JAKARTA, HUMAS MKRI - Pengujian perundang-undangan tidak hanya berkaitan dengan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi juga yang ada di Mahkamah Agung (MA). Untuk itu, para mahasiswa harus membaca dan memahami berbagai referensi agar dalam mengajukan perkara nantinya, baik ke MK maupun ke MA dapat benar-benar telah paham sehingga pengujian dapat dilakukan dengan baik. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam kuliah umum secara daring dengan tema “Pengujian Peraturan Perundang-undangan di Indonesia” pada Jumat (9/10/2020) malam. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan diikuti oleh 12 orang mahasiswa semester dua Magister Hukum Litigasi.
Berkaitan dengan pengujian konstitusionalitas yang dilakukan MK, Enny mengatakan bahwa yang dinilai adalah segi formiil dan materiil dari norma yang diujikan. Terdapat beberapa alat pengukur yang dijadikan barometer penilainya, di antaranya naskah UUD yang resmi, dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah UUD, nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, dan nilai-nila yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat. Sedangkan sehubungan dengan wewenang MA, Enny menyebutkan bahwa MA ditetapkan memiliki wewenang judicial review secara terbatas. Artinya, hanya dapat menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dengan syaratharus dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
“Jadi, pada intinya MK berwenang melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan MA berwenang melakukan pengujian terhadap legalitas norma,” jelas Enny.
Aspek Historikal
Secara historikal, Enny mengungkapkan bahwa sebelum referomasi bergulir, gagasan judicial review relah ada sejak pembahasa UUD 1945 oleh BPUPK, namun hal tersebut baru sebatas wacana akan pentingnya didirikan lembaga khusus untuk menangani persoalan konstitusionalitas norma. Pengaturan judicial review ini juga pernah dikeluarkan oleh MA pada 1993 mellaui Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Materiil. Kemudian pada awal reformasi dengan ditetapkannya TAP MPR-RI No. III/MPR/2000, maka kewenangan pengujian konstitusionalitas ini diberikan pada MPR. Namun yang terjadi adalah legislative review karena MPR bukan cabang dari kekuasaan kehakiman, melainkan lembaga politik.
Barulah pada 2003, setelah dilakukannya empat kali amendemen UUD 1945, berdasarkan pada Pasal 24 ayat (2) dinyatakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam perjalanannya, lanjut Enny, MK yang telah ada sejak 2003 hingga saat ini, judicial review yang dilakukan dari tahun ke tahun mengalami perkembangan dan cukup signifikan, hanya saat pandemi saja terjadi penurunan. Dari hal ini, sambung Enny, menunjukkan masyarakat mulai peduli dan memahami dampak dari pengujian undang-undang.
Cara Menguji Konstitusionalitas
Selanjutnya, Enny menerangkan bahwa dalam menilai suatu konstitusionalitas norma maka para Pemohon dan bahkan hakim konstitusi tidak hanya membaca, memahami, dan memaknai secara terbatas pada bunyi yang ada pada naskah UUD 1945. Akan tetapi, perlu dilakukan penelaahan lebih jauh bagaimana suatu norma itu yang ada pada konstitusi tersebut hidup dalam masyarakat atau dikenal dengan istilah living constitutional.
“Bagaimana kehidupan undang-undang itu dalam masyarakat dan bagaimana ia memberikan suatu kondisi keharusan yang idealkah atau malah berakibat pada terlanggarkan hak-haknya masyarakat akan adanya norma itu. Inilah yang perlu dilihat lagi,” tegas Enny.
Usai menerangkan beberapa poin materi, Enny pun memberikan kesempatan kepada para mahasiswa untuk mengajukan pertanyaan berkisar pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar para mahasiswa dapat lebih menukil pemahamannya terhadap materi yang telah disampaikannya. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari