JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menjadi narasumber dalam kuliah umum yang bertema “Kewenangan MK dalam Menata Sistem Hukum di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, pada Jumat (9/10/2020) pagi secara virtual. Dalam acara tersebut, Wahiduddin juga meresmikan Laboratorium Mahkamah Konstitusi (MK) yang didirikan oleh Fakultas Syariah IAIN Jember.
Wahiduddin dalam sambutan peresmian laboratorium mengatakan makin tipisnya batasan antara bidang “ilmu hukum” sebagai warisan dari pemikiran Barat dengan bidang “ilmu syariah”. Kajian mengenai Konstitusi dan “Mahkamah Konstitusi” didominasi oleh referensi dari cendekiawan barat. Akan tetapi, sebuah laboratorium mengenai Mahkamah Konstitusi didirikan di Fakultas Syariah.
“Oleh karena itu, akan menjadi menarik bilamana laboratorium ini menjadi pusat yang memelopori kajian-kajian yang mempertemukan gagasan-gagasan mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dengan sudut pandang ilmu syariah,” jelasnya.
Sebagai contoh, di Fakultas Hukum para mahasiswa diajari soal prinsip-prinsip bilamana terjadi konflik norma maka berlaku kaedah “lex spesialis derogat legi generalis” (hukum khusus membatalkan hukum yang umum) atau “lex posteriori derogat legi priori” (hukum yang baru membatalkan hukum sebelumnya atau yang lama). Bagi para mahasiswa Fakultas Syariah, atau bahkan para santri di pesantren, hukum ini sudah lazim dipelajari meski tidak dengan istilah dalam bahasa latin. Dalam ushul fiqih, juga dikenal dengan nasakh mansukh. Model penalaran nasakh mansukh itu kurang lebih serupa dengan lex specialis atau lex posteriori.
Wahid pun berharap, ruangan yang disebut sebagai “Laboratorium” ini menjadi simbol akan kegiatan belajar mengajar untuk memahami lebih jauh tentang konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Dan tentunya dari apa yang dipelajari tersebut membawa dampak dan manfaat bagi orang lain serta menjadi bagian dari amalan kita memperoleh ridha Allah SWT.
Selanjutnya dalam paparan kuliah umum, Wahiduddin Adams membahas topik mengenai gagasan konstitusionalisme yang menjadi dasar bagi pembentukan MK. Kemudian, mengenai tugas MK dalam pengujian konstitusional yang berpengaruh dalam penataan harmonisasi perundang-undangan. Pada bagian akhir, Wahiduddin mengupas mengenai persoalan-persoalan yang dihadapi oleh MK
Ia mengatakan, praktek demokrasi yang mengedepankan kuantitas bisa jadi melanggar UUD 1945. Dikatakan Wahiduddin, suara terbanyak belum tentu mencerminkan kebenaran dan keadilan. Perubahan UUD 1945 telah mengalihkan supremasi MPR kepada supremasi konstitusi. Dalam perkembangan negara-negara modern, konstitusi atau UUD merupakan acuan utama dalam hidup bernegara dan berbangsa. Di dalamnya terkandung asas dan tujuan, nilai-nilai dasar yang diacu dan ketentuan-ketentuan strategis bagaimana pemerintahan dijalankan untuk mencapai tujuan bernegara.
Menurutnya, perubahan mendasar ini, perlu disediakan mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga yang mengatasi kemungkinan sengketa antar-lembaga negara yang telah menjadi sederajat serta saling mengimbangi dan mengendalikan (check and balances). Seiring dengan itu, muncul gagasan agar pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditradisikan bahkan diformalkan dalam aturan hukum positif.
Menguatnya ide konstitusionalisme ini berdampak pada kebutuhan akan adanya lembaga yang diberikan mandat untuk mengawal penerapan gagasan besar. Penerapan ide konstitusionalisme menuntut adanya mekanisme perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan semangat penegakan konstitusi sebagai hukum dasar tertinggi negara. Dalam hal ini, segala peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi harus sejalan, bersesuaian, dan tidak boleh bertentangan dengan materi konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi membuat konstitusi hanya bernilai semantik dan tidak hidup di masyarakat. Konstitusi, dalam bentuk formal dinyatakan berlaku tetapi dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, konstitusi hanya sekedar alat legitimasi kekuasaan politik. Hal demikian merupakan bentuk pengingkaran terhadap kedaulatan rakyat. Tanggung jawab inilah yang dibebankan konstitusi kepada MK untuk mengawal ide konstitusionalisme.
Dikatakan Wahid, esensi dari kewenangan MK untuk melakukan pengujian konstitusional adalah bahwa perkara-perkara yang diajukan ke MK adalah yang memiliki pengaruh besar bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi tidak hanya menjadi dokumen tertulis yang dianggap suci. “Yang lebih penting adalah bagaimana agar nilai-nilai konstitusi itu dapat menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Semangat konstitusi menjadi hidup dan dihidupkan oleh masyarakat. Pengujian konstitusional berada pada level yang berbeda dengan pengujian peraturan perundang-undangan lain,”tegasnya.
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan
Fungsi pengujian konstitusional selain untuk menghidupkan nilai-nilai konstitusi di masyarakat adalah juga sebagai wahana untuk harmonisasi peraturan perundang-undangan, terutama dengan nilai-nilai konstitusi. Dalam bahasa Muhammad Yamin, MK yang dibentuk saat ini adalah melakukan fungsi “pembanding”. Tentu yang dimaksudkan oleh Yamin dahulu tidaklah jauh berbeda dengan apa yang dilakukan sekarang dengan pilihan rasa penggunaan bahasa yang berbeda. “Pembanding” ataupun “pengujian” pada intinya merupakan upaya untuk menimbang kadar yang terkandung dalam norma apakah sesuai dengan parameter konstitusional. Parameter konstitusional ini kemudian digunakan sebagai alat untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan.
Idealnya, lanjut Wahid, parameter konstitusional yang telah ditetapkan MK ini haruslah tercermin dalam semua peraturan perundang-undangan yang terkait sebagai wujud dari harmonisasi peraturan perundang-undangan baik vertikal maupun horizontal.
“Kenyataannya tidaklah demikian. Terkadang parameter konstitusional yang telah ditetapkan MK tidaklah dimanfaatkan sebagai alat untuk melakukan harmonisasi kebijakan,” jelas Wahiduddin.
Dalam rangka mewujudkan keadilan substantif, terutama dalam pelaksanaan kewenangan menguji UU terhadap UUD, MK disebut sebagai super body. Selain memiliki keleluasaan menafsirkan UUD, MK melalui putusannya dapat membatalkan sebuah undang-undang sebagai produk hukum yang dibuat secara bersama oleh DPR dan Pemerintah.
Persoalan Penegakan dan Penafsiran Konstitusi
Menurut Wahiduddin, beberapa persoalan yang dihadapi oleh MK di antaranya adalah penegakan (putusan) dan permasalahan penafsiran konstitusi. Pertama, terkait penegakan putusan. Permasalahan yang dihadapi MK adalah bahwa setiap putusan membutuhkan tindak lanjut atau mekanisme pelaksanaan. MK tidak memiliki aparat dan kelengkapan apapun untuk menjamin penegakan keputusannya. Meskipun secara alamiah kelembagaan MK berkepentingan untuk melihat putusannya dihormati dan dipatuhi namun tidak ada jaksa atau juru sita pengadilan atau instrumen lain untuk melaksanakan apapun yang diputuskan MK.
Oleh sebab itulah, adalah tepat pendapat Alexander Hamilton (1961) yang mengatakan bahwa cabang kekuasaan kehakiman (peradilan) adalah cabang kekuasaan negara yang paling lemah tanpa dibekali anggaran dan pedang (judiciary is the least dangerous power, with no purse nor sword). Menurut Wahid, MK bergantung pada cabang kekuasaan lain atau organ-organ lain. Apakah organ negara lain menerima (setuju) dengan putusan MK dan apakah mereka siap untuk mematuhinya.
Satu faktor yang memberi kekuatan pada putusan MK dari segi masalah implementasi adalah dukungan masyarakat (public support) bagi peradilan yang merdeka. Hubungan sederhana antara dukungan masyarakat dengan kekuasaan politik menyediakan satu mekanisme yang kuat bagi pelaksanaan putusan MK. Jika warga menghargai kemandirian MK dan memandang penghormatan atas putusan MK penting maka sikap pejabat publik atau lembaga negara untuk menolak putusan MK boleh jadi mengakibatkan hilangnya dukungan publik terhadap lembaga tersebut.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.