JAKARTA, HUMAS MKRI – Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber Sekolah Pemilu yang diselenggarakan Masika ICMI Sulawesi Selatan bekerja sama dengan Bawaslu dan KPU Sulawesi Selatan pada Sabtu (10/10/2020) siang secara daring. Aswanto menyajikan materi “Peradilan Etik dan Sengketa Pemilu”.
“Saya tidak akan membahas mengenai peradilan etik karena merupakan wewenang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Saya akan fokus membahas masalah sengketa pemilu,” kata Aswanto di awal acara.
Bicara sengketa pemilu merujuk UUD 1945, ujar Aswanto, pemilu yang dimaksud adalah pemilu legislatif dan pemilu presiden. Lalu di manakah letak keberadaan pemilihan kepala daerah (pilkada)? Putusan MK beberapa tahun lalu (Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013) menyatakan pilkada bukan rezim pemilu tapi rezim pemerintahan daerah. Tapi seiring dengan perkembangan waktu, banyak diskusi mengenai pilkada, sebagian besar orang menganggap pilkada adalah rezim pemilu. “Memang kalau kita lihat landasan konstitusionalnya agak berbeda, ada yang Pasal 18 UUD 1945 dan ada Pasal 22E UUD 1945,” ucap Aswanto.
Mengenai perselisihan hasil pemilu, lanjut Aswanto, tidak hanya perselisihan hasil pemilu legislatif dan pemilu presiden, namun juga perselisihan hasil pilkada. Dikatakan Aswanto, UU No. 10/2016 sebagai Perubahan UU No. 8/2015 yang juga Perubahan UU No. 1/2015 merupakan Penetapan Perpu No. 1/2014. “Pada saat perpu diajukan ke DPR, yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pilkada adalah peradilan khusus. Itu berdasarkan Putusan MK terhadap UU Pilkada. Mahkamah memutuskan bahwa pilkada bukan rezim pemilu, oleh sebab itu tidak menjadi kewenangan Mahkamah. Sebagaimana kita ketahui, kewenangan Mahkamah berdasarkan Konstitusi terdapat empat kewenangan dan satu kewajiban. Termasuk di dalamnya, sengketa pemilu sebagaimana terdapat dalam Pasal 22E UUD 1945,” urai Aswanto.
Lantas kenapa sengketa pilkada bisa dibawa ke MK? Aswanto menjelaskan, yang memiliki kewenangan menangani sengketa hasil pilkada pertama kali adalah Mahkamah Agung (MA). Kemudian MA mengalihkan kewenangannya ke pengadilan tinggi untuk menangani sengketa pilkada di tingkat kabupaten/kota. Sementara untuk sengketa pilkada di tingkat provinsi tetap ditangani MA. Namun seiring dengan perkembangan zaman, melalui diskusi-diskusi panjang, kewenangan menangani sengketa hasil pilkada dialihkan ke MK. Setelah ada Putusan MK, Mahkamah menegaskan bahwa penanganan sengketa hasil pilkada bukan merupakan kewenangan Mahkamah.
“Tetapi kenapa Mahkamah tetap menangani? Karena ada klausul dalam Putusan MK menyatakan bahwa yang punya kewenangan menangani sengketa hasil pilkada adalah peradilan khusus. Tetapi sepanjang belum ada peradilan khusus, maka penanganan sengketa hasil pilkada tetap menjadi kewenangan MK,” jelas Aswanto.
Para Pihak Sengketa Pilkada
Lebih lanjut Aswanto menerangkan para pihak yang berperkara dalam sidang sengketa pilkada terdiri atas Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, Pemberi Keterangan. Pemohon adalah yang merasa bahwa apa yang diputuskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak benar. Pihak Termohon adalah penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU. Kemudian ada Pihak Terkait adalah pihak yang merasa ada kepentingan langsung dalam perkara itu.
“Biasanya yang menjadi Pihak Terkait adalah pihak yang ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU. Tapi tidak berarti hanya pihak yang menang. pihak yang kalah juga bisa menjadi Pihak Terkait. Sekarang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 5/2020 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, terdapat perubahan sedikit. Pihak yang ingin menjadi Pihak Terkait harus terlebih dahulu mengajukan permohonan ke MK untuk ditetapkan sebagai Pihak Terkait. MK menilai terlebih dahulu. Kalau MK tidak menyetujui, maka dia tidak bisa menjadi Pihak Terkait. Berbeda dengan sebelumnya, kalau permohonan sudah masuk ke MK, pihak yang sudah ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU serta merta menjadi Pihak Terkait,” kata Aswanto yang juga menerangkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 5/2020, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ditetapkan sebagai Pemberi Keterangan.
Berikutnya, Aswanto menanggapi bisa tidaknya pihak-pihak yang dinyatakan kalah dalam pilkada kemudian mengajukan permohonan sengketa hasil pilkada. Ada pasal yang mengikat MK untuk memeriksa perkara permohonan sengketa hasil pilkada yaitu Pasal 158 UU No. 10/2016 . Pasal tersebut menegaskan bahwa para pihak yang bisa mengajukan permohonan sengketa hasil ke MK adalah mereka yang mempunyai persentase selisih suara tidak melebihi apa yang ditentukan dalam Pasal 158 UU a quo.
Saat ini, kata Aswanto, dalam PMK No. 5 Tahun 2020 ada pergeseran terkait persentase selisih suara yang ditetapkan MK untuk mengajukan permohonan sengketa hasil. “Apa yang ditentukan dalam Pasal 158 UU No. 10/2016 sudah merupakan hasil, karena hakikat kewenangan MK adalah sengketa hasil. Oleh karena itu Mahkamah menegaskan akan tetap memeriksa permohonan, sekalipun permohonan tidak memenuhi persyaratan persensante selisih suara yang ditentukan dalam Pasal 158 tersebut. MK itu bukan Mahkamah Kalkulator. MK mau memberikan keadilan yang substantif. Oleh karena itu, kami akan periksa semua yang berkaitan dengan perolehan suara,” tegas Aswanto.
Muncul pertanyaan, apakah dengan adanya pergeseran dalam PMK No. 5/2020 ini MK dianggap tidak tunduk pada Pasal 158 UU No. 10/2016. “MK tetap tunduk. Ketika kami bersumpah sebagai Hakim MK dan disaksikan oleh Presiden, kami menyatakan setia menjalankan Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang. Pasal 158 UU No. 10/2016 menyatakan ada standard persentase selisih suara, kami patuh pada pasal itu. Dalam PMK No. 5/2020, kami melakukan perubahan bahwa untuk Pasal 158 tidak dinilai pada awal perkara, tetapi dinilai pada akhir perkara. Jadi kalau ada yang mengajukan permohonan melebihi batas persentase selisih suara, kita putus di akhir dan putusannya tetap NO, dianggap tidak memenuhi persyaratan formil,” papar Aswanto.
Selanjutnya Aswanto menerangkan bahwa pendaftaran perkara sengketa hasil pilkada bisa dilakukan secara online maupun offline. Bahkan dalam PMK terdapat format penyusunan permohonan perselisihan hasil pilkada. Menurut ketentuan Undang-Undang, sengketa hasil pilkada itu diajukan ke MK, 3 x 24 jam sejak KPU menetapkan pemenang pilkada.
“Masukkan saja permohonan, walaupun belum lengkap. Yang penting ada prinsip-prinsip yang sudah termuat di dalamnya, ada objek sengketa yakni Putusan KPU mengenai penetapan pemenang pilkada, kemudian siapa yang mengajukan permohonan, identitas Pemohon, daerah mana saja yang angka perolehan suaranya yang dipersoalkan dan sebagainya,” ucap Aswanto.
Bagaimana kalau permohonan belum lengkap, kapan perbaikan permohonan dapat diajukan ke MK? Aswanto menjelaskan bahwa sebelum adanya PMK No. 5/2020, Pemohon dalam tiga hari (3 x 24 jam) pertama bisa berkali-kali menyampaikan perbaikan permohonan. Sekarang PMK No. 5/2020 menyebutkan, untuk masa permohonan 3 x 24 jam yang pertama, Pemohon hanya mengajukan permohonan. Kalau permohonan dianggap masih ada yang kurang lengkap, bisa diajukan pada 3 x 24 jam yang kedua untuk perbaikan permohonan. Setelah perbaikan permohonan, maka permohonan akan diregistrasi MK, baik permohonan online maupun offline.
“Waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang untuk penyelesaian sengketa hasil pilkada adalah 45 hari yang dihitung sejak perkara diregistrasi oleh MK,” imbuh Aswanto.
Bicara persidangan sengketa hasil pilkada di MK, lanjut Aswanto, ada sidang pemeriksaan pendahuluan atau sidang panel untuk mendengarkan dan memeriksa permohonan Pemohon. Setelah itu, berlanjut dengan sidang mendengarkan jawaban KPU sebagai Pihak Termohon dan mendengarkan keterangan Pihak Terkait. Berikutnya, ada sidang pembuktian yang menghadirkan ahli maupun saksi. Peraturan Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa Mahkamah punya kewenangan untuk membatasi para saksi dari pihak yang berperkara,
“Sesudah selesai semua sidang dilakukan oleh Panel Hakim, maka sembilan hakim bertemu lagi di tingkat panel untuk membahas perkara-perkara. Apa yang harus dilakukan terhadap perkara menurut Panel, kemudian dilaporkan ke Rapat Permusyawaratan Hakim yang harus dihadiri minimal tujuh orang Hakim Konstitusi. Rapat Permusyawaratan Hakim yang menentukan nasib perkara yang disidangkan dan kemudian diserahkan ke panel masing-masing untuk mempersiapkan draft putusan. Nah inilah yang kadang-kadang kami jaga betul. Di MK itu, proses penentuan putusan dengan pembuatan putusan memakan waktu satu minggu. Ini bahaya kalau ada ‘pemanah di atas pelana’. Itulah sebabnya ruang Rapat Permusyawaratan Hakim betul-betul steril. Yang boleh masuk hanya hakim dan panitera. Tidak boleh ada orang lain. Berbahaya kalau sebelum dibacakan putusan, ada yang membocorkan,” tandas Aswanto.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.