JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengelar sidang pengujian Undang-Undang pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara), pada Selasa (13/10/2020) secara virtual di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, Yohanes Mahatma Pambudianto selaku kuasa hukum mengatakan bahwa para pemohon telah memperbaiki permohonan sesuai nasihat hakim pada sidang pendahuluan. Adapun permohonan yang diperbaiki, yakni pada bagian kewenangan MK, kedudukan hukum, kerugian konstitusional, alasan permohonan dan petitum.
Yohanes mengatakan bahwa MK sebagai pengawal konstitusi tentunya dapat memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir MK terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga, terhadap pasal-pasal yang memiliki ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada MK. Dalam memaksimalkan fungsinya sebagai pengawal konstitusi dan penafsir akhir, MK juga dapat membuat rumusan norma yang sesuai konstitusi terhadap suatu ketentuan norma dalam UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat. Tujuannya, untuk membuat “guidance” bagi pembentuk UU saat akan melakukan revisi atas ketentuan norma tersebut. “Penting untuk dipahami bahwa makna membuat rumusan norma berbeda dengan makna membuat norma yang termuat dalam UU yang telah diundangkan,” tegas Yohanes.
Selanjutnya, pada bagian kedudukan hukum, Yohanes menjelaskan bahwa di era digital dan era milenial saat ini peran media media sosial sangat penting. Oleh karena itu, penting pula bagi MK memberikan kedudukan hukum bagi para influencer di MK. Sehingga, dapat ikut berperan serta dalam menegakan konstitusionalisme di Indonesia dengan memberi pengaruh kepada pengikutnya di media sosial.
Sementara pada alasan permohonan perbaikan dilakukan pada poin 17-23 yang menjelaskan bahwa sikap presiden dan menteri BUMN menunjukkan ketidakpahaman terhadap keberlakuan putusan MK dan tidak patuh atas kekuatan hukum atas putusan yang telah dikeluarkan. Menurut Yohanes, tidak mematuhi putusan MK sama dengan bentuk pembangkangan terhadap konstitusi. Hal ini tentu akan menjadi preseden buruk bagi perjalanan pemerintahan dan semakin mendegradasi wibawa putusan MK.
Yohanes juga mengatakan, demi menjaga tegaknya nilai-nilai konstitusionalisme maka ketidakpastian hukum ini harus diselesaikam oleh MK dengan menyatakan frasa “Menteri dilarang rangkap jabatan” dalam ketentuan norma pasal 23 UU Kementerian Negara bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai “termasuk wakil menteri”.
Sebelumnya, Viktor Santoso Tandiasa yang berprofesi sebagai advokat menggugat konstitusionalitas Pasal 23 UU Kementerian Negara. Dalam permohonan Nomor 76/PUU-XVIII/2020, Pemohon menguji Pasal 23 UU Kementerian Negara menyatakan, “Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau. c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah”.
Dalam persidangan, Yohanes Mahatma Pambudianto selaku kuasa hukum Pemohon menerangkan bahwa meskipun dalam putusan perkara tersebut MK memutus dengan amar tidak diterima, pertimbangan MK dinilai Pemohon sebagai ratio decidendi atau prinsip hukum atas persoalan konstitusionalitas ketentuan norma pasal yang saat ini diuji Pemohon. Dengan merujuk kepada praktik di lapangan, bahwa masih terdapat wakil menteri yang merangkap jabatan komisaris, Pemohon menilai terdapat benturan tugas, fungsi, dan peran kepada menteri dan dan pejabat lainnya di bawah menteri. Menurut Pemohon yang juga menjadi kuasa hukum Pemohon Perkara Nomor 80/PUU-XVII/2019, sikap presiden dan menteri BUMN menunjukkan ketidakpahaman terhadap keberlakuan putusan MK dan ketidakpatuhan terhadap kekuatan hukum atas putusan tersebut. Oleh karena itu, Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 23 UU Kementerian Negara terhadap frasa Menteri tetap konstitusional dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai termasuk wakil menteri”. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Tiara Agustina