JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) terhadap UUD 1945 pada Rabu (04/11/2020) secara virtual. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 87/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) yang diwakili oleh Deni Sunarya selaku Ketua Umum dan Muhammad Hafidz selaku Sekretaris Umum. Adapun materi yang dimohonkan untuk diuji yaitu Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29, dan angka 44 UU Cipta Kerja.
Dalam persidangan secara virtual, Muhammad Hafidz mengatakan muatan yang terkandung dalam Pasal 81 angka 15, 19, 25, 29, dan 44 UU Cipta Kerja berpotensi merugikan hak-hak konstitusional anggota Pemohon dan buruh lainnya yang telah ditetapkan dalam pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945. Ia menegaskan, UU tersebut telah menghilangkan perpanjangan jangka waktu, batas perpanjangan dan perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu. Selain itu, telah menghapus upah minimum dan menghilangkan uang perumahan serta pengobatan dan perawatan sebagai komponen dari kompensasi pemutusan hubungan kerja.
Lebih lanjut Hafidz menjelaskan, materi dalam UU Cipta Kerja tidak lebih baik dan justru lebih rendah dari UU Ketenagakerjaan. “Di antaranya menghilangkan perpanjangan jangka waktu, batas perpanjangan dan perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu serta tidak mengakomodir Putusan MK Nomor 7/PU-XII/2014, sehingga UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945,” ujar Hafidz.
Dikatakan Hafidz, Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja telah mengubah muatan materi dalam ketentuan Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurutnya, pengaturan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu yang hanya dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sebagaimana telah diatur dalam Pasal 59 ayat (4) UU 13/2003, memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu (sementara), dapat diperkirakan penyelesaian pekerjaannya, bersifat musiman, atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Selain itu, lanjutnya, pengaturan jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu, tidak dapat dipisahkan dari undang-undang yang mengatur jenis dan sifat kegiatannya. Meskipun akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah, namun apabila hendak diteliti secara seksama, maka sesungguhnya pasal undang-undang a quo hanya ingin mengatur ulang pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan dan pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu. Sehingga, menjadi patut dipertanyakan keinginan atau maksud sebenarnya dari pembentuk undang-undang atas perubahan Pasal 59 UU 13/2003.
Menurutnya, pengaturan ulang hanya dapat dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum atas pelaksanaan suatu undang-undang. Sedangkan ketentuan Pasal 59 UU 13/2003 ditambah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PU-XII/2014, telah memberikan kejelasan rumusan norma syarat jenis dan sifat kegiatan tertentu hingga pada pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan serta pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu.
Pembatasan jangka waktu bagi pekerjaan tertentu yang bersifat sementara, menjamin perlindungan kepada pekerja/buruh yang diikat dengan sebuah perjanjian kerja waktu tertentu. Akibatnya jika tidak diberikan batasan waktu, maka pemberi kerja dapat memperjanjikan pekerja/buruh dengan perpanjangan dan/atau pembaharuan perjanjian kerja waktu tertentu berkali-kali, sehingga maksud dari adanya pengaturan jenis dan sifat atau kegiatan tertentu yang sangat erat hubungannya dengan waktu tertentu menjadi kehilangan makna dan dapat diimplementasikan secara menyimpang, yang berujung pada semakin terbukanya kemungkinan terjadi perselisihan hubungan industrial.
Lebih lanjut ia menjelaskan, Pasal 81 angka 19 UU Cipta Kerja telah menghapus ketentuan Pasal 65 UU 13/2003 yang memuat syarat-syarat batasan pekerjaan yang dapat diserahkan dari pemberi kerja kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, hal demikian telah memberikan ruang kepada pemberi kerja untuk dapat menyerahkan seluruh jenis pekerjaan apapun kepada penyedia jasa pekerja/buruh. Dengan kata lain, seluruh jenis pekerjaan dapat dialihdayakan (outsourcing). Terlebih perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dapat juga diberlakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Dampaknya, pekerja/buruh akan mengalami eksploitasi untuk kepentingan keuntungan bisnis, karena telah memisahkan tanggung jawab hubungan kerja perusahaan pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Hal demikian, justru mengaburkan aspek jaminan dan perlindungan terhadap pekerja/ buruh outsourcing.
Kemudian, syarat-syarat batasan pekerjaan yang dapat diserahkan ke perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dalam Pasal 65 UU 13/2003, yakni dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, dan tidak menghambat proses produksi secara langsung.
“Apabila hendak ditelaah secara seksama, tergambar perlindungan yang berkepastian hukum atas boleh atau tidaknya penerapan pekerja/buruh outsourcing. Jika syarat-syarat tersebut dihilangkan, maka kekhawatiran ratusan ribu hingga jutaan pekerja/buruh akan dipekerjakan sebagai pekerja/buruh outsourcing, menjadi kenyataan. Meskipun terhadap pekerja/buruh outsourcing dapat diberlakukan perjanjian kerja waktu tidak tertentu, namun lemahnya keberadaan posisi tawar pekerja/buruh akan menutup kemungkinan tersebut,” tegas Hafidz.
Hafidz juga menambahkan, secara finansial, perusahaan pemberi kerja memiliki potensi keuntungan yang lebih besar dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Sebab, perusahaan outsourcing dalam memenuhi kebutuhan keuangannya, bersumber dari management fee. Fakta tersebut, akan sangat menyulitkan pekerja/buruh outsourcing apabila terjadi perselisihan hubungan industrial yang menyebabkan adanya suatu kewajiban pembayaran tertentu. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dimungkinkan tidak memiliki aset perusahaan seperti tanah dan gedung, yang dapat diuangkan dalam rangka pemenuhan dari kewajiban hukumnya atas pembayaran tertentu. Dengan demikian, maka rumusan pasal a quo yang menghapus seluruh muatan materi dalam Pasal 65 UU 13/2003, telah tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada pekerja/buruh sepanjang pengaturan syarat-syarat tertentu terkait batasan pekerjaan yang dapat diserahkan ke perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Ketentuan Pasal 88D ayat (2) UU 13/2003 yang diatur dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja menetapkan formula perhitungan upah minimum yang hanya memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Pasal a quo setidaknya tidak harmonis (sejalan) dengan ketentuan Pasal 88 ayat (4) UU 13/2003, yang penetapan upah minimum selain berdasarkan kebutuhan hidup layak juga memperhatikan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi. Perlu ditegaskan, dalam UU Cipta Kerja tidak menghapus atau mengganti Pasal 88 UU 13/2003, khususnya ayat (4), sehingga ketentuan tersebut tetap berlaku.
Ketentuan pasal UU Cipta Kerjayang mengatur penetapan formula perhitungan upah minimum yang hanya memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi, juga lebih rendah dari pengaturan formula perhitungan upah minimum dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang perhitungan penetapan upah minimum menggunakan pengali nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Senyatanya, pembuat undang-undang hendak mengatur ulang rumusan norma perhitungan upah minimum dalam UU Cipta Kerja dengan nilai yang lebih rendah dari UU 13/2003 bahkan peraturan di bawahnya.
Hal demikian, setidaknya pembuat undang-undang telah mengurangi keberpihakannya pada pekerja/buruh, yang minim daya tawarnya dalam kedudukan sosial dengan pemberi kerja. Padahal, konstitusi telah menetapkan perlakuan adil dan layak dalam hubungan kerja dengan kompensasi berupa imbalan (upah), yang terkadang merupakan satu-satunya pendapatan pekerja/buruh dalam menghidupi keluarganya. Tidak banyak pengusaha yang memberikan upah pekerja/buruhnya di atas upah minimum, terlebih harus melalui jalan perundingan yang tidak sedikit berlabuh di meja pengadilan hubungan industrial. Upah minimum merupakan tumpuan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, bahkan dalam situasi pandemi seperti sekarang ini, pekerja/buruh mengikhlaskan upahnya tidak dibayar penuh demi bisa tetap dapat bekerja. Oleh karenanya, apabila variabel perhitungan upah minimum dalam UU Cipta Kerja ini kembali diatur ulang dan tetap dipertahankan, bahkan variabelnya nyata-nyata lebih rendah dari Peraturan Pemerintah, maka hal demikian telah merugikan Pemohon yang telah berjuang dengan keringatnya untuk memutar roda perekonomian.
Selain itu, ketentuan Pasal 88E ayat (2) UU 13/2003 yang diatur dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja, ditegaskan adanya larangan bagi pengusaha membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Namun demikian, dalam ketentuan selanjutnya tidak diatur tentang akibat dan kewajiban hukum bagi pengusaha apabila membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Bahkan tidak menutup kemungkinan adanya kesepakatan upah di bawah upah minimum yang dibuat oleh pengusaha dengan pekerja/buruh.
Dengan dihapusnya Pasal 91 UU 13/2003 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja, maka larangan pembayaran upah minimum yang senyatanya tanpa disertai dengan akibat hukum dan melahirkan kewajiban untuk membayar selisih dari upah yang dibayarkan tidak sesuai dengan upah minimum, menjadi sia-sia (illusioner). Ketentuan Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja, justru menimbulkan ketidakpastian pelaksanaan pembayaran upah minimum. Sebab, pengusaha hanya dilarang membayar upah minimum tanpa memiliki akibat dan kewajiban hukum untuk membayar kembali selisih dari upah yang telah dibayarkannya. Tidak sebandingnya jumlah lapangan kerja dan angkatan kerja, akan memposisikan pekerja/buruh sebagai pihak yang membutuhkan pekerjaan tanpa dapat bernegosiasi besaran upah dengan pengusaha. Sehingga ketidakpastian pekerja/buruh untuk mendapatkan upah sesuai dengan upah minimum, terjadi karena Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja telah menghapus Pasal 91 UU 13/2003, yang mengatur akibat dan kewajiban hukum dari adanya kesepakatan upah yang lebih rendah dari ketentuan upah minimum yang berlaku.
Ketentuan Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja, telah mengubah Pasal 156 UU 13/2003 yang mana ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3) UU 13/2003 yang diatur dalam Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja sepanjang frasa “paling banyak” telah mengubah Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3) UU 13/2003. Ketentuan a quo, bermakna bahwa pengusaha diberikan pilihan untuk menetapkan besaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dengan batas atas. Artinya pengusaha tidak diwajibkan untuk membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan dalam UU Cipta Kerja, bahkan dapat juga berarti melarang pengusaha (secara diam-diam) untuk membayar lebih tinggi sebagai makna dari frasa “paling banyak”.
Sementara ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU 13/2003 yang diatur dalam Pasal 81 angka 44 Cipta Kerja juga menghapus pengaturan pemberian uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan kepada pekerja/buruh yang diputuskan hubungan kerjanya, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 156 ayat (4) huruf c UU 13/2003. Sebagai salah satu komponen kompensasi dari akibat pemutusan hubungan kerja, maka pemberian uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan kepada pekerja/buruh selalu melekat dalam tiap-tiap alasan putusnya hubungan kerja.
Dalam UU 13/2003, pekerja/buruh yang diakhiri hubungan kerja dengan alasan mengundurkan diri sekalipun, tetap diberikan uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, meskipun tidak mendapatkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja. Hak tersebut dimaksudkan untuk mengganti fasilitas pengobatan dan perawatan yang ditetapkan sebesar 5%, dan penggantian fasilitas perumahan sebesar 10% selama pekerja/buruh belum mendapatkan pekerjaan setelah hubungan kerjanya diakhiri. Keberadaan uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan telah secara spesifik menyebutkan kemanfaatannya, dan telah ditetapkan sebagai salah satu kewajiban pengusaha apabila terjadi pemutusan hubungan kerja sejak berlakunya Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia tentang Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian. Pasal 156 ayat (4) pada Pasal 81 angka 44 Cipta Kerja merupakan ketentuan yang mengatur ulang besaran kompensasi pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh, dengan cara menghilangkan penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan. Oleh karenanya, fasilitas pengobatan dan perawatan serta perumahan selama pekerja/buruh belum mendapatkan pekerjaan setelah hubungan kerjanya diakhiri, khususnya bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri merupakan tumpuan dan bagian dari harapan terakhir untuk mendapatkan jaminan atas manfaat dari uang penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan tersebut.
Sehingga, dalam Petitumnya, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29 dan angka 44 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian meminta MK menyatakan frasa “atau” pada Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “dan”. Selain itu menyatakan frasa “paling banyak” pada Pasal 156 ayat (2) dan ayat (3) dalam Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat jika tidak dimaknai paling sedikit, serta menyatakan Pasal 156 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai uang pengganti hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi: (a) cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; (b) biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; (c) penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; (d) hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Menanggapi permohonan pemohon tersebut, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan agar pemohon menguraikan secara jelas kedudukan hukum dan kerugian konstitusional pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU Cipta Kerja. Selain itu, Manahan juga mengatakan bahwa dalam hal mengemukakan kerugian hak konstitusional mana norma-norma yang bertentangan dengan UU Cipta kerja. Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyarankan pemohon untuk memastikan kedudukan hukum pemohon apakah perseorangan atau badan hukum publik.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan agar Pemohon menyerahkan perbaikan permohonan ke Kepaniteraan MK selambat-lambatnya pada Selasa 17 November 2020 pukul 13.30 wib.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.
Foto: Gani.