JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) kembali diujikan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Kali ini, permohonan diajukan oleh Benidiktus Papa, Karlianus Poasa, Felix Martuah Purba, Oktavianus Alfianus Aha, Alboin Cristoveri Samosir, dan Servarius Sarti Jemorang. Para Pemohon menguji Pasal 35 ayat (1), Pasal 169A ayat (1) huruf a dan Pasal 169A ayat (1) huruf b UU Minerba.
Pasal 35 ayat (1) UU Minerba menyatakan, “Usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.” Pasal 169A ayat (1) huruf a UU Minerba menyatakan, “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: a. kontrak/perjanjian yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan 2 (dua) kali perpanjangan dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.”
Pasal 169A ayat (1) huruf b UU Minerba menyatakan, “KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan dengan ketentuan: a. kontrak/perjanjian yang telah memperoleh perpanjangan pertama dijamin untuk diberikan perpanjangan kedua dalam bentuk IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sebagai kelanjutan operasi setelah berakhirnya perpanjangan pertama KK atau PKP2B dengan mempertimbangkan upaya peningkatan penerimaan negara.”
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara yang teregistrasi Nomor 80/PUU-XVIII/2020 ini digelar di MK pada Selasa (6/10/20). Dalam persidangan yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, Alboin Cristoveri Samosir mendalilkan perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dalam Pasal 169A ayat (1a) dan Pasal 169A ayat (1b) dengan adanya frasa, “dijamin” dianggap meniadakan peran BUMN dan BUMD atas Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hasil perpanjangan KK/PKP2B. Dimana sebelumnya dalam mengajukan Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus melalui mekanisme lelang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU 4/2009).
“Hal ini secara langsung maupun tidak langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip hak menguasai negara yang termaktub di dalam Pasal 33 Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI 1945,” jelas Alboin.
Alboin menjelaskan, berdasarkan UU 4/2009 yang kemudian dipertegas melalui Pasal 112A Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012, salah satunya bahwa negara berhak mengambil alih konsesi pertambangan dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, yang tidak terakomodasi menjadi IUP menjadi wilayah pencadangan negara. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sisa wilayah kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang tidak diakomodir dalam IUP perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 angka 2, diusulkan untuk ditetapkan menjadi wilayah pencadangan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lebih lanjut, dalam syarat mengajukan IUP terdapat persyaratan yang cukup integratif dan mencerminkan kepentingan bangsa dan negara, dengan cara menerapkan persyaratan yang berkaitan dengan administratif, teknis, lingkungan, dan kepentingan ekonomi.
Menurut para Pemohon, pengaturan mengenai ketentuan dalam Pasal 169A ayat (1a) dan Pasal 169A ayat (1b) UU Minerba yang pada intinya mengatur tentang perpanjangan KK/PKP2B secara jelas dan nyata merupakan aturan yang inkonstitusional sebab secara nyata bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945.
Selanjutnya, menurut para Pemohon pemberlakuan Pasal 35 ayat (1) UU Minerbatidak sesuai dengan prinsip-prinsip pembagian kewenangan dan pengelolaan sumber daya alam telah secara tegas diatur dalam Pasal 18A UUD 1945. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.
Pendekatan sentralistik yang dipakai sering kali dilandaskan pada argumentasi, seolah-olah itu merupakan konsekuensi sistem negara kesatuan. Padahal, argumentasi ini tidak memiliki landasan yang kuat, karena NKRI yang dikonsepkan UUD 1945 sangat menghargai hak-hak otonom dan bahkan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Di samping itu, secara teoritik dengan kebhinekaan masyarakat, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, hal demikian menyulitkan kita untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pembangunan daerah.
Dalam petitum, para Pemohon antara lain meminta MK menyatakan adanya frasa “dijamin” dalam ketentuan Pasal 169A ayat (1a) dan Pasal 169A ayat (1b), baik secara langsung maupun tidak langsung bertentangan dengan prinsip-prinsip hak menguasai negara yang termaktub di dalam Pasal 33 Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Para Pemohon juga meminta MK menyatakan Pasal 169A ayat (1a) dan Pasal 169A ayat (1b) UU Minerba adalah inkonstitusional sebab secara tidak langsung menghalangi dan mempersempit ruang negara melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Menanggapi permohonan para pemohon, Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul mengatakan bahwa dalam mengajukan permohonan ada rambu-rambu (norma) yang harus dipedomani. Secara formal, para pemohon harus mempelajari atau melihat pedoman yang ada di Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 Tahun 2005. “Itu jelas bagaimana saudara diberi arahan cara membuat permohonan dengan sistematika yang tepat,” ujar Manahan. Selain itu, lanjut Manahan, para pemohon juga harus tegas menentukan kedudukan hukum apakah perseorangan atau badan hukum.
Nasihat serupa dikemukakan Hakim Konstitusi Arief Hidayat. Arief mengatakan, para pemohon harus menguraikan kedudukan hukum secara satu persatu. Selain itu, para pemohon juga harus menguraikan kerugian konstitusional yang dialami secara detail.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan para Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Permohonan disampaikan oleh pemohon paling lambat hari Senin, 19 Oktober 2020 pukul 13..30 WIB.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Annisa Lestari.
Foto: Gani.