JAKARTA, HUMAS MKRI - Perubahan UUD 1945 yang terjadi di Indonesia pada 1999 – 2002 melahirkan Mahkamah Konstitusi. Hal ini menjadi momentum yang tepat untuk membangun peradaban dan ketatanegaraan Indonesia menuju negara hukum yang konstitusional. Demikian disampaikan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam Orasi Ilmiah pada acara Wisuda Angkatan 2019/2020 Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah dengan tema “Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Membangun Peradaban dan Ketatanegaraan Indonesia Masa Depan Sebagai Negara Hukum Yang Konstitusional” pada Sabtu (7/11/2020) secara virtual.
Dikatakan Anwar, Konstitusi sebagai hukum dasar negara (the supreme law of the land) haruslah menjadi landasan dan pedoman bagi seluruh elemen negara, dalam menjalankan roda organisasi bernegara. Tidak boleh ada alasan apapun dalam menaati konstitusi. Jika konstitusi tidak ditaati, maka pondasi negara akan rapuh.
“Mengingat bahwa konstitusi merupakan hukum dasar negara. Sebaliknya, jika konstitusi menjadi pegangan teguh dalam penyelenggaraan negara, maka kokohlah pondasi negara. Tanpa konstitusi tidaklah mungkin sebuah peradaban, keadaban, dan keteraturan tata kelola negara dapat terlaksana. Karena konstitusi-lah yang menjadi rule of the game bagi penyelenggaraan negara,” jelas Anwar di hadapan para wisudawan dan wisudawati yang harus melaksanakan kegiatan ini secara virtual karena pandemi Covid-19.
Anwar juga menjelaskan, MK dalam Putusan Perkara Nomor 14/PUU-XI/2013 melakukan reformulasi pemaknaan Pasal 6A dan Pasal 22E UUD 1945. Dalam perkara ini, sambungnya, MK menggunakan pendekatan penafsiran original intent, sistematis, dan gramatikal dalam memaknai pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) serta pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Sehingga dengan pemaknaan baru tersebut, berimplikasi kepada pelaksanaan pemilu legislatif yang semula dilaksanakan terpisah antara pemilu legislatif (yang dilakukan lebih dulu), dan pemilu presiden/wakil presiden (dilakukan setelah pemilu legislatif), menjadi dilakukan secara bersamaan (serentak). Hal ini bertujuan untuk menguatkan sistem presidensiil sesuai rancang bangun sistem ketatanegaraan yang kini dianut UUD 1945 pasca perubahan. Selain itu, penyelenggaraan pilpres dan pileg yang dilakukan secara serentak, diharapkan dapat menciptakan efisiensi dalam beberapa hal antara lain efisiensi waktu dan anggaran.
Lebih lanjut Anwar mengatakan, perkembangan demokrasi dan pemilu suatu proses yang harus dimaknai secara positif. Meski harus dimaklumi pula, bahwa perkembangan tersebut juga telah melahirkan kompleksitas permasalahan sistem yang tinggi. Permasalahan itu tidak hanya dalam proses pelaksanaan pemilunya saja, melainkan juga terkait dengan penyelesaian sengketa pemilu pasca rekapitulasi suara dilakukan. Terlepas dari segala kekurangan dalam sistem dan pelaksanaan demokrasi dan penegakan hukum pemilu yang perlu senantiasa dievaluasi dan dibenahi, namun patut bersyukur pada beberapa sisi yang lain. Sebagai contoh, lanjut Anwar, permasalahan yang terjadi di Kota Catalunya, Spanyol, beberapa waktu lalu yang berupaya untuk memisahkan diri dari negaranya.
“Peristiwa yang terjadi terhadap suku Rohingnya di Myanmar, kudeta yang terjadi di Thailand, kudeta di Zimbabwe, pergolakan politik yang terjadi di Mesir tahun 2011 lalu, dan masih banyak contoh lainnya. Hal ini merupakan bukti betapa tidak mudahnya mengelola kehidupan sosial demokrasi dan hukum di suatu negara. Melihat beberapa contoh tersebut itulah, mengapa kita patut bersyukur, bahwa pengelolaan demokrasi kita masih jauh lebih baik dari beberapa tersebut di atas,” urai Anwar.
Oleh karena itu, Anwar menekankan untuk menjaga proses demokrasi dan mencapai hasil pemilu yang diharapkan, dibutuhkan kerja sama dan sinergitas seluruh elemen masyarakat. Keseluruhan elemen tersebut, harus bersinergi untuk mensukseskan pemilu demi terjaganya kedaulatan rakyat. Begitu pula halnya terhadap akademisi.
“Para dosen dan cendikia di berbagai kampus ibarat suluh atau pelita di masyarakat. Cerdasnya masyarakat dalam menyikapi pemilu dan berbagai persoalan bangsa, bergantung kepada Bapak dan Ibu dosen yang memberikan edukasi publik di tengah masyarakat. Tugas Bapak dan Ibu para akademisi adalah tugas yang mulia, karena langsung bersentuhan dengan persoalan konkrit sehari-hari. Bahkan, tanggung jawab orang yang berilmu lebih berat, karena seorang yang berilmu itu, wajib mengamalkan ilmunya serta membagikannya kepada masyarakat tanpa terkecuali dan pamrih,” tandas Anwar. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari