JAKARTA, HUMAS MKRI – Pemblokiran situs Suara Papua pada 4 – 6 November 2016 silam berbuntut panjang. Terkait pemblokiran tersebut, Arnoldus Belau yang merupakan Pemimpin Redaksi Media Suara Papua dan Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengajukan uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana Perkara Nomor 81/PUU-XVIII/2020 ini digelar pada Senin (12/10/2020) secara virtual.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic F. Foekh, Ade Wahyudin selaku kuasa hukum mengatakan, Para Pemohon merasa dirugikan akibat kewenangan yang dimiliki Pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE. Menurut Pemohon, Pasal 40 ayat (2b) memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah untuk mengambil kewenangan Pengadilan dalam menegakan hukum dan keadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus atas tafsir dari informasi dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.
Pemohon menilai seharusnya kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus sebuah perkara adalah milik hakim sebagaimana telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 25 UU 48/2009. Selain itu, Ade melanjutkan, kewenangan Pemerintah untuk melakukan pemutusan akses adalah bentuk dari pembatasan kebebasan berekspresi dan kebebasan informasi. Kewenangan ini pula, menurut Pemohon, butuh diawasi secara ketat oleh pengadilan. Hal tersebut sebagai bentuk membatasi penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak Pemerintah. Ia menegaskan, bahwa kewenangan Pemerintah melakukan tafsir secara sepihak atas sebuah informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan konten yang melanggar hukum, bertentangan dengan ketentuan due process of law.
Selain itu, Pemohon menganggap jika pasal yang diuji dibiarkan sumir dan tidak jelasnya ukuran informasi dan/atau dokumen elektronik yang dianggap melanggar hukum tersebut, maka hal ini berdampak pada pemberian kewenangan yang absolut kepada Pemerintah untuk mengontrol dan memonopoli akses informasi. Hal demikian membuat sulit publik untuk menerima dan menyampaikan informasi dalam rangka partisipasi melakukan pengawasan kepada Pemerintah melalui lembaga Peradilan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut Para Pemohon meminta kepada Mahkamah untuk menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Perbaikan Sistematika Pemohonan
Menanggapi permohonan tersebut, Panel Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Manahan M.P. Sitompul memberikan saran perbaikan. Hakim Konstitusi Saldi Isra menyarankan kepada para Pemohon untuk menguraikan kedudukan hukumnya. Ia mengatakan, dalam mengkonstruksikan kedudukan hukum, antara perseorangan dengan badan hukum memiliki kedudukan hukum yang berbeda.
“Soal kedudukan hukum atau legal standing pemohon, saya perlu jelaskan kepada saudara karena di sini Pemohonnya ada dua, yakni Arnoldus Belau kemudian Perkumpulan Aliansi Jurnalis Independen. Harus diingat legal standing perorangan warga negara Indonesia berbeda dengan organisasi, maka harus clear,” saran Saldi.
Sementara Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul menyarankan agar Pemohon memperdalam dalil mengenai perbandingan dengan negara lain mengenai kewenangan pemblokiran seperti yang didalilkan Pemohon. “Pemohon mendalilkan (pemblokiran) telah menjadi praktik umum di negara-negara lain dalam keadaan mendesak penegak hukum dapat diberikan kekuatan melalui undang-undang untuk memerintahkan penghapusan atau pembeli pemblokiran akses terhadap konten yang dipermasalahkan. Ini perlu pendalaman lebih jauh. Karena kalau di negara lain itu ada hal seperti ini, bagaimana kita membandingkannya kalau di sini. Apakah sudah ada?Coba nanti diperdalam,” ujar Manahan.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Panel Hakim Daniel Yusmic mengatakan bahwa Para Pemohon diberi waktu 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan permohonan disampaikan paling lambat Senin, 26 Oktober 2020 pukul 13.00 WIB.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Andhini SF