JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi pembicara kunci dalam acara “Temu Virtual Nasional Mahasiswa Magister Tata Kelola Pemilu dalam Kegiatan Diskusi dan Bedah Buku Sisi Lain Pilkada: Memahami Kontestasi Dari Sudut Praktis”, pada Sabtu (10/10/2020) pagi secara virtual.
Dalam acara tersebut, Saldi memulai dengan membedah buku yang ditulis oleh Asrinaldi. Ia mengatakan bahwa buku ini bercerita soal sudut praktis dari pilkada. Namun, dalam buku tersebut tidak membahas sisi praktis penyelesaian sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK). Ia berharap buku ini dapat menjelaskan bagian-bagian dari buku yang ditulis pernah dimuat sehingga pembaca dapat melacak perkembangan dari tulisan tersebut. Selain itu, menurut Saldi, ada sisi lain yang dapat diuraikan sehingga lebih komprehensif dan dapat dipahami secara utuh.
Usai membedah buku, Saldi melanjutkan dengan menjelaskan mengenai tahap akhir dari sengkarut penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di MK. Ia mengatakan, dalam Pasal 22E UUD 1945 mengenai pemilihan umum (pemilu) tidak memasukkan pilkada. Pilkada, lanjutnya, masuk ke dalam bagian pemerintahan daerah. Sehingga menimbulkan pendapat bahwa pemilu itu berbeda dengan pilkada. Namun, menurut Saldi, antara pemilu dan pilkada tidak memiliki perbedaan jika dilihat dari konteks pemilihan langsung.
Dikatakan Saldi, dalam Pasal 24A UUD 1945 menyebut bahwa Mahkamah Agung (MA) berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Awalnya, sambungnya, proses penyelesaian sengketa pilkada dilakukan oleh MA. Namun, seiring berjalannya waktu MA merasa keberatan untuk menjalani kewenangan memeriksa sengketa pilkada karena menganggap kewenangan yang lain akan tertunda untuk diselesaikan. Sementara MK, pernah mengeluarkan kewenangan dalam penyelesaian pilkada karena mengalami trauma.
Ke depannya, lanjut Saldi, pembentuk UU harus menentukan apakah akan memaksa MA untuk menyelesaikan sengket pilkada, mengembalikan ke MK, atau akan membentuk peradilan khusus. Menurut Saldi, apabila membuat peradilan khusus, dalam sistem perundang-undangan Indonesia peradilan khusus tetap berada di bawah MA. Ia juga mengatakan bahwa MK tetap teguh dengan amanat yang telah diberikan oleh Konstitusi dan UU.
Lebih lanjut, Saldi mengatakan, apabila menjadi kontestasi pemilihan kepala daerah menyadari pelimpahan suara kepadanya, mungkin sengketa pilkada tidak perlu banyak ke MK. Kecuali persoalan yang tidak bisa diterima yang pada akhirnya menentukan keterpilihan seseorang. “Karena prinsip dasar awal yang digunakan pada sengketa pemilu dan pilkada adalah soal sengketa hasil yang terkait dengan penentuan pemenang kontestasi,” ujar Saldi.
Saldi mengatakan, apabila kontestan pilkada sudah melihat hasil rekap suara yang ditetapkan oleh KPU dan mengalami kekalahan, maka ketika hasil suara berbeda jauh, lalu datang ke MK meminta untuk mengubah suara itu tanpa disertai dengan bukti yang validitasnya sangat tinggi, maka hal tersebut akan sulit. Seharusnya dalam konteks tersebut ada kesadaran bagi kontestan untuk menerima hasil. Namun, masih sedikit orang yang mempunyai kesadaran itu. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari