JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MKRI) menggelar sidang pengucapan putusan pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pada Senin (26/10/2020). Permohonan yang teregistrasi dengan nomor perkara 54/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kamal Barok, Nurul Fadhilah, Erika Rovita Maharani, Melita Kristin BR Meliala, Helli Nurcahyo, M. Suprio Pratomo. Para pemohon merupakan pegawai sekretariat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dalam amar putusanya, Mahkamah menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. “Mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman didampingi 8 Hakim Konstitusi lainnya saat membacakan amar putusan Nomor 54/PUU-XVIII/2020.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan adanya pertentangan antara frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) dan frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 sehingga menyebabkan kebuntuan dalam pengaturan kelembagaan dan kepegawaian sekretariat KPPU. Hal ini menimbulkan pemahaman bahwa undang-undang hanya mengamanatkan kepada Komisi untuk mengatur kelembagaan dan kepegawaian sekretariat KPPU.
Terhadap dalil para Pemohon, Mahkamah dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo berpendapat bahwa KPPU adalah sebuah lembaga yang dibentuk berdasarkan UU 5/1999 untuk mengawasi pelaksanaan UU 5/1999, sehingga terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Lebih lanjut, berkaitan dengan kelembagaan KPPU, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 85/PUU-XIV/2016, bertanggal 20 September 2017, menyatakan “…dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, KPPU adalah lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah serta pihak lain dan bertanggung jawab kepada Presiden [vide Pasal 30 UU 5/1999], dengan kata lain KPPU merupakan lembaga negara bantu (state auxilliary organ). Secara sederhana KPPU adalah lembaga negara yang bersifat state auxilliary organ yang dibentuk di luar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok. KPPU memiliki kewajiban membuat pertanggungjawaban kepada Presiden. Pemberian pertanggungjawaban kepada Presiden juga menggambarkan bahwa fungsi KPPU sebagai lembaga negara bantu merupakan bagian dari lembaga negara utama di ranah eksekutif.”
Sehingga, lanjut Suhartoyo, berdasarkan pertimbangan hukum putusan tersebut, KPPU merupakan lembaga negara bantu (state auxilliary organ) yang merupakan lembaga yang membantu pelaksanaan tugas lembaga negara pokok yang pembentukannya berdasarkan perintah undang-undang. Berkenaan dengan dalil para Pemohon yang mempersoalkan produk hukum pembentukan KPPU dilakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres), hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari materi yang diatur dan sifat peraturan yang mengatur lembaga KPPU itu sendiri. Apabila dicermati lebih lanjut, pembentukan lembaga KPPU secara faktual cukup diatur dalam keputusan presiden.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa secara doktriner, keppres bersifat penetapan yang hanya berlaku dan mengikat kepada orang atau pihak tertentu yang disebut dan mengenai hal yang diatur dalam keppres tersebut, dalam hal ini adalah KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsi yang menyertainya. Hal ini semakin menguatkan argumen bahwa substansi yang berkenaan dengan KPPU memang dapat diakomodir untuk diatur dalam keppres. Sementara itu berkaitan dengan dalil para Pemohon yang memohon agar hal-hal yang berkenaan dengan KPPU diatur dalam peraturan presiden (perpres), permasalahannya bukan terletak semata-mata karena peraturan perundang-undangannya yang mengatur, akan tetapi lebih kepada substansi yang akan diatur.
Dengan kata lain, kebutuhan regulasi untuk mengatur KPPU, sangat tergantung pada substansi peraturan perundang-undangan atau sejauh mana akan merespon kebutuhan dan dinamika lembaga KPPU. Terlepas dari adanya kebutuhan lembaga KPPU yang bersifat kekinian (jika ada) dan juga sebagaimana yang didalilkan para Pemohon, Mahkamah berpendapat sepanjang belum secara konkret lembaga KPPU sudah ditingkatkan ruang lingkup kewenangannya, tugas dan fungsinya, maka belum tepat apabila pembentukan KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya dilakukan melalui perpres. Di samping bertentangan dengan alasan historis ketika lembaga KPPU tersebut dibentuk, hal tersebut juga secara doktriner tidak sesuai dengan sifat dari perpres yang mengatur norma yang bersifat umum, abstrak dan terus-menerus.
Suhartoyo menegaskan, uraian pertimbangan hukum Mahkamah di atas juga berlaku (mutatis mutandis) terhadap dalil para Pemohon yang meminta agar frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 ditafsirkan sebagai “Peraturan Presiden.” Hal ini dikarenakan norma yang diatur dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 juga bersifat konkret, individual, dan sekali selesai. Dengan demikian, tidaklah tepat apabila mempermasalahkan norma dari Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) UU 5/1999 yang merupakan norma delegasi dari undang-undang, sementara substansi yang diperintahkan adalah berkaitan dengan hal yang bersifat individual, konkret, dan sekali selesai.
Sehingga, apabila norma pasal-pasal a quo pada frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 dan frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “Peraturan Presiden”, hal tersebut sama saja dengan menggeser pembentukan KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya serta susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja pada lembaga KPPU diatur dengan perpres. Lebih lanjut, hal tersebut akan menggeser pula alasan historis dan substansi pembentukan KPPU yang dijadikan rujukan ketika dibentuk.
Di samping hal tersebut bertentangan dengan sifat dari perpres yang merupakan ketentuan pengaturan terhadap hal-hal yang bersifat umum, abstrak dan terus-menerus, juga terdapat “contradictio in terminis” antara substansi yang diatur dengan norma yang semestinya mengatur dalam norma yang bersangkutan. Terlebih, tidak semua keppres dapat serta-merta dimaknai dan diberlakukan sebagaimana perpres, karena hanya terhadap keppres yang bersifat “mengatur” (regeling) yang dapat dimaknai sebagai perpres. Sementara itu, apakah frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 yang berkaitan dengan pembentukan lembaga KPPU serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya merupakan keppres yang berisi norma bersifat “mengatur” (regeling) ataukah “menetapkan” (beschikking), hal tersebut bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menilainya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon yang memohon agar frasa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 (1) dan frasa “keputusan Komisi” dalam Pasal 34 ayat (4) UU 5/1999 ditafsirkan sebagai “Peraturan Presiden” adalah tidak beralasan menurut hukum menurut Mahkamah.
Kesekretariatan KPPU
Selanjutnya, dalam permohonannya, para Pemohon juga mendalilkan KPPU sebagai lembaga negara yang mempunyai peran penting dan sangat strategis sudah seharusnya didukung oleh sekretariat yang bersifat tetap serta memiliki kemandirian dan kapasitas dalam tata kelola organisasi, kepegawaian, dan pengelolaan anggaran, yakni sekretariat jenderal. Menurut Mahkamah, dalam menentukan pembentukan unit organisasi sekretariat jenderal, diperlukan kajian yang mendalam dari segala sisi yang dikaitkan dengan fungsi, tugas, dan wewenang KPPU. Pada dasarnya pembentukan sekretariat jenderal memiliki konsekuensi yang luas, bukan hanya terkait dengan anggaran, yang dalam hal ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tetapi juga mengakibatkan ruang lingkup kewenangan organisasi menjadi lebih besar.
Sehingga, apabila Mahkamah mengabulkan permohonan para Pemohon yakni dengan meningkatkan status kesekretariatan jenderal pada KPPU, quod non, hal tersebut sama halnya memaksa Mahkamah melakukan analisa tentang ruang lingkup kewenangan kelembagaan dan jabatan-jabatan yang melekat terkait dengan kesekretariatan-jenderal KPPU. Namun, hal tersebut bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah. Mahkamah juga tidak dapat menggambarkan konsekuensi anggaran atau biaya yang akan dikeluarkan oleh negara jika permohonan para Pemohon dikabulkan. Dengan kata lain, permasalahan kesekretariatan KPPU akan ditingkatkan menjadi kesekretariatan jenderal ataukah bukan, bukanlah menjadi kewenangan Mahkamah, melainkan pemerintah dan lembaga terkait untuk menentukannya.
Setelah secara kelembagaan kesekretariatan dapat ditingkatkan menjadi sekretariat jenderal, maka hal tersebut baru mempunyai korelasi dengan peraturan yang mengaturnya. Apakah tetap diatur dengan keputusan presiden ataukah dengan peraturan presiden, penyesuaian tersebut sangat tergantung pada sifat dan kebutuhan kelembagaannya. Penegasan berkenaan penentuan status kelembagaan kesekretariatan KPPU yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah, sesungguhnya juga dipahami oleh para Pemohon sebagaimana disampaikan para Pemohon dalam salah satu dalil permohonannya yang menyatakan penyempurnaan UU 5/1999 merupakan wilayah kewenangan pembentuk undang-undang.
Oleh karena itu, para Pemohon memohon agar Mahkamah setidak-tidaknya dapat memberikan landasan konstitusional sebagai arah penyempurnaan UU 5/1999, sehingga rancangan undang-undang tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat masuk dalam daftar prolegnas rancangan undang-undang prioritas dan segera dilaksanakan. Terhadap hal tersebut, Mahkamah dapat memahami bahwa penyempurnaan UU 5/1999 dapat juga merupakan bagian penegasan terhadap kedudukan dan kewenangan kelembagaan kesekretariatan KPPU.
Maka, melalui putusan ini Mahkamah menegaskan, apabila memiliki urgensi dan telah dilakukan pengkajian yang komprehensif serta telah disesuaikan dengan kebutuhan kewenangan, ruang lingkup tugas dan fungsinya, dapat saja disesuaikan dan tidak menjadi penghalang KPPU untuk berkembang menjadi lembaga yang sesuai dengan kebutuhan.
Dengan demikian berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah, dalil permohonan para Pemohon berkaitan kata “sekretariat” dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (4) UU 5/1999 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai selain “sekretariat jenderal sebagaimana sekretariat badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945" tidak beralasan menurut hukum.
Alasan Berbeda
Dalam putusan a quo, empat Hakim Konstitusi yakni Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Hakim Konstitusi Saldi Isra, Hakim Konstitusi Aswanto, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki alasan berbeda (concurring opinion) perihal pokok permohonan frasa “Keputusan Presiden” yang menyangkut norma dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa para Pemohon mendalilkan frasa “Keputusan Presiden” dalam norma Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 yang menyatakan “Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan “Keputusan Presiden” adalah inkonstitusional apabila frasa “Keputusan Presiden” tidak dimaknai menjadi “Peraturan Presiden”.
Berkenaan dengan dalil para Pemohon, menurut keempat Hakim Konstitusi, penting untuk dilihat kembali waktu pengesahan UU 5/1999 dan waktu pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai lembaga yang dibentuk sesuai dengan perintah UU 5/1999. Penentuan waktu (time constraint) tersebut diperlukan karena berkaitan dengan perubahan nomenklatur produk hukum berupa “Keputusan” dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004).
Dengan tidak adanya lagi penyebutan “Keputusan” untuk muatan yang bersifat pengaturan, maka “Ketentuan Penutup” yang termaktub dalam Pasal 56 UU 10/2004 menyatakan “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”.
Menurut Enny, dalam perkembangannya, sekalipun UU 10/2004 dinyatakan tidak berlaku, ketentuan yang sama dengan muatan Pasal 56 UU 10/2004 tersebut tetap dipertahankan. Dalam hal ini, Pasal 100 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011) sebagai pengganti UU 10/2004 menyatakan, “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”.
Enny lebih lanjut mengatakan, dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999, telah ditetapkan Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha (Keppres 75/1999) yang mengatur mengenai pembentukan, susunan organisasi, tugas dan fungsi KPPU. Pengaturan produk hukum dengan menggunakan nomenklatur tersebut dapat dipahami karena Keppres 75/1999 dibentuk sebelum berlakunya UU 10/2004. Namun dalam perkembangannya, setelah berlakunya UU 10/2004, Keppres 75/1999 telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha dikarenakan perlunya dilakukan penyempurnaan guna mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang KPPU,.
Sesuai dengan amanat Pasal 56 UU 10/2004, lanjut Enny, nomenklatur produk hukum perubahan dimaksud tidak lagi menggunakan nomenklatur “Keputusan Presiden” sebagaimana nomenklatur yang digunakan dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999, melainkan telah disesuaikan dengan nomenklatur dalam UU 10/2004, yaitu “Peraturan Presiden”. Sebetulnya, perihal perubahan nomenklatur ini pun telah diketahui dan dipahami oleh para Pemohon sebagaimana dinyatakan dengan jelas dan terang dalam mendalilkan ketidakjelasan status kelembagaan KPPU (vide permohonan para Pemohon hlm. 15 huruf b).
Dengan demikian, apa yang dimohonkan oleh para Pemohon telah dengan sendirinya terjawab oleh para Pemohon dalam permohonan a quo bahwa “Keputusan Presiden” dalam Pasal 34 ayat (1) UU 5/1999 karena bermuatan mengatur sebagaimana ketentuan Pasal 56 UU 10/2004 jo. Pasal 100 UU 12/2011.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayudhita.
Foto: Gani.