JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) pada Rabu (21/10/2020) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi Nomor 83/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Wenro Haloho yang merupakan advokat magang. Dora Nina Lumban Gaol selaku salah satu kuasa hukum Pemohon menyatakan, Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat yag berbunyi, “berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun” bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Dalam pandangan Pemohon, norma a quo berpotensi menimbulkan kerugian baginya untuk menjadi advokat karena pegangkatan seorang advokat harus berumur minimal 25 tahun. Dalam usaha untuk menjadi advokat, Pemohon telah melakukan magang secara terus-menerus pada kantor advokat terhitung sejak 23 Februari 2019 – 23 Februari 2021. Namun pada akhir magang nantinya, Pemohon masih belum mencapai usia minimal yang disyaratkan norma a quo sebagai seorang andvokat.
“Pemohon baru genap berusia 25 tahun pada 29 November 2021 untuk dapat menjadi seorang advokat sehingga terdapat waktu selama 9 bulan baginya dengan tidak memiliki pekerjaan,” jelas Nina pada Majelis Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Manahan M.P. Sitompul sebagai anggota.
Disebutkan oleh Nina, sebelum perkara a quo telah ada tiga perkara dengan permasalahan yang sama yang telah diujikan ke MK, yakni Putusan MK Nomor 019/PUU-I/2003, 84/PUU-XIII/2015, dan 79/PUU-XVI/2018. Akan tetapi dalam permohonan ini, Pemohon memiliki alasan, dasar konstitusional, dan bukti yang berbeda dengan pertimbangan dalam putusan terdahulu tersebut.
Adanya pasal tersebut, sambung Nina, jelas menciptakan ketidaksamaan dalam hukum karena adanya perbedaan kedudukan untuk menjadi advokat bagi yang belum berusia 25 tahun. Keadaan demikian tentu tidak sesuai dengan amanat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Di samping itu, berpedoman pada Putusan MK Nomor 019/PUU-I/2003 yang pada intinya menyatakan pembatasan usia minimal bagi calon advokat dapat disimpulkan pada dua kategori, yaitu kematangan emosional/psikologi dan kematangan akademik.
Terkait dengan kedewasaan dan kematangan emosional ini, Pemohon mengutip pendapat Leah H. Sommerville yang menyebutkan kematangan emosional seseorang tidak dapat diidentikkan dengan umur orang tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, dalam memantapkan kemampuan akademiknya, seorang advokat perlu melengkapi diri dengan pengalaman dan praktik di lapangan untuk menyempurnakan pengetahuan teoritis yang telah diperoleh dari lembaga pendidikan. Akan tetapi, pengalaman dan praktik tersebut tidak selalu berkorelasi dengan usia seseorang dengan batas usia minimal yang disyaratkan norma a quo.
“Jika tujuan pembatasan usia untuk meningkatkan kematangan akademik, maka yang menjadi perhatian seharusnya lama waktu magang dan bukan usia minimal calon advokat. Karena kematangan akademik, tetap dapat tercapai tanpa melimitasi usia minimal calon advokat,” ujar Nina melalui sambungan persidangan jarah jauh.
Dengan demikian, Pemohon memohon pada Mahkamah agar menyatakan Pasal 3 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pernah Diujikan
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan nasihat perbaikan permohonan. Salah satunya terkait dengan dasar pengujiannya yang dimohonkan oleh Pemohon yang juga pernah diujikan pada perkara sebelumnya. Menurut Wahiduddin, pada Perkara Nomor 79/PUU-XVI/2018 norma pasal pada UUD 1945 yang digunakan sama dengan pasal pada perkara ini. “Untuk itu, diharapkan Pemohon harus mencermati kembali putusan terdahulu tersebut dengan alasan pengajuan permohonan pada perkara ini. Sehingga pokok permohonan pada perkara ini tidak ne bis in idem,” jelas Wahiduddin.
Senada dengan hal tersebut, Hakim Konstitusi Manahan M.P Sitompul pun meminta Pemohon untuk membuatkan narasi serta alasan konstitusionalnya yang tidak terlihat sama dengan permohonan yang pernah diajukan ke MK sebelumnya. Selanjutnya, terkait dengan pernyataan Pemohon mengenai kematangan seseorang dari psikologi, Manahan meminta agar Pemohon dapat membuatkan pula argumentasi perbandingan seseorang yang diangkat menjadi jaksa atau hakim.
“Misalnya untuk diangkat sebagai jaksa atau hakim, itu perlu ada batasan usia minimalnya. Untuk menjadi advokat pun demikian, coba berikan alasan diskriminasi yang dimaksudkan. Perlu pula diketahui Pemohon untuk jangan dibawakan hal subjek yang berkepentingan dalam sebuah pengajuan perkara pengujian undang-undang, tetapi lihat dari tujuannya. Bahwa sesuatu bukan diskriminasi kalau yang berbeda itu benar-benar dibedakan,” terang Manahan.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar Pemohon meyakinkan Mahkamah dengan memberikan uraian kajian filosofis, sosiologis, dan yuridis agar permohonan tidak ne bis in idem dengan membuat perbandingan dengan negara lain. Maksudnya, Pemohon dapat membuat bentangan usia seorang advokat yang ada di negara lain di dunia yang mungkin saja ada berumur di bawah 25 tahun telah menjadi seorang advokat. Sehingga Mahkamah teryakinkan bahwa syarat usia minimal tersebut adalah sebuah ketentuan yang dapat saja diubah di kemudian hari. Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Daniel mengingatkan agar Pemohon dapat menyerahkan perbaikan permohonan selambat-lambatnya pada Selasa, 3 November 2020 ke Kepaniteraan MK. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Tiara Agustina