JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi narasumber Peluncuran dan Diskusi Buku “Pokok-Pokok Pemikiran Penataan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.” Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember pada Rabu (7/10/2020) secara virtual.
“Selamat kepada Dr. Bayu Dwi Anggono sebagai penulis buku yang berkenaan dengan penataan regulasi di Indonesia. Bagi saya, buku adalah gambaran keabadian. Kalau orang mau menuangkan pikirannya dalam bentuk tertulis, berarti dia meninggalkan keabadiannya untuk orang banyak, untuk didiskusikan. Terlepas dari orang setuju atau tidak setuju dari apa yang kita tulis, itu menjadi persoalan lain. Ini bagian dari tanggung jawab seorang akademisi untuk memperkaya literasi, terutama literasi dalam hukum tata negara. Lebih khusus lagi bacaan-bacaan yang terkait dengan perundang-undangan. Apalagi soal perundang-undangan merupakan isu yang tidak pernah selesai kita bahas setelah perubahan UUD 1945,” ujar Saldi.
Menurut Saldi, kehadiran buku tersebut akan memberikan kontribusi yang tidak sedikit untuk pemikiran ke depan mengenai penataan regulasi. Penulis buku ingin menegaskan pemikirannya menata regulasi di Indonesia ke depan. Menurut Saldi, pemikiran penulis begitu konkret, substansi buku sangat padat dan menyerahkan kepada publik untuk meresponsnya. Di sisi lain, Saldi juga memberikan masukan terhadap buku tersebut, terutama mengenai judul buku yang terlalu panjang menurut Saldi.
“Masukan saya, judul buku ini bisa diperbaiki karena terlalu panjang. Supaya lebih eye catching, judulnya menjadi lebih sederhana. Misalnya judul menjadi ‘Penataan Regulasi di Indonesia atau Gagasan Penataan Regulasi di Indonesia. Itu mungkin jauh lebih menarik bagi orang yang membaca’,” saran Saldi.
Hyper Regulation
Saldi melanjutkan, penataan regulasi di Indonesia menjadi topik sentral yang tidak mungkin tidak dibahas secara komprehensif. Banyak pemikir, pengkaji, kalangan hukum tata negara khususnya terhadap perundang-undangan melakukan kajian penataan regulasi yang terombang-ambing dengan melihat jumlah undang-undang. Misalnya ada pernyataan bahwa Indonesia itu hyper regulation. Peraturan perundang-undangan di Indonesia terlalu banyak.
“Kita tidak membantah pendapat seperti itu. Tapi sebagai orang yang diberi modal dasar untuk menelaah secara lebih komprehensif regulasi kita, tentu kita harus meneropongnya dari berbagai sudut pandang. Salah satu poin yang sering terlupakan ketika bicara soal regulasi, lupa mengaitkan regulasi dalam sebuah negara termasuk Indonesia kalau diletakkan dalam sistem pemerintahan,” ungkap Saldi.
Sistem Presidensial seperti yang dianut Indonesia berbeda soal regulasi dengan Sistem Parlementer. Kalau kita mau meletakkan dalam Sistem Presidensial, apakah terlalu tepat jika kita memberikan ruang yang besar kepada Menteri untuk mengeluarkan Peraturan Menteri? Ini satu soal yang hanya mungkin diteropong kalau kita menggunakan pendekatan sistem pemerintahan. Dalam pemahaman Saldi, seharusnya salah satu parameter awal yang digunakan untuk berpikir secara komprehensif soal penataaan regulasi adalah bagaimana seharusnya hierarki peraturan perundang-undangan dalam negara yang memilih Sistem Presidensial. Apa benar misalnya negara yang menganut Sistem Presidensial memberi ruang yang lebih besar kepada kekuasaan di luar Presiden atau lembaga yang diberi otoritas untuk membentuk undang-undang, melahirkan regulasi?
“Saya beranggapan, kalau mau diseriuskan, bagaimana perbedaan rezim regulasi dalam Sistem Presidensial dengan rezim regulasi dalam Sistem Parlementer. Tidak bisa tidak, ini harus menjadi poin yang harus diselesaikan lebih awal. Misalnya kalau kita merujuk TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, jadi setelah menyebutkan UUD, Ketetapan MPRS, kemudian UU atau Perpu, di bawahnya ada lain-lain dan segala macamnya kemudian ada Peraturan Menteri, Instruksi Menteri. Banyak orang lupa bahwa munculnya frasa Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 itu masih sangat ada kaitannya dengan aroma parlementer dari tahun 1945 sampai tahun 1959. Baru kemudian ada Dekrit Presiden 5 Juli 1959,” urai Saldi.
Dengan demikian, menurut Saldi, kalau ketika itu muncul Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dalam kelompok hierarkis TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 karena hal itu masih dekat dengan berpisahnya Indonesia dengan model pemerintahan parlementer. Setelah membaca berbagai literatur kuno peraturan perundang-undangan Indonesia, Saldi menemukan ternyata Peraturan Tata Tertib DPRGR yang dibentuk Tahun 1960 diadopsi dari Peraturan Tata Tertib DPR yang ada dalam Sistem Parlementer.
“Itulah kemudian yang memberikan tafsir dalam Peraturan Tata Tertib itu bahwa Presiden dan DPR ikut bersama-sama membahas karena itu sebenarnya pola dalam Sistem Parlementer. Dipraktikkan terus-menerus, akhirnya itu yang dibawa ke substansi Perubahan UUD 1945. Salah satu yang harus dibongkar saat ini, seberapa luas wilayah yang memungkinkan adanya peraturan perundang-undangan diperbolehkan. Kalau dalam Konstitusi jelas disebutkan adanya Perpu, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah,” ungkap Saldi.
Lebih lanjut menanggapi hyper regulation di Indonesia, Saldi mempertanyakan pada titik mana terjadi limpahan regulasi di luar batas yang wajar itu. Setidaknya data jumlah undang-undang di Indonesia yang masih efektif berlaku dibandingkan dengan jumlah Peraturan Pemerintah, Keppres, Perpres, Peraturan Menteri. “Ternyata pembengkakan regulasi banyak terjadi di wilayah eksekutif. Saya hampir pasti mengatakan, hyper regulation itu sebetulnya ada di ranah eksekutif,” imbuh Saldi.
Disampaikan Saldi, upaya untuk membenahi terjadinya pembengkakan regulasi di Indonesia adalah dengan membenahi proses lahirnya produk-produk regulasi yang ada di wilayah eksekutif. Kalau hal itu bisa dilakukan, menurut Saldi, problem serius dengan adanya pembengkakan regulasi bisa diselesaikan.
Saldi berkisah, ketika Joko Widodo menjadi Presiden, Saldi mengatakan harus ada politik hukum baru untuk membuat unit di kantor Presiden yang menjadi kontrol segala macam produk hukum di sisi eksekutif. Di unit itulah bekerja para profesional perancang perundang-undangan dan segala macamnya.
“Ke depan, tidak perlu ada lagi Peraturan Menteri. Semua produk di eksekutif, harus dengan nama Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah. Kalau kita tidak mau mengetatkan kementerian-kementerian membuat Peraturan Menteri, sulit bagi kita bagaimana menata regulasi ke depan,” tandas Saldi.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Foto: Gani