JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/10/2020) siang. Persidangan kali ini, Anggota Komisi IX DPR Sri Rahayu menanggapi dalil Para Pemohon yang merasa dirugikan dengan berlakunya ketentuan dalam Pasal 42 ayat (4), ayat (5), ayat (6) UU Ketenagakerjaan.
Sri menyampaikan bahwa UU Ketenagakerjaan bertujuan untuk membentuk ketenagakerjaan di Indonesia sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh. Selain itu, lanjutnya, dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha serta untuk mencabut ketentuan yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan zaman.
“Dengan disetujui RUU Omnibus Law/Cipta Kerja dalam Rapat Paripurna pada 5 Oktober 2020, maka materi muatan ketentuan pasal a quo telah diubah. Hal demikian berakibat permohonan para Pemohon untuk pengujian konstitusionalitas ketentuan pasal a quo, in casu Pasal 42 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU Ketenagakerjaan telah kehilangan objek. Sehingga Mahkamah Konstitusi tidak perlu mempertimbangkan pokok permohonan para Pemohon dan hal-hal lain yang terkait dengan permohonan. Meskipun demikian, DPR tetap akan memberikan keterangan terkait permasalahan yang diuraikan para Pemohon dalam permohonan ini,” tegas Sri dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: Menyoal Konstitusionalitas Aturan Jabatan dan Waktu Tertentu bagi Tenaga Kerja Asing
Selanjutnya DPR menanggapi dalil para Pemohon bahwa frasa “jabatan tertentu” dan “waktu tertentu” dalam Pasal 42 ayat (5) UU Ketenagakerjaan sangat multitafsir. Sri menilai para Pemohon tidak cermat membaca ketentuan pasal a quo yang tidak mengatur mengenai kategorisasi jabatan tertentu dan waktu tertentu yang dapat diisi oleh tenaga kerja asing. Ketentuan Pasal 42 ayat (5) UU Ketenagakerjaan mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai jabatan tertentu dalam pasal a quo dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan No. 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang dapat diduduki Tenaga Kerja Asing.
“Para Pemohon juga perlu memahami bahwa ketentuan pasal a quo tidak mengatur pola jabatan tertentu wajib atau harus diisi tenaga kerja asing yang menyebabkan tenaga kerja Indonesia tidak dapat mengisinya. Melainkan ketentuan pasal a quo mengenai pengisian jabatan tertentu, menggunakan frasa ‘kata dapat’ yang artinya jabatan tertentu dimaknai dapat juga diisi tenaga kerja Indonesia yang memenuhi kualifikasi kompetensi, keahlian yang dibutuhkan jabatan tertentu. Selain itu ‘jabatan tertentu’ dan ‘waktu tertentu’ juga harus mengikuti kebijakan sumber daya manusia dari masing-masing perusahaan,” ungkap Sri.
Tidak Diskriminasi
DPR juga menanggapi dalil para Pemohon adanya diskriminasi dengan berlakunya pasal yang diuji para Pemohon. Pemohon mendasari Putusan MK No. 070/PUU-II/2004 bertanggal 12 April 2005, Putusan MK No. 024/PUU-III/2005 bertanggal 29 Maret 2006, dan Putusan MK No. 27/PUU-V/2007 bertanggal 22 Februari 2008 yang memberikan batasan diskriminasi. Berdasarkan Putusan-Putusan MK tersebut, menurut DPR, ketentuan pasal a quo tidak mengandung hal-hal yang diskriminatif karena tidak menyebabkan hal-hal yang berdampak pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial budaya dan aspek kehidupan lainnya. “Ketentuan pasal a quo justru memberikan pengakuan yang adil dan tepat untuk jabatan tertentu yang menuntut adanya kualifikasi kompetensi dan keahlian tertentu dimungkinkan dipekerjakannya tenaga kerja asing,” ujar Sri.
Terkait UU Cipta Kerja (Omnibus Law), DPR menginformasikan bahwa ketentuan Pasal 44 UU Ketenagakerjaan telah dihapus, tetapi pengaturan kesesuaian kompetensi dengan jabatan yang akan diduduki tenaga kerja asing diatur dalam Pasal 42 ayat (4) UU Cipta Kerja.
Baca juga: Pemohon Uji UU Ketenagakerjaan Tambah Pasal yang Diuji
Tidak Tetap
Berikutnya, DPR menanggapi dalil para Pemohon mengenai frasa “waktu tertentu” dalam Pasal 56 dan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan. Mengenai pekerjaan yang dapat diberikan kesempatan kepada tenaga kerja asing adalah pekerjaan yang tidak bersifat tetap. Pada dasarnya, masa kerja tenaga kerja asing bergantung pada masa kerja dan jenis pekerjaan tertentu sebagaimana ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu. Selain itu perlu dipahami dalam ketentuan pasal a quo terdapat kata ‘dapat’ yang bermakna penggunaan tenaga kerja asing tidak mutlak sifatnya. Sehingga apabila ada pekerjaan yang diisi oleh tenaga kerja asing dalam waktu tertentu sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan, tidak serta merta menyebabkan ketentuan pasal a quo menjadi inkonstitusional. Sementara itu, terkait UU Cipta Kerja, DPR juga menginformasikan bahwa ketentuan Pasal 56 dan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan sudah diubah.
Terhadap keterangan yang disampaikan DPR terkait sebagian isi UU Ketenagakerjaan yang beralih ke UU Cipta Kerja, Majelis Hakim meminta para Pemohon melalui tim kuasa hukum untuk menyatakan sikapnya. “Apakah akan menarik permohonan ini atau menunggu sikap Mahkamah?” tanya Anwar Usman. Pihak Pemohon menjawab akan menunggu sikap Mahkamah.
Sementara itu Hakim Konstitusi Saldi Isra juga menegaskan kembali permohonan para Pemohon. “Karena substansi yang dimohonkan oleh para Pemohon sudah di-take over dalam UU Omnibus Law/Cipta Kerja, maka Mahkamah akan menentukan sikap setelah UU Omnibus Law/Cipta Kerja ini diberi nomor dan dimuat dalam Lembaran Negara,” jelas Saldi.
Sebagaimana diketahui, Para Pemohon Perkara Nomor 66/PUU-XVIII/2020, yakni Slamet Iswanto (Pemohon I) dan Maul Gani (Pemohon II) yang tinggal di Sulawesi Tenggara melakukan uji materiil Pasal 42 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang menyebutkan, “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.”
Para Pemohon berdalih, frasa “jabatan tertentu” dalam pasal tersebut tidak terdapat pemaknaan yang jelas dan pasti, baik pada bagian penjelasan Pasal 42 ayat (4) tersebut maupun pada bagian batang tubuh pasal-pasal lain dalam UU Ketenagakerjaan. Tidak ada satupun yang dapat menjelaskan secara spesifik kategori jabatan tertentu atau jenis-jenis jabatan apa saja yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing, sehingga ketentuan pasal ini memberikan ruang kepada pemerintah untuk memaknainya secara bebas sesuai dengan tafsiran sendiri. Pasal a quo dinilai multitafsir dan diskriminatif terhadap para Pemohon selaku tenaga kerja lokal. Ketentuan Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memberikan ruang sebesar-besarnya kepada menteri untuk menafsirkan sendiri, atau menentukan sendiri jabatan-jabatan tertentu apa saja yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing, juga tidak menentukan batasan waktu bagi tenaga kerja asing bekerja di Indonesia. Dengan demikian menurut para Pemohon, frasa “jabatan tertentu” dan frasa “waktu tertentu” bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari