JAKARTA, HUMAS MKRI – Ketentuan mengenai peralihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang dikelola oleh PT Asabri (Persero) dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril yang dihadirkan Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU BPJS yang digelar pada Selasa (6/10/2020) siang. Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dua Ahli Presiden secara virtual.
“Ketentuan tersebut tidaklah bertentangan dengan undang-undang dasar 1945. Ketentuan tersebut sebenarnya menjamin adanya kepastian hukum bagi program asuransi sosial yang sedang dijalankan oleh PT Asabri,” papar Oce di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman tersebut.
Baca juga: Menyoal Pengalihan Penyelenggaraan Program ASABRI ke BPJS Ketenagakerjaan
Tunduk pada UU BPJS
Selain itu, Oce menyebut ketentuan yang diuji oleh para purnawirawan TNI tersebut, juga tidak menghilangkan hak seseorang atas jaminan sosial. Ia berpendapat Pasal 65 ayat (1) UU BPJS justru menjamin keberlangsungan sebuah sistem jaminan sosial yang berlaku di Indonesia secara jangka panjang. “Pengalihan program asuransi sosial dari ke BPJS ketenagakerjaan merupakan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan implementasi UU SJSN dan UU BPJS,” ujarnya.
Terkait proses pengalihan program jaminan sosial ASN yang diselenggarakan oleh PT Taspen dan hubungannya dengan BPJS Ketenagakerjaan, menurut Oce, hal itu sepenuhnya tunduk pada UU BPJS, sehingga tidak termasuk masalah yang berhubungan dengan konstitusionalitas norma undang-undang. Hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya. Dalam Putusan MK Nomor 98/PUU-XV/2017 disebutkan bahwa meskipun tidak terkait langsung dengan pengujian pasal mengenai pengalihan Asabri yang berdasarkan permohonan saat ini, Oce menilai pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut bisa digunakan juga dalam melihat perkara ini.
“Bahwa terkait proses pengalihan program asuransi sosial yang saat ini diselenggarakan oleh PT Asabri dan hubungannya dengan BPJS Ketenagakerjaan hal itu sepenuhnya seharusnya tunduk pada UU BPJS. Sehingga hal demikian tidak termasuk masalah yang berhubungan dengan konstitusionalitas norma undang-undang. Kemudian juga hal tersebut menjadi kewenangan dari pembentuk undang-undang,” tegasnya.
Baca juga: Purnawirawan TNI Perbaiki Permohonan Uji UU BPJS
Berkaitan dengan tata kelola pengalihan, Oce menjelaskan bahwa saat ini status program asuransi sosial yang diselenggarakan oleh PT Asabri dan PT Taspen berada dalam posisi transisi. Proses transisi terjadi sejak Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005 menyatakan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 40 Tahun 2004 (UU SJSN) yang mengatur keempat persero (Jamsostek, Asabri, Taspen, dan Askes) sebagai BPJS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian setelah dibentuknya BPJS berdasarkan UU SJSN, maka transisi itu masih berlanjut. Oce melanjutkan saat ini fokus transisi adalah program asuransi sosial yang dijalankan oleh PT Asabri kepada BPJS.
“Dan peralihan itu mencakup empat program yaitu soal jaminan kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan jaminan kematian. Tata kelola pengalihan tersebut diatur secara spesifik di dalam UU BPJS yaitu ketentuan Pasal 65 ayat (1) bahwa PT Asabri diberikan tugas untuk menyelesaikan pengalihan program tersebut dalam kurun waktu paling lambat sampai tahun 2029,” tegas Oce.
Baca juga: DPR: Peralihan Pembayaran Uang Pensiun ke BPJS Tidak Rugikan Purnawirawan
Mandat UUD 1945
Sementara itu, Bayu Dwi Anggono yang juga dihadirkan sebagai Ahli Presiden dalam persidangan tersebut mengungkapkan, bahwa bentuk sistem jaminan sosial seperti yang negara wajib kembangkan. Meski UUD 1945 tidak mengaturnya, Bayu menyampaikan Pasal 34 ayat (4) dimandatkan untuk diatur melalui undang-undang. Dikatakan Bayu, Pasal 34 Ayat (2) UUD 1945 pada dasarnya merupakan kebijakan hukum terbuka.
“Karena dalam Pasal 34 Ayat (2) maupun pasal-pasal lainnya dalam UUD 1945 tidak ada satu ketentuan pun yang menjelaskan, mengatur, atau memberikan batasan jelas mengenai sistem jaminan sosial seperti apa yang harus dikembangkan oleh negara, kecuali hanya disebutkan kriteria konstitusional dalam mengembangkan sistem tersebut, yaitu sistem yang mencakup seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan,” jelas Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember tersebut.
Baca juga: BPJS: Pengalihan Pembayaran Pensiun Tidak Kurangi Manfaat bagi Peserta
Bayu pun menyampaikan perbandingan beberapa negara dalam mengembangkan sistem jaminan sosial. Ia mencontohkan seluruh badan penyelenggara dijadikan satu badan penyelenggara di Korea Selatan, yaitu National Health Insurance Corporation. Badan tersebut, lanjutnya, suatu badan hukum publik otonom independen nirlaba dalam cakupan praktis seluruh penduduk. Kemudian di Amerika Serikat, sambung Bayu, sistem jaminan sosial diselenggarakan dalam satu undang-undang dan diselenggarakan oleh satu badan pemerintah, yakni Social Security Administration yang bersifat nasional dan dikelola oleh pemerintah federal. “Sementara di Jerman banyak sekali lembaga penyelenggara jaminan sosial yang pada akhirnya dari awalnya 5.000 lembaga, saat ini menjadi tinggal 200-an saja. Artinya, setiap negara memiliki pilihan model yang berbeda-beda,” ujarnya Bayu.
Bayu menerangkan bahwa MK melalui tiga putusannya yaitu Putusan No. 007/PUUIII/2005, Putusan No. 50/PUU-VI/2010, dan Putusan No. 98/PUU-XV/2017 telah memberikan tafsir konstitusional sebagai berikut. “Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah secara tegas mewajibkan negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial, tetapi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tidak mewajibkan pada negara untuk menganut atau memilih sistem tertentu dalam pengembangan sistem jaminan sosial dimaksud.”
Baca juga: Ahli: TNI dan Polri Perlu Jaminan Pensiun yang Berbeda
Menurut Bayu, penyelenggaraan jaminan sosial jika dilaksanakan oleh BPJS dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, menurut MK sudah tepat dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Terkait proses pengalihan program jaminan sosial yang saat ini diselenggarakan oleh PT Taspen dan hubungannya dengan BPJS Ketenagakerjaan, hal itu sepenuhnya tunduk pada UU BPJS. Sehingga hal demikian tidak termasuk masalah yang berhubungan dengan konstitusionalitas norma undang-undang. Sedangkan terkait lembaga yang diserahi tugas untuk menyelenggarakan program jaminan sosial nasional, hal itu sepenuhnya menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya, sepanjang dilakukan sesuai dengan mandat atau kewajiban negara untuk memberikan dan mengembangkan jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Sebagaimana diketahui, para Pemohon Perkara Nomor 6/PUU-XVIII/2020 ini adalah Endang Hairudin, M.
Dwi Purnomo, Adis Banjere dan Adieli Hulu selaku petinggi TNI menguji Pasal 65 ayat (1) UU BPJS, “PT Asabri (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029.”
Para Pemohon mendalilkan pasal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusionalitas para Pemohon yang berlatar belakang sebagai prajurit TNI dengan risiko penugasan berkaitan langsung dengan kehilangan nyawa, cacat, tewas, atau hilang di daerah operasi, juga risiko mobilitas yang tinggi dari para Pemohon pada saat aktif. Sehingga kemudian ketika pensiun, para Pemohon berharap apa yang sudah telah dinikmati selama ini dari PT. Asabri mengenai program pembayaran pensiun itu tidak teralihkan. Terutama mengenai kerahasiaan jabatan, data pribadi yang menurut para Pemohon sesuai sumpah prajurit tetap harus dijaga. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : M. Halim