JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menjadi narasumber Webinar Nasional “Polemik Kebebasan Berpendapat di Tengah Keberlakuan Pasal Karet UU ITE.” Kegiatan ini diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (BEM FH UMS) secara daring pada Sabtu (7/11/2020) pagi.
“Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah diubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016. Salah satu alasan perubahan UU ITE, berkaitan dengan Putusan MK yang menjadi dasar perubahan,” ujar Daniel di hadapan para petinggi, dosen maupun para mahasiswa FH UMS.
Daniel melanjutkan, ada beberapa catatan penting terkait UU ITE yakni ketentuan Pasal 27 tetap dengan perubahan penjelasan ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) sehingga penjelasan Pasal 27 menjadi sebagaimana ditentukan dalam UU Nomor 19 Tahun 2016. Namun, ketentuan Pasal 28 tetap dan ketentuan Pasal 45 diubah. Selain itu terdapat dua pasal baru yang disisipkan di antara Pasal 45 dan Pasal 46 dalam UU Nomor 19 Tahun 2016.
Selanjutnya Daniel menanggapi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyatakan,“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
Norma tersebut menurut Daniel, terkait dengan permasalahan utama dalam kegiatan webinar ini. “Saya kira, kegalauan mahasiswa untuk menyelenggarakan webinar nasional ini karena pasal ini dianggap sebagai ‘pasal karet’ yang bisa membuat kebebasan berpendapat jadi terganggu karena bisa dipidanakan,” ungkap Daniel.
Selain Pasal 27 ayat (3), terdapat Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 27 ayat (4) UU ITE yang berisi ketentuan seseorang tanpa hak mendistribusikan dan mentransmisikan informasi elektronik. Namun, kata Daniel, ada pasal-pasal pidana terkait keempat pasal tersebut. Misalnya Pasal 45 ayat 3 UU No. 19/2016 yang menyebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Berikutnya, ungkap Daniel, ada juga beberapa ‘pasal karet’ antara lain Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE. Pasal 28 ayat (1) berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang konsumen dalam traksaksi elektronik”. Sedangkan Pasal 28 ayat (2) menyatakan, ”Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan (2) ada ancaman pidananya dalam Pasal 45A UU ITE berupa enam tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Terkat pengujian UU ITE, ujar Daniel, Mahkamah Konstitusi telah menjatuhkan 11 putusan. Di antaranya adalah Putusan Nomor 50/PUU-VI/2008 yang menguji Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU No. 11/2008, amarnya ditolak. Kemudian Putusan Nomor 2/PUU-VII/2009 yang menguji Pasal 27 ayat (3) UU No. 11/2008, amarnya tidak dapat diterima. Selanjutnya Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang menguji Pasal 31 ayat (4) UU No. 11/2008, amarnya dikabulkan seluruhnya. Juga Putusan Nomor 52/PUU-XI/2013, amarnya ditolak. Selain itu Putusan Nomor 1/PUU-XIII/2015 yang menguji Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (1) UU No. 11/2008, amarnya ketetapan (ditarik kembali).
Dari sejumlah Putusan MK terkait UU ITE tersebut, Daniel membahas pertimbangan hukum dari Mahkamah terhadap Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008. Dalam pertimbangannya, Mahkamah berpendapat bahwa penghargaan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan tidak boleh terciderai oleh tindakan-tindakan yang mengusik nilai-nilai kemanusiaan melalui tindakan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Konstitusi memberikan jaminan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
“Selain itu masyarakat internasional juga menjunjung tinggi nilai-nilai yang memberikan jaminan dan perlindungan kehormatan atas diri pribadi, dapat disimak dari Pasal 12 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 17 dan Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR),” jelas Daniel.
Dalam pandangan Mahkamah, lanjut Daniel, meskipun aktivitas internet sepenuhnya beroperasi secara virtual, namun sesungguhnya masih tetap melibatkan masyarakat yang hidup di dunia nyata. Oleh karenanya, sebagaimana halnya di dunia nyata, aktivitas dan perilaku manusia di dunia maya (cyberspace) pun tidak dapat dilepaskan dari pengaturan dan pembatasan oleh hukum. Pengaturan dan pembatasan oleh hukum tersebut ditetapkan karena setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya dan dalam pelaksanaan hak-hak dan kekuasaan-kekuasaannya setiap orang hanya dapat dibatasi oleh hukum yang semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
“Pelaksanaan hak-hak baik di dunia nyata (real/physical world) maupun dalam aktivitas pemanfaatan teknologi informasi dalam dunia maya (cyberspace) berisiko mengganggu ketertiban dan keadilan dalam masyarakat apabila tidak terdapat harmoni antara hukum dan teknologi informasi, yaitu tidak adanya pengaturan dan pembatasan oleh hukum yang melindungi hak-hak masyarakat. Mahkamah dihadapkan pada dua kepentingan hukum yaitu antara melindungi kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan, dan kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai hak-hak yang bersifat hak-hak konstitusional (constitutional rights) warga negara, berhadapan dengan hak-hak dasar (basic rights) akan perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nama baik orang lain,” papar Daniel yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah terhadap Perkara Nomor 50/PUU-VI/2008.
Dalam kegiatan webinar nasional ini, Daniel juga memaparkan empat kewenangan dan satu kewajiban Mahkamah Konstitusi. Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Seperti disebutkan dalam Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945.
Dalam perkembangannya, kata Daniel, ada kewenangan tambahan MK yang diberikan baik melalui putusan MK maupun melalui undang-undang berupa pengujian perpu yang mengacu pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut dinyatakan bahwa oleh karena perpu dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang, maka terhadap norma dalam perpu tersebut, Mahkamah dapat menguji secara materiil terhadap UUD 1945. Sejak 2009 sampai 2020 telah dilakukan sebanyak 24 pengujian perpu di MK. Selain itu, MK berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan bahwa untuk menghindari keraguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu kepala daerah, karena belum adanya undang-undang yang mengatur mengenal hal tersebut, maka penyelesaian perselisihan hasil pemilu kepala daerah tetap menjadi kewenangan MK.
Berikutnya, Daniel menyinggung fungsi MK sebagai Pengawal Konstitusi, Penafsir Akhir Konstitusi, Pengawal Demokrasi, Pelindung Hak Asasi Manusia, Pelindung Hak Konstitusional Warga Negara, Pelindung Ideologi Negara. Lainnya, Daniel juga memaparkan statistik perkara dan putusan MK hingga 2019. Perkara paling banyak adalah pengujian undang-undang sebanyak 1.321 perkara (43,96%), kemudian perselisihan hasil pilkada sebanyak 982 perkara (32,68%), perselisihan pemilu legislatif sebanyak 671 perkara (22,33%), sengketa kewenangan lembaga negara sebanyak 26 perkara (0,87%), perselisihan hasil pemilu presiden sebanyak 5 perkara (0,17%). Sedangkan data statistik putusan MK, sebanyak 1.305 perkara ditolak (45,81%), 1.005 perkara tidak dapat diterima (35,28%), 397 perkara dikabulkan (13,93%), 171 perkara ditarik kembali (5,75%), 60 perkara gugur (2,11%), 25 perkara putusan sela (0,84%), 11 perkara tidak berwenang (0,32%).
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.