JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (UU Penanganan Covid-19), digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (8/10/2020). Sidang gabungan tujuh perkara yaitu perkara Nomor 37/PUU-XVIII/2020, Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Nomor 45/PUU-XVIII/2020, Nomor 47/PUU-XVIII/2020, Nomor 49/PUU-XVIII/2020, dan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 ini dilaksanakan secara virtual. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan Presiden.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang hadir secara virtual mewakili Presiden, dalam keterangannnya mengatakan, negara harus dapat menjamin perlindungan bagi seluruh warga, baik dalam kondisi normal maupun kondisi tidak normal atau kondisi luar biasa. Bentuk perlindungan yang diberikan oleh negara tidak sebatas perlindungan dari ancaman fisik, namun juga perlindungan keseluruhan aspek kehidupan dari keselamatan 269 juta jiwa penduduk Indonesia. Negara harus mampu menjaga ketahanan seluruh elemen bangsa dari segala ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat. Dengan segala sumber daya yang ada, ia harus mewujudkan ketahanan negara yang kokoh dari segala ancaman, termasuk ancaman terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang menimbulkan dampak pada aspek sosial, ekonomi, politik dan kesejahteraan masyarakat.
“Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini telah secara nyata menimbulkan dampak luar biasa signifikan yang telah memengaruhi kehidupan sosial, ekonomi dari seluruh masyarakat di dunia, bahkan telah merenggut jutaan nyawa masyarakat dunia termasuk rakyat Indonesia. Keberlangsungan pandemi Covid-19 tidak dapat dipastikan kapan akan berakhir. Tidak ada satu pun negara di dunia yang terbebas Covid-19. Untuk itu diperlukan gotong royong dari seluruh otoritas di bidang perekonomian dan sektor keuangan dalam menghadapi ancaman yang sangat nyata tersebut,” tegas Sri Mulyani yang membacakan keterangan Presiden/Pemerintah.
Terhadap dalil para Pemohon yang merasa dilanggar hak konstitusional dengan berlakunya UU Penanganan Covid-19, Pemerintah menyatakan bahwa penerbitan UU Penanganan Covid-19 justru dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi kehidupan masyarakat yang sangat nyata terancam dengan merebak dan menyebarnya Covid-19, baik itu dari aspek keselamatan jiwa karena ancaman kesehatan, keselamatan maupun kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat.
“Seluruh kebijakan dalam UU No. 2 Tahun 2020, terutama kebijakan dalam keuangan negara yang telah diimplementasikan saat ini, telah didasarkan pada perhitungan dan menggunakan data faktual dampak dari ancaman Covid-19 bagi masyarakat dan negara akibat terpaparnya Indonesia dengan Covid-19. Perhitungan, perlu upaya penyelamatan masyarakat yang harus dilakukan secara sangat cepat dengan penyiapan bantuan biaya kesehatan dan dukungan bantuan sosial serta mendukung ekonomi untuk memenuhi kehidupan dan juga bantuan bagi dunia usaha, terutama bagi usaha kecil dan menengah,” urai Sri Mulyani kepada Majelis Hakim yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman. Oleh karena itu, Pemerintah berpendapat UU Penanganan Covid-19 sama sekali tidak merugikan hak konstitusional para Pemohon.
Terhadap tujuh permohonan yang diajukan para Pemohon dalam pengujian UU Penanganan Covid-19 ini, hampir semua pasal dalam Lampiran UU Penanganan Covid-19 dimohonkan untuk diujikan. Pemerintah memberikan keterangan berdasarkan pengelompokan permasalahan yang dikemukakan para Pemohon, yaitu: 1) Perlunya persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan controlling; 2) Pengujian formil; 3) Ruang lingkup dan jangka waktu keberlakuan; 4) Kebijakan keuangan negara yang mencakup pelebaran defisit, pemulihan ekonomi nasional, perpajakan, kepabeanan, penerbitan surat hutang negara dan/atau surat berharga syariah negara, penyesuaian mandatoris pending, penggunaan dana abadi pendidikan, kebijakan keuangan daerah; 5) Pelaksanaan kebijakan keuangan negara; 6) Kebijakan sistem stabilitas keuangan meliputi kewenangan LPS dan OJK; 7) Perlindungan hukum; dan 8) Harmonisasi UU No. 2/2020 dengan UU lain yang terdampak.
“Mengenai persetujuan DPR sebagai fungsi budgeting dan controlling telah terpenuhi, meskipun kebijakan dalam Lampiran UU No. 2/2020 pada awalnya ditetapkan oleh Presiden sebagai pelaksana Pasal 22 UUD 1945, dengan Penetapan Perpu No. 1/2020 menjadi UU No. 2/2020 melalui pembahasan sebagaimana layaknya pembentukan undang-undang. Maka kebijakan dalam UU No. 2/2020 telah mendapat persetujuan DPR. Hal ini menunjukkan DPR memiliki kesamaan dengan Pemerintah mengenai adanya kegentingan memaksa dan perlunya kebijakan serta tindakan yang harus segera dilakukan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Sesuai ketentuan Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945, perpu harus mendapat persetujuan DPR setelah diundangkan,” jelas Sri Mulyani.
Selanjutnya Sri Mulyani menanggapi kewenangan Pemerintah untuk melakukan pelebaran defisit anggaran di atas 3%. Menurut Pemerintah, kewenangan tersebut tidak dimaksudkan untuk digunakan secara sewenang-wenang. Sebaliknya, hal ini ditujukan untuk memberikan kemampuan Pemerintah dalam menangani krisis kesehatan akibat Covid-19 dan efek domino yang ditimbulkannya. Kemampuan dan fleksibilitas untuk menangani permasalahan di bidang kesehatan, sosial, dan ekonomi akan dilakukan secara terukur dan hati-hati serta tetap berlandaskan pada asas tata kelola yang baik, akuntabilitas, dan transparansi.
Dijelaskan Sri Mulyani, defisit APBN 2020 sebesar 6,34% ditujukan untuk mendanai berbagai program penanganan Covid-19, dan dampak sosial ekonomi, serta keuangan. Dalam Perpres No. 72 Tahun 2020, besaran defisit mencakup pembiayaan pemulihan ekonomi nasional mencakup: 1) Program kesehatan Rp 87,56 triliun, realisasi Rp 21,92 triliun atau 25%; 2) Perlindungan sosial Rp 203,91 triliun, realisasi Rp 157,03 triliun atau 77%; 3) Insentif usah Rp 120,61 triliun, realisasi Rp 28,087 triliun atau 23,3%; 4) Bantuan UMKM Rp 123,47 triliun, realisasi Rp 81,85 triliun atau 66,3%; 5) Pembiayaan korporasi Rp 53,6 triliun, realisasinya belum saat ini; 6) Sektoral serta pemda, bantuan oleh pemerintah pusat untuk sektor dan pemda Rp106,05 triliun, realisasi sebesar Rp 26,61 triliun atau 25,1%.
“Terlihat porsi terbesar adalah perlindungan sosial. Hal ini sebagai respon dampak akibat perlambatan ekonomi dan terjadinya PSBB yang telah memukul secara signifikan kemampuan ekonomi masyarakat kita, diikuti dengan pemberian stimulus bagi UMKM dan insentif usaha serta anggaran untuk bantuan sektoral serta pemerintah daerah. Besaran anggaran program kesehatan meskipun bukan terbesar, namun sudah diperhitungkan kecukupannya untuk penanganan belanja, penanganan kesehatan, termasuk di dalamnya adalah pemberian insentif bagi tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan seperti APD, rapid test, reagen, pembangunan rumah sakit, sarana dan prasarana kesehatan, subsidi iuran BPJS Kesehatan, insentif tenaga medis, santunan kematian untuk tenaga kesehatan, dan pembebasan pajak, serta bea masuk untuk alat-alat kesehatan,” ungkap Sri Mulyani.
Baca Juga…
Sejumlah LSM dan Peneliti Menguji UU Covid-19
Pemohon Uji UU Covid-19 Pertegas Argumentasi Permohonan
Guratan Tanda Tangan Mencurigakan dalam Uji UU Covid-19
Dana Desa Ditunda, Dua Kepala Desa Gugat UU Covid-19
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 37/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah. Alasan para Pemohon melakukan pengujian formil UU Penanganan Covid-19 pada prinsipnya meliputi dua argumentasi. Pertama, tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam proses pembahasan untuk menentukan apakah Perpu tersebut disetujui atau tidak. Kedua, rapat virtual yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berpotensi tidak dihadiri secara konkret oleh anggota DPR.
Sedangkan Pemohon perkara Nomor 42/PUU-XVIII/2020, Iwan Sumule dan 49 Pemohon lainnya selaku aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) mendalilkan, apabila UU Penanganan Covid-19 berikut lampirannya diberlakukan untuk seterusnya, maka ke depan tidak akan lagi ada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) yang selalu dibahas secara bersama-sama antara Pemerintah dengan DPR, karena Presiden dapat merubah postur dan/atau rincian APBN dan menetapkan perubahan tersebut secara sepihak hanya berdasarkan Peraturan Presiden. Sedangkan amanat Konstitusi dalam Pasal 23C UUD 1945 menyatakan segala sesuatu yang berkaitan dengan keuangan negara diatur dengan Undang-Undang, bukan dengan Peraturan Presiden.
Pemohon Perkara 43/PUU-XVIII/2020, Ahmad Sabri Lubis dan 9 Pemohon lainnya sebagai perorangan warga negara Indonesia mendalilkan bahwa Perpu No. 1/2020 yang telah diundangkan melalui UU No. 2/2020 mengandung ketidakjelasan tujuan terkait dengan syarat “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dan lebih diarahkan kepada kepentingan Pemerintah untuk menetapkan batas defisit anggaran melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Tahun Anggaran 2023.
Kemudian Pemohon Perkara 45/PUU-XVIII/2020 Sururudin mendalilkan, Pasal 2 dan Pasal 12 ayat (2) UU Penanganan Covid-19 dapat ditafsirkan memberikan kekuasaan yang begitu besar kepada Presiden/Pemerintah untuk mengatur keuangan negara tanpa melibatkan DPR sejak 2020-2023. Hal ini justru bertentangan dengan ruang lingkup yang diatur dalam Bab I Pasal 1 undang-undang a quo. Ruang lingkup undang-undang ini sudah jelas mengatur mengenai kebutuhan negara dalam menyelenggarakan pemerintahan diperlukan APBN Tahun 2020. Namun justru dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk dapat leluasa tanpa melibatkan DPR mengatur keuangan negara sampai pada 2023.
Pemohon perkara Nomor 47/PUU-XVIII/2020 Triono dan 26 Pemohon lainnya yang menjabat sebagai kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa, mendalilkan bahwa mereka sangat memahami kondisi wabah Covid-19 sehingga pengalihan sampai penundaan dana desa pun tidak masalah. Namun, hal tersebut menjadi masalah ketika muncul ketentuan dana desa dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran Covid-19 sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (8) Lampiran UU Penanganan Covid-19. Dalam Pasal 2 ayat (1) huruf i UU Penanganan Covid-19, tidak ada keterangan bahwa pada kondisi pandemi Covid-19, pemerintah pusat akan meniadakan dana desa. Yang diatur hanyalah kewenangan pemerintah melakukan penyesuaian, pemotongan dan penundaan, bukan meniadakan.
Sedangkan Pemohon perkara Nomor 49/PUU-XVIII/2020 yaitu Damai Hari Lubis selaku advokat. Damai mempermasalahkan penggunaan anggaran dalam Perpu a quo adalah melalui APBN sehingga harus mengacu pada prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945 khususnya mengenai prinsip terbuka dan bertanggung jawab dalam penggunaan APBN untuk kesejahteraan rakyat, yang tidak boleh dimaknai dalam kondisi pengecualian tetapi harus dimaknai dalam kondisi apapun. Damai berpandangan, diberlakukannya ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Penanganan Covid-19 telah menutup pertanggungjawaban pejabat publik dalam penggunaan uang negara yang mengakibatkan terjadinya kemunduran hukum, karena sebelumnya telah diberlakukan aturan-aturan dengan prinsip terbuka dan bertanggung jawab.
Sementara Permohonan perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 diajukan oleh 47 Pemohon, di antaranya M. Sirajuddin Syamsuddin, Sri Edi Swasono, HM. Amien Rais. Para Pemohon antara lain mendalilkan pengajuan dan persetujuan DPR terhadap Perppu 1/2020 menjadi UU 2/2020 dilakukan dalam masa sidang DPR yang sama, tepatnya pada masa sidang ke-III. Menurut para Pemohon, proses penerimaan dan persetujuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.” Seharusnya, apabila DPR menerima Perppu 1/2020 pada masa sidang III, maka persetujuan atau penolakan terhadap Perppu 1/2020 dilakukan pada masa sidang IV, sehingga para Pemohon beranggapan UU 2/2020 beralasan hukum untuk dibatalkan secara keseluruhan. Selain itu, menurut para Pemohon, berdasarkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, seharusnya DPD ikut membahas Perppu 1/2020, dikarenakan isinya terkait perimbangan keuangan pusat dan daerah, namun dalam faktanya DPR membahas tanpa DPD.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha, Muhammad Halim, Fitri Yuliana.
Foto: Gani.