JPU berkelit dakwaan tidak mengarah ke perdagangan orang karena bukti-bukti untuk mendukung ke arah sana tidak cukup.
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) seringkali disebut sebagai pahlawan devisa di Indonesia. Setiap tahunnya, ribuan warga negara Indonesia berlomba-lomba mencoba peruntungan di negeri orang. Namun, cerita TKI tidak selalu manis, bahkan seringkali pahit dan tragis. Salah satu kisah tragis itu kini sedang diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Kisah seorang Darmiati yang terjerat sindikat perdagangan manusia di Timur-Tengah.
Andi Gunawan yang ditengarai sebagai calo dalam sindikat perdagangan manusia akhirnya ditangkap Bareskrim Mabes Polri pada 16 November 2007 lalu di kawasan Cipayung, Jakarta Timur. Penangkapan itu merupakan buah dari laporan Darmiati calon TKI asal Sumbawa. Darmiati adalah salah satu korban yang sempat terjebak dua bulan (Agustus-Oktober 2007) di Kurdistan, Irak, sebelum akhirnya melarikan diri dan kembali ke Indonesia pada tanggal 7 November 2007 atas bantuan International Organization for Migration (IOM).
Bagaimana bisa ia sampai di Kurdistan yang dikenal sebagai daerah konflik? Darmiati mencoba menjelaskan detil kronologisnya pada persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur Kamis lalu (10/4) dengan agenda pemeriksaan saksi korban.
Awalnya, Darmiati memiliki perjanjian kerja sebagai TKI yang akan disalurkan oleh PT Duta Putra Banten. Perusahaan ini memang memiliki lisensi sebagai penyalur TKI. Mimpi bekerja di luar negeri sayangnya kandas karena berdasarkan tes kesehatan Darmiati dinyatakan unfit (tidak sehat) karena ia mengidap Hepatitis B Surface Antigen (HbsAG).
Tidak mau menyerah, Darmiati kemudian melalui percaloan Gunawan melakukan tes ulang, dan hasilnya ternyata fit. Setelah itu, Gunawan melakukan bujuk rayu terhadap Darmiati agar mau diberangkatkan ke Kurdistan, Irak sebagai pengganti tujuan awal, Yordania. Darmiati yang lugu dan sama sekali buta tentang Kurdistan, langsung mengiyakan ajakan Gunawan. Dia sepertinya terpengaruh dengan penjelasan Gunawan bahwa Kurdistan adalah daerah ama plus iming-iming AS$200 per bulan.
âPak Gunawan membuatkan paspor dan visa, kemudian pada tanggal 15 Agustus 2007 saya diberangkatkan ke Yordania. Saya transit dua kali, pertama di Singapura dan Bombayâ ujar Darmiati Kepada majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Siswandriyono.
Tiba di Yordania, Darmiati disambut oleh rekanan Gunawan dari Agency Yordania bernama Mudafar Kasbeth yang langsung mengambil paspor dan visa Yordania milik Darmiati untuk diganti dengan tiket ke Kurdistan. Sesampainya di sana, Darmiati kembali dioper dari Agency Kurdistan ke Agency Brusk. Ketika menjalani tes kesehatan, Darmiati ternyata dinyatakan unfit sehingga tidak dipekerjakan. Namun begitu, Darmiati tidak juga dipulangkan ke Indonesia dengan alasan Agency Brusk menunggu ganti rugi dari Agency Yordania. Tidak kunjung jelas nasibnya, Darmiati nekat melarikan diri ke IOM Kurdistan hingga akhirnya ia dipulangkan pada tanggal 7 November 2007.
Dari kronologis yang diungkapkan Darmiati, Anggota Komisi VIII Latifah Iskandar mencium adanya indikasi perdagangan manusia. Menurut mantan Ketua Pansus RUU Trafficking, tindakan terdakwa Gunawan sudah termasuk dalam kategori Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pasal 2
(1)Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Sayangnya, dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang diterapkan justru Pasal 102 ayat (1) huruf a dan c UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Pasal itu hanya menyinggung mengenai penempatan tenaga kerja di daerah konflik yang mengancam keamanan.
Pasal 102
(1) Dipidana dengan penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah), setiap orang yang:
a. Menempatkan warga negara Indonesia untuk bekerja di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
b. Menempatkan TKI tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12; atau
c. Menempatkan calon TKI pada jabatan atau tempat pekerjaan yang bertentangan dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
Ketika ditanyai mengapa tidak menggunakan UU Perdagangan Manusia, JPU Pengganti Agita Tri MTJ menjawab mungkin sedang dalam pengembangan polisi. Alasan lainnya, karena bukti-bukti belum menunjukan ke arah tindak pidana perdagangan orang. Lagipula, ia berdalih âSaya hanyalah jaksa pengganti. Jaksa utamanya adalah jaksa dari Kejaksaan Agung, Mereka yang berhubungan langsung dengan penyidik. Saya hanya dilimpahkan berkas untuk mengurus dakwaan iniâ.
(CRR)
Sumber www.hukumonline.com
Foto www.google.co.id