JAKARTA, HUMAS MKRI – Seringkali orang mengartikan sistem pemerintahan, bentuk negara dan bentuk pemerintahan sebagai hal yang sama. Padahal ketiga hal tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Sistem pemerintahan adalah sistem dalam sebuah negara yang menjelaskan relasi antara pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang kekuasaan legislatif.
“Sedangkan bentuk negara, terkait dengan hubungan pusat dan daerah dalam konsep federalisme maupun unitarisme. Kemudian yang dimaksud bentuk pemerintahan terdiri atas republik, monarki dan sebagainya,” kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat memberikan kuliah umum secara virtual kepada 100 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tamansiswa Palembang pada Jumat (6/11/2020) pagi.
Saldi menerangkan, terdapat beberapa model sistem pemerintahan yaitu sistem parlementer, sistem presidensiil, serta gabungan sistem parlementer dan sistem presidensiil. Dalam sistem parlementer, fokus kekuasaan berada di parlemen, hanya menyelenggarakan pemilihan untuk memilih anggota parlemen dan eksekutifnya ditentukan berdasarkan pemilu parlemen. Hasil pemilihan anggota parlemen yang akan menentukan komposisi pemerintahan. Dalam sistem parlementer, tidak pernah ada pemilihan perdana menteri. Karena perdana menteri akan muncul dari parpol peraih kursi terbanyak dari hasil pemilu parlemen.
“Dalam sistem parlementer terjadi penjumbuhan posisi. Eksekutif selalu berjumbuh posisinya dengan legislatif. Karena menteri, perdana menteri, wakil perdana menteri biasanya sekaligus adalah anggota parlemen,” tegas Saldi dalam kuliah umum bertema “Perkembangan Demokrasi dan Ketatanegaraan Indonesia”.
Sementara sistem presidensiil, sambung Saldi, meletakkan kekuasaan pada dua institusi. Kekuasaan diletakkan di tangan legislatif dan eksekutif. Oleh karena itu, pemilu dalam sistem presidensiil selalu dilakukan secara bersama-sama maupun terpisah waktunya. Ada pemilu untuk memilih anggota parlemen dan pemilu untuk memilih presiden.
“Oleh sebab itu dalam sistem presidensiil selalu terjadi tarik menarik antara pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang kekuasaan legislatif karena mereka sama-sama mendapat mandat langsung dari rakyat,” ucap Saldi.
Selanjutnya muncul gabungan sistem parlementer dan sistem presidensiil, seperti yang dipilih oleh negara Perancis. Presiden Perancis Charles de Gaulle pada tahun 1950-an mengatakan bahwa ada kelemahan sistem parlementer dan sistem presidensiil. Karena itu muncul model ketiga selain sistem parlementer dan sistem presidensiil, yang menggabungkan model parlementer dan model presidensiil. Maka di Perancis ada parlemen, presiden, perdana menteri sebagai kombinasi sistem parlementer dan sistem presidensiil.
“Akhirnya Konstitusi Perancis mendesain presiden dipilih langsung dan presiden berkomunikasi dengan parpol peraih suara terbanyak untuk menunjuk perdana menteri. Kekuasaan perdana menteri lebih banyak menangani urusan nasional. Sementara Presiden lebih banyak menangani urusan luar negeri,” urai Saldi.
Selanjutnya Saldi menguraikan sistem di Amerika Serikat yang sekarang menyelenggarakan pemilu. Sistem di Amerika Serikat, terang Saldi, berbeda dengan di Indonesia yang menerapkan sistem one man, one vote, one value. Amerika Serikat menggunakan model electoral college sebagai suara perwakilan untuk setiap negara bagian yang harus diperebutkan oleh calon presiden. Kalau presiden meraih suara mayoritas di sebuah negara bagian, maka semua electoral college di negara bagian itu akan diambil oleh calon tertentu. Siapa yang memenangkan suara terbanyak di negara bagian itu, dia akan dapat semua jumlah electoral college.
Purifikasi Sistem Presidensiil
Lantas bagaimana dengan di Indonesia? Apakah UUD 1945 yang didesain oleh para pendiri negara menganut model sistem presidensiil? “Salah satu poin penting yang diperdebatkan saat Perubahan UUD 1945 pada 1999-2002, apakah UUD 1945 yang mengalami perubahan mau tetap menggunakan sistem presidensiil atau tidak. Akhirnya pengubah UUD mengatakan, tetap menggunakan sistem presidensiil tetapi dilakukan pemurnian atau purifikasi dengan memperbaiki karakteristik dari model lama yang tidak sesuai dengan sistem presidensiil,” papar Saldi.
Walhasil, lanjut Saldi, Perubahan UUD 1945 menyatakan model pemilihan presiden di Indonesia yang sebelumnya dipilih oleh MPR, disepakati menjadi pemilihan langsung. Hal itu menurut Saldi, salah satu bentuk pemurnian dari hasil Perubahan UUD 1945. Pemurnian kedua sistem presidensiil, ada penegasan dalam Konstitusi bahwa yang dipilih langsung oleh rakyat bukan hanya presiden, tetapi juga pemilihan anggota DPR secara langsung oleh rakyat.
Pemurnian ketiga sistem presidensiil, ada pembatasan secara jelas berapa periode seseorang menjadi presiden. Salah satu ciri dalam sistem presidensiil, masa jabatan presiden tetap, berapa periode seseorang menjabat sebagai presiden, itu pun diatur dalam Konstitusi.
“Akhirnya disepakati masa jabatan Presiden Republik Indonesia selama lima tahun dan tidak boleh lebih dari dua periode,” kata Saldi.
Mengenai masa jabatan Presiden Indonesia, ungkap Saldi, sebenarnya merupakan transformasi dari model di Amerika Serikat. Konstitusi Amerika Serikat pada awalnya menyatakan seseorang menjabat sebagai presiden selama empat tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali. Hal tersebut berlangsung sejak George Washington terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pertama sampai kemudian Franklin Delano Roosevelt terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ke-32.
“Sebelum Roosevelt, Presiden Amerika Serikat paling banyak hanya memimpin dua periode. Karena George Washington pernah mengatakan dia tidak mau jadi presiden untuk periode ketiga. Alasannya, masih banyak orang-orang terbaik di Amerika Serikat yang bisa menjadi presiden,” tutur Saldi.
Namun, soal dua kali masa jabatan Presiden Amerika Serikat itu baru dilanggar saat Presiden Roosevelt menjabat selama tiga periode karena kemampuan dan keberhasilannya dalam memimpin bangsanya. Bahkan Roosevelt memasuki periode keempat masa jabatannya, meski ia meninggal dunia di separuh masa jabatannya.
“Mulailah orang Amerika Serikat berpikir, kalau tidak ada pembatasan masa jabatan presiden, bisa muncul Roosevelt-Roosevelt baru di masa mendatang. Akhirnya muncul amendemen ke-22 Konstitusi Amerika Serikat yang menyatakan seseorang yang menjabat sebagai presiden tidak boleh lebih dari dua periode masa jabatan,” ujar Saldi.
Berikutnya, pemurnian keempat sistem presidensiil di Indonesia. Pada poin ini Saldi menguraikan tentang proses pemberhentian presiden di Indonesia.
“Tidak ada lagi yang namanya pemberhentian presiden karena alasan politik. Dulu Soekarno diberhentikan karena dianggap gagal menjelaskan peristiwa G30S/PKI. Kemudian Gusdur diberhentikan karena dianggap melanggar Konstitusi dengan membubarkan MPR. Akhirnya dalam UUD 1945 hasil perubahan menyatakan presiden dan wakil presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatan kalau dia melanggar norma yang secara eksplisit disebutkan dalam Konstitusi. Misalnya melakukan tindak pidana korupsi, melakukan tindakan tercela dan sebagainya,” tandas Saldi.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.