JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Tipikor) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (2/11/2020) siang. Permohonan Perkara Nomor 85/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Sumali (Pemohon I) dan Hartono (Pemohon II).
Sumali dan Hartono adalah Hakim Ad Hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Para Pemohon melakukan pengujian Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor yang menyebutkan, “Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk masa jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan”.
Para Pemohon mendalilkan telah dirugikan hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya pasal tersebut karena adanya periodisasi jabatan hakim ad hoc tipikor selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali jabatan. Hal ini menurut para Pemohon dapat mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi.
“Adanya periodisasi jabatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali jabatan sangat merugikan para Pemohon karena bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang merupakan payung kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dalam ketentuan undang-undang tersebut tidak ada satupun norma pasal yang mengatur periodisasi bagi hakim yang berada di lingkungan peradilan maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia, sehingga norma tentang periodisasi hakim ad hoc pengadilan tindak pidana korupsi merupakan suatu bentuk kerugian yang nyata bagi para Pemohon, yang melampaui peraturan dasarnya yakni ketentuan Pasal 24 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945,” papar kuasa Pemohon, Ahmad Fauzi.
Periodisasi masa jabatan hakim ad hoc pengadilan tipikor, menurut para Pemohon, bertentangan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman. Periodisasi jabatan sesungguhnya mengancam kebebasan hakim dan menimbulkan permasalahan yang serius yakni masalah dalam sistem pengangkatan dan pemberhentian bagi hakim ad hoc pengadilan tipikor.
Alasan Permohonan Disertai Bukti
Sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian Pasal 10 ayat (5) UU Pengadilan Tipikor ini dilaksanakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku Ketua Panel bersama dua Anggota Panel yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menasehati para Pemohon, di antaranya mengenai alasan permohonan.
“Alasan permohonan ini, Anda merujuk beberapa hal. Tetapi kalau bisa bukti-buktinya dimunculkan semua, untuk memperkuat alasan permohonan. Bukti-bukti yang terkait adanya problematika konstitusionalitas norma di situ. Termasuk Konvensi 1959 itu buktinya ada enggak. Kalau bisa dilihat itu di mana sumber yang validnya? Ini kan Anda tidak menyebutkan sumber yang valid. Kalau ada buktinya. bagus sekali. Silakan bukti-buktinya Anda sebutkan,” kata Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan para Pemohon terkait uraian Kewenangan Mahkamah dalam permohonan tersebut. “Kewenangan Mahkamah ini tidak usah panjang-panjang sampai 7 angka begini. Saudara tulis dua angka saja cukup. Angka pertama bahwa berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, serta pasal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,” kata Suhartoyo.
Sedangkan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mencermati redaksional permohonan para Pemohon. “Pertama, format identitas ya. Tolong disebutkan bahwa Saudara Sumali selanjutnya disebut Pemohon I dan Hartono disebut Pemohon II. Kalau memang mau digabung, selanjutnya disebut para Pemohon. Ini bila dalilnya sama. Lebih akuratnya ada contoh di website MK. Bisa dibuka,” kata Wahiduddin.
Selain itu, Wahiduddin menyoroti petitum para Pemohon yang seolah-olah ada dua permintaan. “Bahkan yang tertulis mengabulkan keseluruhan permohonan. Kalau mengabulkan semua permohonan berarti menyatakan Pasal 10 ayat (5) itu tidak mempunyai kekuatan mengikat dan bertentangan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kemudian ada konstitusional bersyarat, ini kontradiktif kan. Apalagi frasanya diubah lagi, padahal ayat (5) itu merujuk ke ayat sebelumnya. Kalaupun dibuat frasa baru, harus merujuk ayat (5) itu. Tidak lalu berdiri sendiri dengan redaksi sendiri juga,” tandas Wahiduddin.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.