JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengujian formil proses pembentukan UU Minerba telah sesuai asas keterbukaan pada publik. Sejak tahapan perencanaan pada 6 Februari 2015, telah dilakukan rapat kerja untuk penetapan program legislasi nasional (prolegnas) yang dihadiri oleh Badan Legislasi (Baleg) beserta enam orang anggota perancangan undang-undang dari DPD RI. Di dalamnya, DPD telah menyepakati dan menyetujui rancangan UU Minerba telah masuk dalam tahap perencanaan sejak 2015 dan perubahannya pun termuat pada daftar prolegnas yang dapat diakses publik melalui laman DPR RI.
Demikian diungkapkan oleh Anggota DPR RI Arteria Dahlan dalam Keterangan DPR terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), Rabu (21/10/2020). Persidangan keempat ini digelar MK untuk tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020, Nomor 60/PUU-XVIII/2020, dan Nomor 64/PUU-XVIII/2020.
Arteria kemudian mengemukakan, pada 22 Januari 2020 RUU Minerba masuk dalam daftar prolegnas prioritas periode 2020–2024. Di dalamnya terdapat 248 RUU yang salah satunya RUU Minerba sebagai RUU Carry Over.
Selanjutnya Arteria menanggapi dalil Pemohon Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan DPD RI tidak dilibatkan dalam tahap penyusunan prolegnas. DPR berpendapat bahwa DPD RI diundang dalam pembahasan kembali Prolegnas Prioritas Tahun 2020 ini.
“DPD RI telah menyetujui hasil penyusunan kembali rancangan undang-undang, termasuk RUU Minerba sehingga dari data, maka DPD terlibat dalam rapat penetapan prolegnas,” sampai Arteria secara virtual pada Majelis Sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Tahap Penyusunan RUU Minerba
Arteria menguraikan penyusunan RUU Minerba telah dilakukan sejak 2015 sebagai bagian prolegnas dan telah menempuh jalur penyusunan naskah akademik. Bahkan pada 8 Maret 2018 telah pula diperdengarkan dalam sesi pemaparan ahli yang membahas hasil harmonisasi RUU ini dengan melibatkan para anggota dewan dalam sidang yang bersifat terbuka. Diakui oleh Arteria bahwa perubahan RUU Minerba ini merupakan usul DPR yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna pada April 2018. Terkait dengan perubahan tersebut, Presiden pun telah menyampaikan dan menunjuk perwakilan pemerintah, di antaranya Menteri ESDM dan Menteri Hukum dan HAM. Kemudian, Tahap Pembahasan dimulai dan ditandai dengan adanya Surat Presiden tanggal 5 Juni 2018. Dalam tahapan ini, telah pula dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan dengan menteri terkait. Pada Juli 2018 juga telah dilakukan Rapat Kerja yang memutuskan RUU Minerba masuk sebagai salah satu RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya. Hal tersebut dikarenakan RUU Minerba telah masuk dalam daftar inventarisasi masalah (DIM).
“DPR telah menyepakati RUU a quo sebagai RUU Carry Over. Pada Peraturan DPR dan Tata Tertib DPR pun menyebutkan carry over dapat dilakukan jika sudah masuk pembahasan dan telah memilki tim penyusun. Maka, DPR periode berikutnya bisa melanjutkan pembahasan sebuah RUU tanpa perlu adanya pembahasan ulang,” jelas Arteria yang dalam penyampaian keterangan DPR ini didampingi oleh Anggota DPR RI Maman Abdurrahman.
Sehubungan dengan pernyataan para Pemohon yang mendalilkan pembahasan undang-undang a quo dilakukan secara eksklusif dan tertutup, DPR berpendapat bahwa dalam penyusunan UU apapun, DPR RI telah mengikuti Peraturan DPR yang pada intinya menyebutkan semua jenis rapat dapat dilakukan oleh anggota dewan, baik di dalam ataupun di luar Gedung DPR RI. Oleh karena itu, pada prinsipnya DPR RI selalu taat hukum dan asas serta berupaya menggunakan sarana dan prasarana kegiatan yang tersedia dengan tetap tunduk pada prosedur secara formil dan materil.
Baca Juga:
MK Gelar Tiga Perkara Pengujian UU Pertambangan Mineral dan Batubara
Tiga Perkara UU Minerba Perbaiki Permohonan
Tak Punya Kedudukan Hukum
Pada kesempatan yang sama, Anggota DPR RI Maman Abdurrahman menerangkan perihal kedudukan hukum para Pemohon. Secara formil kedudukan hukum para Pemohon didasarkan pada adanya batasan kerugian konstitusional. Pemohon perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 dan 60/PUU-XVIII/2020 menyatakan hak pilihnya telah diberikan melalui mandat pada DPD, tetapi dalam penyusunan UU Minerba ini wakilnya tidak dilibatkan. Maman menegaskan bahwa para Pemohon tidak dapat membuktikan tentang penggunaan hak pilih dimaksud dan sama sekali tidak memiliki bukti konkret yang menyebutkan kepesertaan mereka pada Pemilihan Umum Tahun 2019.
“Sejatinya kerugian terjadi bagi warga yang memberikan hak pilihnya jika wakil rakyat tersebut tidak menjalankan tugas. Padahal kenyataannya tugas dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh DPR RI, dalam hal ini juga DPD RI. Maka dalam konteks pembentukan undang-undang ini DPR dan DPD telah hadir dalam rapat dalam pembentukan UU Minerba sesuai aturan yang berlaku dan telah ada bukti keterlibatan DPD dalam risalah persidangannya,” sebuat Maman.
Bukan Subjek Hukum
Sedangkan secara formil, Maman mengatakan pula tidak terdapat hubungan langsung antara Pemohon dengan keberlakukan norma yang diujikan. Pemohon I pada Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 yang berprofesi sebagai peneliti dan Pemohon II yang merupakan akademisi menyatakan proses pembentukan UU Minerba dilakukan tertutup.
DPR berpandangan para Pemohon bukan subjek yang diatur UU Minerba. Hal tersebut disampaikan karena tidak terdapat aturan untuk akademisi dan peneliti yang memiliki hubungan langsung dengan UU a quo. Dikatakan oleh Maman bahwa pembentukan UU apapun di DPR RI harus mempertimbangkan seluruh aspek. Jika berpegang teguh pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka terdapat kewajiban pada akademisi ini yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Maka tanpa diakomodir untuk pembuat undang-undang pun, seorang peneliti atau dosen wajib melakukan tri dharma tersebut.
Selanjutnya Maman menanggapi permohonan perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020, terutama pada Pemohon I dan Pemohon II yang merupakan warga negara sekaligus anggota DPD. DPR berpandangan para Pemohon tidak secara jelas mendalilkan kedudukannya apakah bertindak sebagai WNI atau anggota DPD. Jika sebagai WNI maka harus ada keterkaitannya dengan keberlakukan norma a quo yang benar-benar dirugikan secara langsung atau potensial dialami. Dan jika sebagai anggota DPD, maka pihaknya harus dapat membuktikan legalitas untuk mewakili instansi dalam pengujian undnag-undang ini.
“Bahwa Pemohon I dan II bukanlah anggota DPD RI yang diutus secara resmi yang ada pada rapat-rapat yang digelar oleh DPR RI dalam penyusunan perubahan UU Minerba ini,” sampai Maman.
Baca Juga:
UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Pemohon Uji UU Minerba Perbaiki Permohonan
Administrasi Kedinasan
Selanjutnya terhadap Pemohon III yang merupakan kepala daerah, Maman menyampaikan UU a quo bersifat umum dan tidak mengatur mengenai daerah tertentu, termasuk daerah Bangka Belitung sehingga keberlakuan dan proses pembentukannya tidaklah merugikan Pemohon. Justru Maman mempertanyakan bahwa kebijakan pemerintah merupakan komitmen penyelenggara negara, dan sebagai kepala daerah Pemohon III yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat seharusnya wajib menjalankan segala undang-undang dengan selurus-lurusnya. Apabila terdapat masalah terkait hal ini, maka dapat ditempuh dan diselesaikan secara administrasi kedinasan antarlembaga pemerintah.
“Pemohon III harus memperhatikan surat Kemendagri yang menyatakan agar penyelesaian masalah antarpemerintah daerah dilakukan dengan administratif ketatanegaraan dan tidak diselesaikan di peradilan,” sebut Maman.
Bukan Hak Konstitusional
Sedangkan terhadap Pemohon perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 yang mendalilkan telah dirugikan dengan berlakunya UU Minerba, DPR berpandangan bahwa di dalamnya tidak mengatur hak konstitusional, melainkan menyatakan soal pemberdayaan alam yang dapat dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang diatur selaras berdasarkan UUD 1945. Pasal 33 ayat (3) yang dijadikan batu uji oleh Pemohon juga tidak mengatur hak konstitusional warga negara, melainkan menyatakan penguasaan sumber daya alam yang melingkupi kebutuhan khalayak dapat dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
“Maka syarat-syarat izin usaha terhadap pertambangan yang ada pada norma a quo ditujukan pada Pemerintah dan badan usaha pertambangan yang mengatur syarat perpanjangan kontrak dan perjanjian usaha pertambangan. Sehingga Pemohon tidak punya hak dan pertautan dengan Pasal 169A UU a quo yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18A Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945,” kata Maman.
Baca Juga:
Sidang Uji UU Minerba: DPR dan DPD Berhalangan, Pemerintah Minta Penundaan
Untuk diketahui permohonan Perkara Nomor 59/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Kurniawan, perorangan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai peneliti di Organisasi Sinergi Kawal BUMN yang fokus mengawasi dan menyikapi serta memberikan masukan kepada BUMN yang bergerak di bidang Minerba. Menurut pemohon, substansi materi UU Minerba berisi tentang ketentuan-ketentuan norma yang mengatur hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam. Hal ini berarti keikutsertaan DPD RI dalam membahas Rancangan Undang-Undang Minerba adalah suatu amanat konstitusi yang tidak bisa diabaikan. Pemohon selaku Pemilih dalam Pemilu serta sebagai peneliti yang fokus di bidang pertambangan telah mengalami kerugian konstitusional karena tidak dilibatkannya DPD RI dalam proses pembentukan UU tersebut.
Selanjutnya Perkara Nomor 60/PUU-XVIII/2020 dimohonkan oleh Alirman Sori dan tujuh Pemohon lainnya. Para Pemohon merupakan pihak yang dirugikan hak konstitusionalnya karena pembahasan undang-undang a quo yang dilakukan secara eksklusif dan tertutup tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan DPD padahal sesuai dengan konstitusi, DPD mempunyai kewenangan membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Terakhir, permohonan perkara Nomor 64/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Helvis, seorang advokat sekaligus purnawirawan TNI, dan Muhammad Kholid Syeirazi, Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU). Para Pemohon mempersoalkan pasal yang disisipkan dalam UU Minerba, yaitu Pasal 169A yang secara umum mengatur perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Helvis dan Kholid berpandangan Pasal 169A UU Minerba memberikan peran yang terlalu besar kepada Menteri dan mengesampingkan peran pemerintah daerah. Menurut para Pemohon, pasal tersebut memperlihatkan pembentuk undang-undang tidak berpihak kepada organ negara, dalam hal ini BUMN dan BUMD. Sebaliknya, pasal tersebut malah mengatur pemberian perpanjangan IUPK kepada pihak selain BUMN dan BUMD.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.
Foto: Gani.