JAKARTA, HUMAS MKRI – Seluruh platform media elektronik termasuk layanan konten Over-The-Top telah diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 (PP 71/2019). Hal ini menunjukkan seluruh layanan internet masuk ke dalam kategori sistem dan transaksi elektronik yang wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Agung Harsoyo dalam sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Sidang perkara Nomor 39/PUU-XVIII/2020 ini digelar pada Rabu (4/11/2020) di Ruang Sidang Pleno MK dengan menerapkan protokol kesehatan terkait Covid-19 sehingga para pihak hadir secara virtual.
“Di dalam PP 71 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik pada pasal 2 telah diatur bahwa seluruh platform tidak hanya OTT media. Namun, seluruh internet masuk kedalam kategori sistem dan transaksi elektronik yang wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di Indonesia,” papar Agung di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: RCTI dan iNews Persoalkan Ketiadaan Aturan Siaran Melalui Internet
Dalam sidang mendengarkan keterangan ahli dari Pemerintah tersebut, Agung menyampaikan bahwa penyiaran merupakan perangkat khusus penerima siaran. Penyiaran memiliki definisi yang kokoh yang artinya, ketika seseorang mendengar penyiaran maka asosiasi terkait dengan perangkat penerima siaran itu sudah menjadi hal lazim di seluruh dunia.
Terkait dengan Over The Top (OTT), sambung Agung, memiliki taksonomi atau memiliki fungsi layanan yang bermacam-macam. Di antaranya, OTT komunikasi yang beberapa layanannya mensubtitusi layanan telekomunikasi, OTT media, OTT konten, OTT e-Commerce, OTT services dan OTT sosial media. Menurutnya, OTT media bukan termasuk ke dalam penyiaran. Secara teknologi, siapapun yang memiliki keinginan dan kemampuan dapat membuat OTT media atau setiap orang dapat mentitipkan konten yang dibuatnya ke OTT media yang telah ada. Dalam hal ini, lembaga penyiaran pun dapat melakukan hal yang sama dengan OTT media, yaitu meletakkan konten siaran untuk dapat diakses siapapun melalui internet.
Baca juga: DPR: Layanan OTT Bukan Termasuk Sistem Penyiaran Nasional
Lebih lanjut, Agung menjelaskan, di dalam keilmuannya, yakni teknologi informasi, ketika melakukan pengaturan maka pendirinya harus jelas. Dalam OTT ini, karena menggunakan internet maka pada dasarnya bersifat global. Sehingga, ketika seseorang memberikan layanan OTT media sebagai pribadi misalnya, maka siaran atau isi dari konten tersebut dapat disaksikan oleh seluruh dunia. “Jadi, kesimpulannya terkait dengan OTT media karena penyelenggaranya atau yang melakukannya bisa siapa saja maka hal ini tidak diatur sebagai suatu penyiaran,” ujar Agung.
Cakupan Definisi “Penyiaran”
Menanggapi keterangan Ahli Pemerintah tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan bahwa apabila membaca pengertian penyiaran pada Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tersebut sama sekali tidak mencakup penyiaran berbasis internet. “Apakah sama sekali tidak mencakup itu? Lalu, bagaimana kemudian kalau ada penyiaran berbasis internet itu diletakkan dimana karena ada kaitan dengan aspek penyebarluasan tadi. Kemudian pertanyaannya selanjutnya, bagaimana memahami pengertian penyiaran dengan frasa ‘Media lainnya’ apakah media lainnya itu adalah media diluar internet atau ada media apa lagi? Mohon dijelaskan apa sebenarnya yang dimaknai lingkup media lainnya juga,” papar Enny.
Baca juga: Ahli: Negara Harus Atur Konten OTT
Menjawab pertanyaan tersebut, pemohon dan pihak terkait, Agung mengatakan bahwa di dalam keilmuan yang ia miliki, media hanya dibagi menjadi dua, yaitu media udara dan media fisik. Sedangkan media fisik, misalnya media fiber optic. Terkait media udara, dibagi kembali terasial dan satelit. Selain itu, ia menjelaskan, bahwa internet tidak termasuk ke dalam media yang mencakup pengertian penyampaian informasi.
“Karena di dalam sistem komunikasi dasar yang namanya sistem komunikasi terdiri atas transmitter (pemancar), media (kanal), dan penerima. Dalam hal ini, apabila terdapat media lainnya bisa jadi taksonomi satelit atau lainnya. Internet tidak termasuk kedalam media apapun. Kemudian, di dalam PP 71/2019 sangat jelas menjelaskan bahwa OTT dalam hal ini platform digital masuk kedalam kategori sistem dan transaksi elektronik privat,” urai Agung.
Menurut Agung, baik platform maupun content creator dapat dilakukan pemblokiran apabila tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dikatakan Agung, di dalam UU penyiaran, UU Telekomunikasi, dan UU ITE, segala hal yang ditransmisikan konten definisinya sama berupa teks, suara, animasi dan video.
Baca juga: Ahli: Perizinan Layanan Internet Diatur dalam UU Telekomunikasi, Bukan UU Penyiaran
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Nomor 39/PUU-XVIII/2020 ini adalah PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV) yang diwakili oleh David Fernando Audy selaku Direktur Utama dan Rafael Utomo selaku Direktur dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) yang diwakili oleh Jarod Suwahjo dan Dini Aryanti Putri selaku Direktur (Pemohon II). Tim kuasa hukum Pemohon terdiri atas Taufik Akbar dkk.
Para Pemohon melakukan pengujian materiil Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Para Pemohon mendalilkan, ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon karena menyebabkan adanya pelakuan yang berbeda (unequal treatment) antara para Pemohon sebagai penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan spektrum frekuensi radio dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan Over The Top (OTT) dalam melakukan aktivitas penyiaran.
Menurut para Pemohon, tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran, menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti Layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran. Karena tidak terikatnya penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet pada UU Penyiaran, padahal UU a quo merupakan rule of the game penyelenggaraan penyiaran di Indonesia, menurut para Pemohon, hal ini berimplikasi pada adanya berbagai macam pembedaan perlakuan. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Andhini S.F