JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan uji aturan pengelolaan dan penggunaan sumber daya air sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 ayat (2), Pasal 58, dan Penjelasan Pasal 59 huruf c Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (UU SDA) tidak dapat diterima. Demikian Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 73/PUU-XVIII/2020 dibacakan pada Senin (26/10/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan ini diajukan oleh Agus Wibawa (Pemohon I), Dewanto Wicaksono (Pemohon II), Prihatin Suryo Kuncoro (Pemohon III) dan Andy Wijaya (Pemohon IV). Para Pemohon merupakan pekerja pada perusahaan yang merupakan anak perusahaan PT. PLN dengan fokus usaha pada pembangkitan energi listrik. “Menyatakan Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat bahwa tidak melihat adanya korelasi langsung antara kepentingan para Pemohon sebagai Serikat Pekerja dengan mekanisme pengenaan Pajak Permukaan Air (PPA) dan Biaya Jasa Pengelolaan Sumber Daya Air (BJPSDA). Pemohon mendalilkan dengan dibebankannya BJPSDA pada Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), hal tersebut akan menambah beban pengeluaran dari PLTA, yang mengakibatkan Biaya Pokok Produksi (BPP) menjadi naik dan dapat melampaui BPP sumber energi listrik lainnya, di antaranya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berdampak PLTA menjadi tidak menarik lagi untuk dikembangkan. Hal ini dikhawatirkan para Pemohon berdampak secara langsung pada bisnis PLTA yang tidak lagi menjadi kompetitif dan menarik investor. Kemudian pada akhirnya akan merugikan hak konstitusional para Pemohon, yaitu kehilangan pekerjaan dan penghidupan yang layak karena perusahaan tempat kerja anggota para Pemohon tidak lagi dapat mempekerjakan pekerja di unit PLTA dan karena listrik sebagai kebutuhan pokok dan mendasar akan mengalami kenaikan tarif listrik.
Baca juga: Terancam Hilang Mata Pencaharian, Pekerja Anak Perusahaan PT. PLN Uji UU SDA
Selain itu, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak dapat menjelaskan hubungan sebab akibat antara BJPSDA dan PPA dengan anggapan kerugian konstitusional yang dialami oleh para Pemohon. Para Pemohon tidak mampu menunjukkan bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon adalah pihak yang dirugikan sebagaimana disebutkan dalam permohonan para Pemohon.
“Bahkan, seandainya pun pernyataan para Pemohon itu benar, tanpa bermaksud menilai lebih jauh konstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujiannya oleh para Pemohon berkenaan dengan dua jenis pembebanan biaya sebagaimana yang dijelaskan oleh para Pemohon, yaitu PPA dan BJPSDA,” papar Arief.
Lakukan Konservasi SDA
Arief melanjutkan berkaitan dengan BJPSDA sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 28 UU 17/2019 adalah biaya yang dikenakan, baik sebagian maupun secara keseluruhan kepada pengguna Sumber Daya Air yang dipergunakan untuk pengelolaan sumber daya air secara berkelanjutan. Ia mengatakan Pemerintah dapat melakukan konservasi terhadap sumber daya air di Indonesia melalui BPJSDA. Dengan demikian secara ekonomi, semakin banyak pemanfaat sumber daya air yang membayar BJPSDA, maka semakin besar biaya yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sumber daya air, sehingga akan memberikan tingkat layanan yang lebih baik. “Namun demikian, pembayaran BJPSDA adalah menjadi kewajiban perusahan (in casu PT PJB dan PT IP) yang tidak ada relevansinya dengan kepentingan para Pemohon,” ujar Arief.
Baca juga: Pekerja Anak Perusahaan PT. PLN Perbaiki Kedudukan Hukum
Dikatakan Arief, diterimanya kedudukan hukum Serikat Pekerja di beberapa putusan Mahkamah sebelumnya, sebagaimana yang telah para Pemohon uraikan tidak serta-merta menjadikan para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Karena, sambungnya, pada dasarnya pemberian kedudukan hukum oleh Mahkamah kepada pemohon/para pemohon sangat tergantung dari terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005.
“Sehingga, berdasarkan seluruh uraian di atas, telah terang dan tidak ada keraguan bagi Mahkamah bahwa pada diri para Pemohon tidak terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian konstitusional yang diuraikan dengan berlakunya norma Pasal 19 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) huruf a, dan Penjelasan Pasal 59 UU 17/2019 yang dimohonkan pengujian. Para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo. Maka, Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” tandas Arief.
Sebelumnya, permohonan ini diajukan oleh Agus Wibawa (Pemohon I), Dewanto Wicaksono (Pemohon II), Prihatin Suryo Kuncoro (Pemohon III) dan Andy WIjaya (Pemohon IV). Para Pemohon merupakan pekerja pada perusahaan yang merupakan anak perusahaan PT. PLN dengan fokus usaha pada pembangkitan energi listrik. Pemohon I dan Pemohon II merupakan Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Serikat Pekerja Pembangkitan Jawa Bali (DPP SP PJB). Sementara Pemohon III dan Pemohon IV merupakan Ketua dan Sekretaris Persatuan Pegawai PT Indonesia Power Tingkat Pusat (PP IP). Pemohon menyatakan bahwa UU a quo berpotensi terdampak terhadap perusahaannya. Pemohon menganggap ketentuan pasal tersebut dapat menimbulkan kerugian konstitusional sebagai pekerja dengan kemungkinan meruginya PT Pembangkitan Jawa Bali dan PT. Indonesia Power secara terus-menerus. Pasalnya Pemohon dapat kehilangan penghidupan yang layak karena naiknya tarif listrik yang secara otomatis dan notoir feiten menyebabkan naiknya seluruh kebutuhan sandang, pangan, dan papan. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Raisa Ayudhita