JAKARTA, HUMAS MKRI - Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada), digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (12/10/2020) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan Ahli Pemohon.
Sidang Perkara yang teregistrasi Nomor 67/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad. Materi yang diujikan para Pemohon yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota…”
Baca Juga: Manakala Satu Periode Masa Jabatan Kepala Daerah Dipermasalahkan
Pada persidangan kali ini, para Pemohon menghadirkan pakar hukum tata negara Yusdiyanto selaku Ahli untuk didengar keterangannya. Terkait Pasal 7 ayat (2) UU No. 10/2016 yang diujikan para Pemohon, Yusdiyanto menjelaskan bahwa objek pendidikan hukum tata negara meliputi susunan jabatan-jabatan, penunjukkan pejabat-pejabat, tugas, dan kewajiban yang melekat pada jabatan, kekuasaan, dan wewenang yang melekat pada jabatan. Tanpa diisi dengan pejabat, fungsi-fungsi jabatan negara tidak mungkin dijalankan sebagaimana mestinya. Pengisian jabatan tidak hanya dilakukan sekali, namun dilaksanakan secara regular, setiap periode tertentu untuk memilih pejabat, pemimpin daerah guna menunjang berjalannya fungsi negara.
“Sejarah pembatasan jabatan presiden, Konstitusi di Indonesia mengadaptasi pembatasan jabatan Presiden di Amerika Serikat. Mengutip pendapat Daniel Zapato, Presiden dapat mencalonkan kembali bilamana tanpa pembatasan. Dengan kata lain, diperbolehkan terus menerus. Kemudian yang kedua, pemilihan kembali langsung setelah berakhirnya masa jabatan. Ketiga, pemilihan kembali hanya boleh setelah diselingi oleh orang lain. Keempat, kategori melarang sama sekali pemilihan,” jelas Yusdiyanto kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman.
Baca Juga: Calon Kepala Daerah Perbaiki Permohonan UU Pilkada
Lebih lanjut Yusdiyanto menjelaskan, pengaturan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dalam Amendemen UUD 1945 menunjukkan pengisian jabatan kepala daerah dalam lingkup pemerintahan daerah menjadi bagian terpenting dalam demokrasi di Indonesia. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyebutkan, “Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”
Pemilihan secara demokratis kemudian ditafsirkan oleh Mahkamah sebagai pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung yang bertujuan agar terjadi penguatan demokratisasi di tingkat lokal. Pilkada diharapkan dapat mewujudkan akuntabilitas pemerintahan, terjadinya check and balances, dan peningkatan kualitas kesadaran dan pendidikan politik.
Lantas, apakah jabatan gubernur, bupati, dan walikota itu adalah satu jabatan tunggal atau satu paket meliputi dengan wakilnya? Menjawab hal tersebut, Yusdiyanto menggunakan tiga pendekatan. Pertama, pendekatan historis pada amendemen khusus Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Kedua, pendekatan formalistik dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mengamanatkan pemilihan kepala daerah saja, tanpa menyebut jabatan wakil kepala daerah. Ketiga, pendekatan semantik. Terdapat alasan filosofis terkait kedudukan wakil kepala daerah. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh perangkat guna melaksanakan kewenangan yang dimiliki. Pasal 1 ayat (3) UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) menyebutkan, “Pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.”
Pasal 63 ayat (1) UU Pemda menegaskan kepala daerah dapat dibantu oleh wakil kepala daerah. Frasa kata “dapat” berarti dua hal, yakni kepala daerah dibantu wakil kepala daerah dan dapat juga dikatakan kepala daerah tidak membutuhkan wakil untuk membantu dalam pemerintahan daerah. Keberadaan wakil kepala daerah dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia adalah membantu kepala daerah dalam pelaksanaan tugas sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangan. Jika dilihat dari struktur pasal tersebut, wakil kepala daerah tidak dikenal karena isi pasal hanya menyebutkan kepala daerah dan tidaklah keliru bila kedudukan wakil kepala daerah dianggap sebagai pelengkap dari struktur pemerintahan daerah dimana kedudukan wakil kepala daerah ini tidak terlalu diperhitungkan seiring kurangnya tugas dan kewenangan dan peran yang diberikan oleh undang-undang kepada wakil kepala daerah.
Baca Juga: DPR: Kepala Daerah Terlalu Lama Berhalangan Harus Diberhentikan
Dengan demikian, kata Yusdiyanto, kewenangan wakil kepala daerah lahir dari kewenangan yang sudah ditentukan oleh UU No. 23/2014. Kemudian keputusan kepala daerah, serta pemberian kewenangan kepada wakil kepala daerah adalah kewenangan mandat dari kepala daerah.
“Dengan penjelasan di atas, berlakunya Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 berpotensi terdapat penyelundupan hukum dan tidak satu tarikan nafas dengan Putusan Mahkamah Nomor 6 Tahun 2008 dan Nomor 22 Tahun 2009 atas berlakunya Pasal 58 huruf O Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberi tafsir tentang batasan jabatan dengan hitungan setengah atau lebih dari setengah dimaknai telah satu kali menjabat,” tegas Yusdiyanto.
Sebagaimana diketahui, Bupati Terpilih Periode 2010-2015 Abdul Haris Nadjmudin diberhentikan sementara karena tersangkut perkara pidana sehingga Wakil Bupati Hamim Pou diberi wewenang menjalankan pemerintahan sebagai pejabat bupati sejak 18 September 2010. Dalam rentang waktu 2 tahun 3 bulan, Bupati Abdul Haris Nadjmudin meninggal dunia sehingga Hamim Pou menjadi bupati pengganti sejak 27 Mei 2013-17 September 2015. Kemudian pada Periode 2016-2021, Hamim Pou terpilih menjadi Bupati satu periode untuk masa jabatan 17 Februari 2016-17 Februari 2021. Pada perhelatan Pilkada Serentak 2020, Hamim Pou yang merupakan ketua salah satu partai politik, dicalonkan kembali menjadi Bupati Bone Bolango Periode 2021-2026.
Lantas pertanyaannya adalah, sejak kapan Hamim Pou sebagai kepala daerah? Sejatinya, menurut Yusdiyanto, sejak sebagai pejabat bupati, bukan sejak dilantik sebagai bupati. Dengan alasan, prosesi pelantikan apakah sebagai pejabat maupun sebagai bupati merupakan tindakan adminisitrasi yang tunduk pada UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana pada Pasal 1 ayat (24) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
Alasan lainnya, kedudukan wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara. Artinya sudah jelas, bukan dihitung sejak menjadi bupati definitif, namun sejak menjalankan tugas dan wewenang sebagai kepala daerah. Kemudian untuk periode jabatan 2021-2026 yang Saudara Hamim Pou disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah sebagai salah satu pasangan calon yang ikut dalam kontestasi di pilkada. Andaikan dalam pilkada tanggal 9 Desember 2020 Hamim Pou terpilih kembali sebagai kepala daerah Bone Bolango masa jabatan 2021-2026, maka secara otomatis dapat dihitung masa jabatan Hamim Pou.
Berdasarkan penjabaran Pasal 7 Undang-Undang Dasar dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka tidak ada satu tarikan nafas dan bertentangan dengan konstitusi terkait dengan masa jabatan yang tetap yaitu 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
“Frasa 5 tahun sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan memberikan guidance bahwa jabatan kepala daerah tidak boleh lebih dari 10 tahun. Bila bersandar pada pendapat tersebut, secara otomatis Hamim Pou tidak bisa lagi mengikuti pilkada pada masa jabatan 2021 karena sudah melebihi masa jabatan,” tandas Yusdiyanto.
Baca Juga: Pemerintah Tegaskan Masa Jabatan Kepala Daerah Hanya Dua Periode
Sebagaimana diketahui, permohonan uji materi UU Pilkada ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad. Mohammad Kilat Wartabone merupakan bakal calon kepala daerah yang mendapatkan dukungan melalui jalur perseorangan untuk maju dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Sedangkan Imran Ahmad adalah penduduk Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, yang mempunyai hak untuk dipilih (right to be candidate) sekaligus hak untuk memilih (right to vote) dalam Pilkada Serentak Tahun 2020.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota …” yang pemaknaannya berlaku untuk subjek hukum Gubernur/Bupati/Walikota saja. Makna dari norma tersebut dibatasi hanya untuk menghitung masa jabatan subjek hukum yang pernah menjabat sebagai kepala daerah saja, tetapi tidak berlaku untuk subjek hukum wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah. Padahal dalam satu periode masa jabatan, menurut para Pemohon, terdapat subjek hukum yang menjabat sebagai kepala daerah yakni (1) Gubernur/Bupati/Walikota itu sendiri, dan/atau (2) Wakil Gubernur/Bupati/Walikota yang menjadi pejabat kepala daerah.
Secara aktual, para Pemohon mengalami kerugian atas praktik ketatanegaraan kepala daerah di Kabupaten Bone Bolango. Bupati Bone Bolango terpilih Periode 2010-2015, Abdul Haris Nadjmudin, diberhentikan sementara karena tersangkut perkara pidana sehingga Wakil Bupati Hamim Pou diberi wewenang menjalankan pemerintahan sebagai pejabat bupati sejak 18 September 2010-27 Mei 2013. Dalam rentang waktu 2 tahun 3 bulan, Bupati Abdul Haris Nadjmudin meninggal dunia sehingga Hamim Pou menjadi bupati pengganti sejak 27 Mei 2013-17 September 2015.
Pada Periode 2016-2021, Hamim Pou terpilih menjadi Bupati satu periode untuk masa jabatan 17 Februari 2016-17 Februari 2021. Kemudian pada Pilkada Serentak 2020 nanti, Hamim Pou yang merupakan ketua salah satu partai dicalonkan kembali menjadi Bupati Bone Bolango Periode 2021-2026.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.
Foto: Gani.