JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang Pengucapan Putusan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (26/10/2020). Dalam pengucapan amar putusan, Ketua MK Anwar Usman menyatakan permohonan yang diajukan oleh Lembaga Kemasyarakatan Paguyuban Warga Solo Peduli Pemilu (PWSPP)tidak dapat diterima.
Baca Juga:
LSM Paguyuban Warga Solo Uji Pelaksanaan Pilkada di Masa Pandemi Covid-19
Paguyuban Warga Solo Perkuat Argumentasi Uji UU Pilkada
Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 69/PUU-XVIII/2020 ini, Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan norma yang diajukan oleh Pemohon berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Menurut Pemohon, pelaksanaan pemilihan tersebut berkaitan erat dengan aktivitas Pemohon sebagai lembaga yang membantu warga masyarakat dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan khususnya dalam membela dan memperjuangkan warga negara untuk terpenuhinya hak memilih dan dipilih dalam pemungutan suara, melakukan pendampingan atau mewakili terkait dengan upaya penyelesaian sengketa pemilu melalui mediasi, arbitrase, konsiliasi, dan/atau dengan cara proses hukum.
Terhadap hal tersebut, Saldi menyatakan bahwa untuk membuktikan adanya keterkaitan antara norma a quo dengan hak konstitusional, Pemohon tidak cukup hanya dengan menjelaskan tujuan dari pembentukan organisasinya. Pemohon harus pula menyampaikan contoh konkret aktivitas atau kegiatannya sebagai lembaga berkenaan dengan isu konstitusionalitas norma yang diajukan. Mengenai hal ini, Mahkamah dalam Sidang Pendahuluan pada 8 September 2020 lalu telah memberikan nasihat untuk perbaikan permohonan Pemohon. Namun setelah kembali membaca dengan saksama uraian Pemohon mengenai kedudukan hukum dan seluruh alat bukti yang dilampirkan, tidak terdapat uraian maupun bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah mengenai Pemohon telah aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang berkenaan dengan isu konstitusionalitas dalam norma yang diajukan pengujiannya.
Dengan kata lain, Pemohon tidak dapat membuktikan sebagai lembaga yang telah secara aktif berkegiatan di bidang yang berkaitan dengan norma yang diajukan untuk diujikan. Sehingga, Pemohon tidak mengalami kerugian, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan berlakunya norma a quo. Tidak terdapat pula hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian konstitusional dengan berlakunya norma yang dimohonkan untuk diujikan.
“Oleh karena itu, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sehingga Mahkamah tidak mempertimbangkan pokok permohonan Pemohon,” ucap Saldi terhadap dalil Pemohon yang menyatakan Pasal 201A ayat (1) dan ayat (2) Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2020 bertentangan dengan UUD 1945.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.
Foto: Gani.