinsip ketika berbicara mengenai rule of law dan rechtsstaat, kita paham bahwa pada dua prinsip ini ada elemen-elemen dasar yang harus dipenuhi sehingga sebuah negara bisa dinyatakan menggunakan konsep rule of law atau rechtsstaat,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Aswanto dalam Webinar Nasional “Peran Praktisi Hukum KKSS dalam rangka Penegakan Hukum di Indonesia” pada Sabtu (14/11/2020) siang yang diselenggarakan oleh Badan Pengurus Pusat Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (BPP KKSS).
Dalam konteks rechtsstaat, pakar hukum Julius Stahl mengatakan bahwa syarat untuk disebut sebagai negara hukum adalah negara harus betul-betul melindungi hak asasi manusia. Dikatakan Aswanto, ada tiga Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Konstitusi RIS pada 1949, UUDS 1950.
“Kenapa UUD 1945 periode pertama menjadi Konstitusi RIS? Karena norma dalam UUD 1945 periode pertama belum maksimal menjamin hak asasi manusia. Namun norma dalam Konstitusi RIS dianggap belum maksimal, terutama dari aspek pengaturan dan perlindungan hak asasi manusia. Itulah muncul lagi UUDS 1950 yang sangat bagus dalam pengaturan dan perlindungan hak asasi manusia. Itu syarat pertama untuk disebut sebagai negara hukum,” urai Aswanto yang menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi.
Di Indonesia, setelah dilakukan amendemen UUD 1945, jaminan hak asasi manusia jauh lebih komprehensif. Selain jaminan hak asasi manusia, kata Aswanto, syarat kedua untuk disebut sebagai negara hukum harus ada pembagian kekuasaan dalam negara. Ada kekuasaan legislatif sebagai pembuat norma. Dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa kewenangan membuat undang-undang dilakukan oleh DPR bersama pemerintah. Kemudian ada kekuasaan eksekutif, di samping sebagai pelaksana pemerintahan, juga kewenangan bersama-sama DPR memiliki kewenangan legislasi. Berikutnya, ada kekuasaan judikatif sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945 yang dikaitkan dengan sistem pengadilan di Indonesia. Termaksud di dalamnya adalah Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya.
Aswanto melanjutkan, syarat ketiga untuk disebut sebagai negara hukum adalah harus berdasarkan undang-undang. Hak asasi manusia bisa dinegasikan dalam konteks tertentu, sepanjang hak asasi manusia itu dinegasikan oleh undang-undang. “Jadi hanya undang-undang yang boleh menegasikan hak asasi manusia. Meski secara filosofis, ada hak asasi manusia yang tidak boleh dikesampingkan,” ujar Aswanto yang juga menyebutkan adanya peradilan yang bebas sebagai syarat keempat untuk disebut negara hukum.
Kemudian menurut pakar hukum lainnya, AV Dicey menerangkan prinsip tentang rule of law. Menurut Dicey, untuk disebut sebagai negara hukum, pertama harus ada supremasi hukum, bahwa hukum di atas segala-galanya. Bukan pembangunan di atas hukum, tapi hukum di atas pembangunan. Kedua, untuk disebut sebagai negara hukum harus ada persamaan di hadapan hukum, semua warga negara dapat mengambil bagian dalam hukum dan pemerintahan tanpa ada kecuali. Ketiga, untuk disebut sebagai negara hukum harus ada proses hukum, proses peradilan yang betul-betul adil, sebagai pengejawantahan dari seluruh rakyat.
Kewenangan dan Kewajiban MK
Lebih lanjut Aswanto menerangkan kedudukan lembaga-lembaga tinggi negara di Indonesia setelah amendemen UUD 1945 tahun 1999-2002. Bahwa MPR bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan antara lenbaga-lembaga tinggi negara adalah sederajat, baik MPR, DPR, Presiden, MK, MA, KY, dan lainnya. Namun muncul pertanyaaan, mengapa penulisan KPU dalam UUD 1945 ditulis dalam huruf kecil? Jawabannya, karena KPU sebagai penyelenggara pemilu yang sewaktu-waktu namanya bisa diubah.
Dikatakan Aswanto, Mahkamah Konstitusi yang dibentuk pada 13 Agustus 2003 sebagai salah satu yang dianggap menjadi anak kandung Reformasi 1998. Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi untuk menjaga agar jaminan hak konstitusional seluruh warga negara yang dituangkan dalam UUD 1945 harus betul-betul dinikmati oleh seluruh masyarakat. Seringkali orang mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi sebagai Pengawal Konstitusi, Penafsir Akhir Konstitusi, Pengawal Demokrasi, Pelindung Hak-Hak Asasi Manusia, Pelindung Hak-Hak Konstitusional Warga Negara.
Aswanto juga menyinggung Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UUD, kewenangan memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi disebutkan dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memutus pendapat DPR apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran hukum ataupun perbuatan tercela.
Lantas bagaimana dengan penanganan sengketa hasil pemilihan kepala daerah yang juga dilakukan Mahkamah Konstitusi? Aswanto menjelaskan, yang memiliki kewenangan menangani sengketa hasil pilkada pertama kali adalah Mahkamah Agung (MA). Kemudian MA mengalihkan kewenangannya ke pengadilan tinggi untuk menangani sengketa pilkada di tingkat kabupaten/kota. Sementara untuk sengketa pilkada di tingkat provinsi tetap ditangani MA. Namun seiring dengan perkembangan zaman, melalui diskusi-diskusi panjang, kewenangan menangani sengketa hasil pilkada dialihkan ke MK.
Setelah ada Putusan MK, Mahkamah menegaskan bahwa penanganan sengketa hasil pilkada bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi. “Tetapi kenapa Mahkamah tetap menangani? Karena ada klausul dalam Putusan MK menyatakan bahwa yang punya kewenangan menangani sengketa hasil pilkada adalah peradilan khusus. Tetapi sepanjang belum dibentuk peradilan khusus, maka penanganan sengketa hasil pilkada tetap menjadi kewenangan MK,” tandas Aswanto. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari