Suhartoyo: Hukum Acara MK Berbeda dengan Peradilan Lainnya
Kamis, 05 November 2020
| 21:23 WIB
Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber webinar kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan Peradi Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Barat, Kamis (5/11) di Gedung MK. Foto Humas/Ifa.
JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo menjadi narasumber pada kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Dewan Pimpinan Cabang Jakarta Barat, pada Kamis (5/11/2020) sore secara virtual.
Dalam kegiatan tersebut, Suhartoyo mengatakan bahwa beracara di Mahkamah Konstitusi (MK) berbeda dengan beracara di peradilan umum atau peradilan lainnya. “Mengapa saya katakan demikian, hal tersebut karena beracara di MK ada perbedaan-perbedaan yang berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki MK,” kata Suhartoyo kepada para peserta PKPA.
Suhartoyo pun menegaskan, MK menjalankan fungsi menguji Undang-Undang (UU) terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) sesuai dengan kewenangannya. Adapun kewenangan MK yang pertama adalah menguji UU terhadap UUD. Kemudian, lanjut Suhartoyo, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Lalu, Memutus pembubaran partai politik, memutus hasil pemilu dan terakhir yakni memutus sengketa pilkada. Sementara kewajiban MK yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Menurut Suhartoyo, kewenangan MK sendiri terdapat perbedaan hukum acaranya. Ketika MK menguji UU terhadap UUD yang kemudian dikenal dengan sebutan judicial review sifat perkaranya yakni tidak ada sengketa kepentingan para pihak.
“Ketika MK menjalankan fungsi menguji UU terhadap UUD, itu konten perkaranya bukan sengketa kepentingan para pihak. Tetapi kemasannya permohonan. Berbeda dengan hukum acara ketika MK menjalankan kewenangannya yang lain,” jelas Suhartoyo.
Dalam menjalankan kewenangan dalam menguji UU terhadap UUD, Suhartoyo menjelaskan bahwa terdapat dua pengujian baik formil dan atau materiil. Pengujian formil adalah pengujian berkaitan dengan proses pembentukan.
“Jadi formalitas dari terbitnya UU itu sendiri yang tidak memiliki persyaratan formil,” jelas Suhartoyo.
Sedangkan pengujian materiil, pengujian yang berkaitan dengan substansi dari UU itu berupa pasal, ayat atau bagian dari keduanya. Terhadap pengujian formil, lanjut Suhartoyo, jika permohonan dikabulkan maka UU tersebut tidak berlaku karena tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Kalau pengujian materiil, jika permohonan dikabulkan, jika tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terbatas pada ayat, pasal atau kedua bagian dari ayat dan pasal Undang-Undang yang diajukan pengujian,” tambah Suhartoyo.
Lebih lanjut Suhartoyo menjelaskan, yang dapat mengajukan permohonan yakni perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau dan Lembaga negara.
Begitupun beracara di MK dapat diwakili dengan menunjuk kuasa hukum. Kuasa hukum di MK tidak harus advokat. Siapapun dapat menjadi kuasa. Pemohon juga dapat mengajukan permohonan dengan pendampingan.
Seorang advokat harus paham dengan hukum acara khususnya ketika akan mengajukan permohonan pengujian untuk mewakili prinsipal. Kemudian, untuk dapat mengajukan permohonan UU terhadap UUD harus memiliki syarat kerugian konstitusional yang didalilkan. Kerugian konstitusional merupakan hak yang diberikan oleh UUD 1945 yang dianggap dirugikan dengan berlakunya suatu UU. “Jadi setiap warga negara memiliki hak konstitusi,” tegasnya.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.