JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Senin (26/10//2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan perkara yang teregistrasi dengan Nomor 71/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh R.M. Punto Wibisono. Adapun materi yang diujikan Pemohon ke MK yaitu Pasal 51 ayat (1) UU Peradilan Umum, Pasal 50 ayat (1), Pasal 66 ayat (1) dan Pasal 70 ayat (2) UU Mahkamah Agung, serta Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman. Pemohon menilai pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1 ), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Menurut Pemohon, ketentuan dalam Pasal 51 ayat (1) UU Peradilan Umum tidak menjelaskan bagaimana cara Pengadilan Tinggi memeriksa, mengadili, serta memutus perkara perdata atau pidana pada tingkat banding. Kemudian Pemohon mendalilkan Pasal 70 ayat (2) UU Mahkamah Agung yang menyatakan, “Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali 34 pada tingkat pertama dan terakhir” harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai: “Proses pemeriksaan dalam persidangan peninjauan kembali dilakukan dengan dihadiri oleh para pihak yang berperkara dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum”, karena secara konstitusional proses persidangan peninjauan kembali sangat urgen dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, oleh karena peninjauan kembali memeriksa novum atau bukti baru yang validitasnya akan makin teruji bila diverifikasi oleh para pihak dan publik.
Selain itu, Pemohon mendalilkan berlakunya Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung yang menyatakan, “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali” dan Pasal 24 (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan, “Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali”, telah merugikan hak konstitusional Pemohon yang diatur Pasal 28I ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Pemohon juga mendalilkan berlakunya ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman telah memperlakukan Pemohon selaku pihak dalam perkara perdata secara diskriminatif. Sebab, norma tersebut telah membatasi hak Pemohon sebagai pihak dalam perkara perdata untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali hanya satu kali, sementara menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013, pihak terpidana dalam perkara pidana diberikan hak konstitusional untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari sekali.
Baca Juga:
Menguji Ketentuan PK Hanya Sekali dan Keterbukaan Sidang MA
Penguji Ketentuan PK Tambahkan Norma Pengujian
Terhadap dalil Pemohon tersebut, pertimbangan hokum MK menyatakan Mahkamah Agung (MA) adalah peradilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan. Sebgaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 sehingga MA dapat memeriksa dan mengadili penerapan hukum yang berbeda dengan peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding.
Secara substansial, melalui kewenangan MA sebagaimana diatur dalam undang-undang diharapkan akan tercipta putusan yang berkepastian hukum dan berkeadilan hukum. Karena pada tiap putusan pengadilan, terkandung adanya asas, nilai dan norma-norma hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karenanya, MA sebagai puncak peradilan mempunyai fungsi mengadili dengan memeriksa hukum menurut peraturan perundang-undangan. Hal ini juga termaktub dengan jelas dalam ketentuan kekuasaannya pada Pasal 13 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman.
Selain itu, Mahkanah juga melihat ada hal fundamental lainnya yang penting yakni esensi adanya sistem peradilan Indonesia yang dilakukan secara berjenjang. Tujuan dari sistem ini dibuat agar ada koreksi atas putusan peradilan pada tingkat di bawah oleh peradilan yang ada di atasnya. Hal ini juga untuk mengantisipasi kekurangan dan kekhilafan hakim sebagai manusia dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Artinya kekurangan dan kekhilafan dalam hal kekurangan atau ketidakcermatan yang mungkin saja terdapat dalam putusan hakim.
“Oleh karenanya dengan diterapkan peradilan yang bertingkat ini, apabila warga negara sebagai pencari keadilan merasa putusan hakim dirasakan tidak adil, maka pencari keadilan masih mempunyai kesempatan untuk mencari dan memperjuangkan dalam mendapatkan putusan yang seadil-adilnya dengan melakukan upaya hukum pada peradilan yang lebih tinggi atau di atasnya,” kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh membacakan butir pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 71/PUU-XVIII/2020 ini.
Sistem Peradilan di Indonesia
Berikutnya Daniel mengatakan bahwa di Indonesia terdapat tiga jenis tingkatan pengadilan, yakni Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT), dan MA. Terhadap tingkatan peradilan tersebut terdapat dua jenis kewenangan dalam memeriksa dan memutus perkara, yakni kewenangan mengadili perkara berdasarkan fakta persidangan dan kewenangan mengadili berdasarkan hukum (judex juris). Dan kewenangan berdasarkan hukum ini adalah kewenangan yang dimiliki oleh MA. Bahwa kewenangan mengadili berdasarkan hukum ini berkaitan perkara kasasi dengan memeriksa penerapan hukum yang telah dilakukan oleh hakim atau majelis hakim dari putusan peradilan tingkat pertama (PN) dan tingkat banding (PT).
“Dengan demikian menjadi kehilangan relevansi dan esensi, apabila Pemohon menghendaki persidangan pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali harus atau setidak-tidaknya dilakukan dengan cara memanggil para pihak dengan mengulang kembali menggali fakta-fakta hukum, sebagaimana yang telah dilakukan oleh peradilan tingkat pertama dan peradilan tingkat banding. Di samping praktik tersebut akan mengingkari asas peradilan cepat, sederhana dan biaya murah,” sampai Daniel dalam persidangan yang diikuti dan dihadiri para pihak melalui persidangan jarak jauh.
Eksepsional atau Keperluan Penting
Namun demikian, meskipun kewenangan hakim tingkat kasasi dan peninjauan kembali dibatasi untuk menilai berkaitan dengan penerapan hukum dan hanya mendasarkan surat-surat semata, pada hal-hal tertentu jika hakim kasasi memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan perkara yang sedang ditangani, maka ia dapat mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan kepada peradilan tingkat banding atau peradilan tingkat pertama yang memutus perkara tersebut untuk melakukan pemeriksaan pada persidangan dengan mendengar para pihak atau para saksi dalam persidangan yang terbuka untuk umum sebagaimana ketentuan Pasal 50 ayat (1) UU Mahkamah Agung.
Maka pilihan undang-undang dengan tetap melekatkan kewenangan hakim kasasi, untuk mengadili perkara yang diajukan dengan mendasarkan pemeriksaan pada surat-surat. Dan hanya dalam keadaan yang eksepsional saja atau keperluan yang penting yang menghendaki maka barulah dapat dilakukan pemeriksaan dengan mendengar para pihak dan saksi-saksi ataupun memerintahkan peradilan tingkat pertama atau peradilan tingkat banding untuk melakukannya.
“Sehingga tidak ada relevansinya dalil Pemohon yang menghendaki agar persidangan perkara peninjauan kembali di MA dengan dihadiri para pihak dalam persidangan yang terbuka untuk umum.,” jelas Daniel pada sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, Mahkamah pun tidak dapat menerima alasan Pemohon yang berpendapat pemeriksaan perkara peninjauan kembali dapat menghasilkan validitas di dalam memeriksa bukti baru apabila diverifikasi oleh para pihak dan publik. Sementara kewajiban hadir di persidangan perkara peninjauan kembali, selain berdampak adanya beban biaya yang sangat berat bagi pencari keadilan, juga akan berdampak semakin menumpuknya jumlah perkara dan terhambatnya penyelesaian perkara di MA.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Mahkamah berkesimpulan permohonan Pemohon berkaitan dengan inkonstitusionalitas norma Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman adalah tidak beralasan menurut hukum. Akhirnya, Mahkamah dalam amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Penulis : Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang.
Foto: Gani.