JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber dalam seminar yang digelar Max Planck Foundation (MPF) bersama Mahkamah Agung Maladewa secara virtual pada Selasa (10/11/2020). Dalam kegiatan tersebut, Saldi menyampaikan materi yang terbagi menjadi dua sesi.
Pada pertama, Saldi menyampaikan materi “Respecting and Protecting Independence within the Judiciary. Sementara pada sesi kedua Saldi membahas “Judicial Independence and Impartiality as Manifestations of the Separation of Powers: The Experience of The Indonesian Constitutional Court.”
Memulai materi, Saldi mengatakan pengisian Hakim Konstitusi Indonesia menggunakan model seleksi yang dilakukan oleh eksekutif, legislatif, dan yudikatif. MK RI mempunyai sembilan orang Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Hakim Konstitusi direkrut atau diseleksi oleh lembaga di luar MK,
“Pengalaman saya selama 43 bulan menjadi Hakim Konstitusi (diambil sumpah sebagai hakim konstitusi 11 April 2017), relasi di antara hakim berjalan independen dalam menjalankan tugas dan wewenang sebagai Hakim Konstitusi,” jelasnya.
Menurut Saldi, dalam praktik, independensi hakim akan dengan mudah diwujudkan apabila seorang hakim memiliki pengetahuan, wawasan, dan integritas. Khusus integritas, sambung Saldi, seorang hakim yang memiliki dan sekaligus menjaga integritasnya, tidak akan memengaruhi hakim lain dan tidak terpengaruh oleh hakim lain.
Penegasan demikian telah dinyatakan dalam bagian Pembukaan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Di situ ditegaskan citra peradilan dan kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka, sebagai benteng terakhir dalam upaya penegakan hukum dan keadilan, sangat ditentukan oleh integritas pribadi, kompetensi, serta perilaku para hakim konstitusi dalam melaksanakan amanah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Berkenaan dengan hubungan antar-hakim yang terkait dengan perkara, lanjutnya, praktik yang selama ini, pembahasan perkara sebelum diputus selalu dilakukan dalam rapat pleno permusyawaran hakim (plenary meeting of judges). Rapat ini dihadiri oleh semua hakim konstitusi atau dalam kedaan tertentu dapat dihadiri minimal oleh tujuh dari sembilan hakim konstitusi.
“Dalam rapat pleno permusyawaran hakim untuk membahas perkara tersebut, semua hakim terlebih dahulu telah mempersiapkan pendapat hukum (legal opinion) masing-masing. Setelah masing-masing hakim menyampaikan legal opinion, pembahasan perkara dilanjutkan dengan perdebatan antara hakim. Perdebatan dan pendalaman pendapat hukum (legal opinion) tersebut dapat dikatakan sebagai “forum saling memengaruhi” di antara hakim untuk mencapai keputusan dalam penyelesaian suatu perkara. Namun demikian, upaya untuk saling memengaruhi tersebut berada di dalam koridor dan nuansa akademik dan diskursus intelektual,” terang Saldi di hadapan 32 peserta seminar.
Lebih lanjut Saldi menjelaskan, ketika ia dilantik dan bergabung menjadi salah seorang Hakim Konstitusi pada 11 April 2017, Saldi merupakan hakim konstitusi paling muda. Hingga saat ini sekalipun telah terjadi pergantian dua orang hakim, Saldi masih yang termuda dari delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Semua Hakim Konstitusi Setara
Saldi menjelaskan proses pemilihan Hakim Konstitusi dilakukan oleh lembaga di luar MK. Oleh karena itu, di antara hakim tidak mengenal hakim senior dan hakim junior.
"Bahkan, pada hari yang sama, hanya berjarak sekitar dua jam selesai diambil sumpah sebagai Hakim Konstitusi, saya langsung ambil bagian dalam sidang pleno penyelesaian sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Tak hanya itu, dalam sidang pertama tersebut saya langsung diminta mengajukan pertanyaan untuk mendalami perkara yang sedang dilakukan dalam sidang pleno," ujar Saldi.
Dikatakan Saldi, pengalaman hari pertamanya sebagai Hakim Konstitusi menjadi bukti bahwa relasi di antara hakim konstitusi tidak mengenal hakim senior dan hakim junior dan sekaligus tidak mengenal hierarki. Berdasarkan pengalaman selama ini, posisi senior-junior di antara hakim konstitusi hanya terjadi karena perbedaan usia menjadi hakim konstitusi.
“Sebagai orang timur, secara kultural, orang yang lebih tua harus dihormati. Menghormati orang lebih senior merupakan nilai yang dipelihara di tengah masyarakat Indonesia. Namun dalam melaksanakan tugas sebagai hakim, semua hakim adalah setara. Bahkan posisi ketua dan/atau wakil ketua pun tidak merupakan hierarki dalam memutus perkara di Mahkamah Konstitusi,” imbuhnya.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, secara praktis, dalam pembahasan perkara, terutama dalam mengambil keputusan, kerap terjadi perdebatan keras di antara para hakim. Namun perdebatan yang terjadi merupakan proses yang harus dilakukan sebagai konsekuensi kemandirian seorang hakim dan sekaligus konsekuensi kemandirian kekuasaan kehakiman. Betapapun kerasnya perdebatan, semuanya hanya berlangsung dalam ruang rapat permusyawaratan hakim dan tidak pernah berkembang menjadi masalah personal di antara hakim di luar ruang tersebut.
Selain itu, sambung Saldi, baik secara hukum dan praktik umum di negara-negara yang menjunjung kemandirian kekuasaan kehakiman, tidak perlu ada upaya menekan hakim lain yang berbeda pendapat. Jika hakim tertentu memang memiliki pandangan yang tidak sejalan dengan pandangan atau pendapat mayoritas, hakim yang bersangkutan dapat memberikan dissenting atau concurring. Dalam hal ini, instrumen dissenting atau concurring adalah mekanisme untuk menjaga independensi hakim dan sekaligus menjaga kemandirian kekuasaan kehakiman.
Separation of Powers
Pada sesi kedua, Saldi menyampaikan sistem ketatanegaraan di Indonesia menganut konsep separation of powers yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan negara. Secara teoritis, sambung Saldi, konsep ini diperkenalkan oleh Baron de La Brède et de Montesquieu dalam bukunya L'Esprit de Lois (1748). Montesquieu membagi fungsi kekuasaan negara menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Artinya, tiap cabang kekuasaan negara tersebut memiliki fungsi yang terpisah dengan kewenangannya masing-masing.
“Apabila fungsi tersebut diuraikan secara rinci maka kekuasaan legislatif memegang fungsi legislasi, pengawasan, perwakilan, dan anggaran. Sementara itu, kekuasaan eksekutif memegang kewenangan administratif pemerintahan negara yang tertinggi, termasuk menjalankan undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan, kekuasaan yudikatif berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi legislatif ataupun eksekutif,” jelasnya.
Lebih lanjut Saldi mengatakan, pada awal perkembangan konsep separation of powers, setiap cabang kekuasaan negara tidak diperbolehkan untuk mencampuri dan mengintervensi kewenangan dari kekuasaan negara lainnya. Sebab, masing-masing cabang kekuasaan negara telah memiliki pemisahan kekuasaan secara tegas. Akan tetapi, perkembangan ketatanegaraan dunia semakin memperlihatkan bahwa kewenangan tersebut perlu didukung dengan mekanisme check and balances di antara masing-masing cabang kekuasaan negara. Sebagai contoh, sistem ketatanegaraan di banyak negara semakin bergeser dari yang awalnya menerapkan prinsip supremasi parlemen, di mana undang-undang buatan parlemen tidak dapat diganggu gugat oleh cabang kekuasaan lainnya, kini bergeser menjadi supremasi konstitusi. Konsekuensinya, undang-undang buatan parlemen dapat diuji konstitusionalitasnya oleh cabang kekuasaan yudikatif dan bahkan dapat dibatalkan jika terbukti bertentangan dengan konstitusi.
Dengan demikian, prinsip separation of powers dapat dikatakan menjadi elemen penting dari konstitusionalisme yang mengandung filosofi dasar untuk membatasi kewenangan dari tiap-tiap cabang kekuasaan negara. Adapun aturan pokok mengenai pembatasan kekuasaan negara tersebut umumnya dituangkan di dalam konstitusi suatu negara yang kemudian diatur secara lebih lanjut di dalam undang-undang organiknya.
Peran Lembaga Peradilan
Selain itu, Saldi juga menjelaskan bahwa lembaga peradilan memiliki fungsi yang sangat penting dan strategis di antara tiga cabang kekuasaan negara. Lembaga tersebut dapat menjadi lembaga untuk menyelesaikan sengketa antara negara dengan warga negara. Selama ini, menurut Saldi, posisi warga negara selalu dipandang lebih lemah jika dibandingkan dengan kekuasaan negara. Karenanya, lembaga peradilan bisa menjadi forum untuk menjaga kesimbangan antara warga negara dan negara terkait dengan kepentingan dan kebutuhannya masing-masing.
Sehingga, melalui kewenangannya dalam menafsirkan konstitusi dan peraturan perundang-undangan, lembaga peradilan juga dapat menilai apakah pelaksanaan dari suatu keputusan dan kebijakan pejabat negara sudah tepat atau tidak. Jika terjadi kesalahan dan pelanggaran dalam proses penyusunan dan pelaksanaannya, maka pengadilan dapat mengoreksinya, baik dengan cara mencabut keputusan yang sudah dikeluarkan ataupun memerintahkan untuk diterbitkannya keputusan baru.
Namun demikian, lembaga peradilan juga perlu memahami adanya keterbatasan atas kewenangannya. “Lembaga peradilan sebaiknya tidak melakukan judicial overreach dalam menjalankan kewenangannya dengan melampaui mandat yang diberikan kepadanya.Judicial overreach ini dapat terjadi manakala judicial activism dilakukan hingga melewati batasannya,” ujar Saldi.
Menurutnya, jika hal ini yang terjadi, maka judicial activism dapat saja berubah menjadi judicial adventurism, yaitu intervensi yang dianggap berlebihan terhadap fungsi-fungsi cabang kekuasaan lainnya yang sebenarnya telah berjalan dengan baik. Konsekuensinya, bisa terjadi perlawanan balik dari cabang kekuasaan negara lainnya dengan cara mengintervensi lembaga peradilan. Pengalaman lembaga peradilan di berbagai negara, hal tersebut bisa terjadi melalui revisi undang-undang, pengurangan anggaran peradilan, hingga penggantian hakim-hakim yang ada.
Sebaliknya, lembaga peradilan juga perlu memahami kapan harus menerapkan judicial restraint, yaitu membatasi diri dalam menjalankan kewenangannya agar tidak terlalu jauh mengambil alih kewenangan dari cabang kekuasaan lainnya. Tentu tidak mudah bagi para hakim untuk melakukan keseimbangan antara pilihan-pilihan pendekatan ini ketika akan memutus perkara. Apalagi jika perkara-perkara yang ditanganinya sangat berkaitan dengan perlindungan hak asasi manusia yang perlu dilindungi dan ditegakkan, tidak saja secara prosedural, namun juga substantif.
Lembaga peradilan yang melakukan judicial activism dan praktik tersebut masih dapat diterima oleh publik dan kalangan akademisi. Umumnya lembaga peradilan tersebut memiliki legitimasi institusi yang kuat dengan tingkat kepercayaan publik yang tinggi. Sebaliknya, lembaga peradilan yang belum memiliki legitimasi kuat dan masih rendahnya kepercayaan publik kepadanya akan sangat riskan dan rentan menerima kritik tajam apabila melakukan judicial activism dalam mengambil putusan.
Dalam konteks ini, mekanisme pemilihan hakim juga menjadi faktor yang sangat penting. Dengan meminimalisir adanya campur tangan politik secara langsung dalam proses pemilihan hakim, maka setidaknya akan mengurangi potensi terjadinya intervensi atau pengaruh politik terhadap hakim terpilih. Oleh karena itu, banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, kini membentuk komisi atau panitia seleksi independen untuk menyeleksi para calon hakim yang terbaik. Para calon hakim yang terseleksi ini kemudian diajukan kepada presiden atau parlemen untuk dipilih. Selain itu,untuk memperkuat independensi lembaga peradilan tersebut, maka negara juga perlu menegaskannya dengan memuat jaminan tersebut di dalam ketentuan konstitusinya.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.