JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) secara virtual pada Kamis (12/11/2020) sore. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum (FH) Universitas Galuh Ciamis bekerja sama dengan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi).
Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai kewenangan yang diturunkan dari Konstitusi, sesuai Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945 serta UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi maupun UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Selain itu ada kewenangan MK dalam mengadili perselisihan hasil pilkada yang tidak diturunkan dari Konstitusi, tetapi dari Pasal 157 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Kewenangan ini bersifat sementara sampai dibentuknya peradilan khusus pemilu,” kata Suhartoyo yang menyajikan materi “Beracara di Mahkamah Konstitusi”.
Suhartoyo menjelaskan, Hukum Acara MK sangat berkaitan empat kewenangan MK, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran parpol, memutus perselisihan hasil pemilu serta kewajiban MK memutus pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
“Masing-masing kewenangan dan kewajiban MK tersebut memiliki hukum acara yang berbeda-beda. Dalam pengujian undang-undang yang ada hanya Pemohon, tidak ada Termohon,” jelas Suhartoyo.
Dalam perkembangannya pelaksanaan kewenangannya, lanjut Suhartoyo, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 50 memuat ketentuan yang menyatakan undang-undang yang dapat diuji di Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang yang diundangkan setelah Perubahan UUD 1945. Pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional berdasarkan Putusan No. 066/PUU-II/2004 (Pengujian UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kadin).
Di samping itu, ungkap Suhartoyo, Mahkamah Konstitusi juga berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dengan pertimbangan bahwa perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan undang-undang.
Mengenai pengujian undang-undang mencakup pengujian formil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. “Selain itu ada pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” ucap Suhartoyo.
Ditegaskan Suhartoyo, dalam pengujian undang-undang dikenal dengan permohonan, bukan gugatan. Karena pada hakikatnya hanya ada satu pihak yaitu Pemohon atau voluntair. Presiden/Pemerintah dan DPR dan lembaga negara lainya bukan sebagai Pihak Termohon, namun hanya sebagai pemberi keterangan. Selain itu, Putusan MK bersifat erga omnes, meskipun dimohonkan oleh perseorang/individu, namun keberlakuan putusan secara umum dan memengaruhi hukum di Indonesia.
Selanjutnya, kata Suhartoyo, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK, pertama adalah perorangan warga negara. Berikutnya, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Permohonan ke MK dapat dilakukan secara offline atau datang langsung ke MK maupun secara online.
Kemudian mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK, sambung Suhartoyo, Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi kuasa, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.
“Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat, sepanjang menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Di MK dikenal adanya pendamping, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK,” ucap Suhartoyo yang juga menerangkan format pengujian undang-undang yaitu terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum.
Suhartoyo juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari