JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusin (MK) memutuskan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (UU Keprotokolan). Permohonan pengujian UU Keprotokolan ini diajukan oleh Abu Bakar, warga Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat.
“Amar putusan mengadilan, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Anwar Usman didampingi para Hakim Konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 72/PUU-XVIII/2020 pada Senin (26/10/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Abu Bakar yang berprofesi buruh harian lepas ini menguji Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU Keprotokolan. Pemohon adalah pemilih dalam Pemilu 2019 untuk pemilihan anggota DPR. Menurut Pemohon, keberadaan objek yang diuji tidak menjelaskan tata letak tempat duduk untuk Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi, sehingga menimbulkan ketidakjelasan, yang dalam praktiknya terpisah-pisah. Padahal Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR sama-sama berstatus Pimpinan DPR yang bertugas secara kolektif dan kolegial menjalankan kewenangan dan mengambil keputusan secara bersama dalam posisi yang setara.
Baca Juga:
Seorang Buruh Persoalkan Tata Letak Pimpinan DPR dalam Acara Kenegaraan
Mahkamah dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada 10 September 2020 telah memberikan nasihat kepada Pemohon untuk memperbaiki sekaligus memperjelas hal-hal yang berkaitan dengan Pemohon dan permohonannya sesuai dengan sistematika permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 24 ayat (1) dan ayat (2) UU MK dan Pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK 6/ PMK/2005).
Kemudian Pemohon melakukan perbaikan permohonan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada 23 September 2020 dan diperiksa dalam sidang pemeriksaan perbaikan permohonan pada 24 September 2020. Dalam sidang perbaikan permohonan, Pemohon prinsipal atau kuasa hukum Pemohon yang menandatangani permohonan tidak hadir tetapi menghadirkan kuasa hukum tambahan atas nama Dwi Ratri Mahanani, S.H., yang mana baik dalam permohonan awal maupun dalam perbaikan permohonan tidak turut menandatangani permohonan dimaksud, sehingga Mahkamah menerima perbaikan permohonan dan mensahkan alat bukti Pemohon yang disampaikan dalam permohonan awal, namun isi dari perbaikan permohonan tidak dapat disampaikan oleh kuasa hukum karena ada keraguan atas penunjukan kuasa hukum tambahan untuk menyampaikan perbaikan permohonan dalam persidangan.
Baca Juga:
Uji UU Keprotokolan: Kuasa Pemohon Tak Berhak Bacakan Perbaikan Karena Tak Tanda Tangan
Selanjutnya, Mahkamah menyelenggarakan Persidangan Pendahuluan Tambahan pada 5 Oktober 2020 dengan agenda untuk mengonfirmasi penambahan kuasa hukum. Pemohon prinsipal tidak hadir tetapi dihadiri oleh kuasa hukum Pemohon yang menandatangani permohonan awal dan perbaikan permohonan serta dihadiri juga oleh kuasa hukum tambahan yang tidak menandatangani permohonan dan Mahkamah memberikan kesempatan kepada kuasa hukum Pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan.
Baca Juga:
Pemohon Pertegas Argumentasi Uji UU Keprotokolan
Format perbaikan permohonan Pemohon telah sesuai dengan sistematika UU MK dan PMK. Namun setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama uraian ihwal kedudukan hukum, Pemohon tidak dapat menguraikan secara jelas kualifikasinya sebagai Pemohon. Sebab, selain Pemohon mengkualifikasikan dirinya sebagai perseorangan warga negara Indonesia yang memiliki hak sebagai pemilih, Pemohon juga memosisikan diri seolah-olah mewakili kepentingan seluruh pemilih di Indonesia dengan menyatakannya sebagai persoalan konstitusional yang “bersumber dan identik dengan hak konstitutional seluruh pemilih di Indonesia”.
“Oleh karenanya menjadi tidak jelas dalam kualifikasi apa sesungguhnya Pemohon memosisikan kedudukan hukumnya dalam menjelaskan anggapan perihal kerugian konstitusionalnya,” kata Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul membacakan pertimbangan hukum putusan.
Sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, seseorang tidak serta-merta dapat mewakili orang atau pihak lain tanpa didasari surat kuasa khusus, kecuali bagi orang tua yang bertindak untuk kepentingan anaknya yang belum memenuhi syarat kecakapan bertindak dalam hukum. Berbeda halnya jika Pemohon secara tegas menjelaskan kualifikasinya hanya sebagai perseorangan warga negara Indonesia.
Andaipun Pemohon mengkualifikasikan diri sebagai perseorangan, Pemohon juga tidak dapat menjelaskan perihal anggapan kerugian konstitusionalnya dan hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional tersebut dengan norma yang dimohonkan pengujiannya yang substansinya berkenaan dengan tata tempat bagi Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi di ibukota negara Republik Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Mahkamah berpendapat Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo. Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan. Alhasil, Mahkamah dalam amar putusan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.
Foto: Gani.