JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan (UU Keprotokolan) pada Senin (5/10/2020). Sidang perkara Nomor 72/PUU-XVIII/2020 ini dimohonkan oleh Abu Bakar, yang merupakan buruh harian lepas. Pemohon yang mendalilkan Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU Keprotokolan bertentangan dengan UUD 1945.
Melalui Munatsir Mustaman, Pemohon menyebutkan beberapa poin perbaikan permohonannya, di antaranya redaksional penulisan pasal secara lengkap, kedudukan hukum, dan argumentasi untuk mempertegas kerugian konstitusional Pemohon yang terlanggar atas berlakunya norma a quo. Lebih lanjut Munatsir mengatakan bahwa dilanggarnya prinsip kolektif kolegial dan rusaknya kehormatan, keluhuran, martabat DPR berkorelasi dengan hak konstitusional Pemohon selaku pemilih. Karena berdasarkan konsitusi, anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum.
“Dengan dipilihnya DPR oleh pemiliih ini, maka dilanggarnya prinsip kolektif kolegial dan rusaknya kehormatan, keluhuran, dan martabat DPR tersebut menjadi terlanggar dan rusak pula hak konsitusional Pemohon karena anggota DPR tersebut dapat duduk pada jabatanya tersebut setelah dipilih oleh pemilih,” jelas Munatsir pada Panel Hakim yang diketuai Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih bersama dua anggota panel, Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul, dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Baca Juga:
Seorang Buruh Persoalkan Tata Letak Pimpinan DPR dalam Acara Kenegaraan
Uji UU Keprotokolan: Kuasa Pemohon Tak Berhak Bacakan Perbaikan Karena Tak Tanda Tangan
Sebagaimana diketahui, Pemohon adalah Abu Bakar yang bekerja sebagai buruh harian lepas. Pemohon menguji Pasal 9 ayat (1) huruf e dan huruf m UU Keprotokolan. Pasal 9 ayat (1) huruf e UU Keprotokolan menyatakan, “Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;” Kemudian Pasal 9 ayat (1) huruf m UU Keprotokolan menyatakan, “Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Badan Penyelenggara Pemilihan Umum, Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia;”
Pemohon adalah pemilih dalam Pemilu 2019 yang melakukan pemilihan anggota DPR. Menurutnya, keberadaan objek yang diuji tidak menjelaskan tata tempat untuk Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi, sehingga hal ini telah menimbulkan ketidakjelasan. Padahal menurutnya, Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR sama-sama berstatus Pimpinan DPR yang bertugas secara kolektif dan kolegial menjalankan kewenangan dan mengambil keputusan secara bersama dalam posisi yang setara.
Hal demikian berakibat pada kerugian konstitusional Pemohon selaku pemilih anggota DPR yakni dengan dilanggarnya prinsip kerja kolektif dan kolegial serta rusaknya kehormatan dan keluhuran martabat DPR yang merupakan hak Pemohon untuk memilihnya berdasarkan konstitusi. Oleh karena itu, segala hak konstitusional yang Pemohon perjuangkan ini bersumber dan identik dengan hak konstitusional seluruh pemilih di Indonesia.
Selain itu, Pemohon menilai pada Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib dalam Pengaturan Wewenang Pimpinan DPR tidak ada pembedaan. Prinsip kerja kolektif kolegial Pimpinan DPR tidak terlihat pada penerapan hak keprotokolan. Karena faktanya, Tata Letak Pimpinan DPR dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi sering terpisah-pisah antara Ketua DPR dan Wakil Ketua DPR. Hal tersebut terjadi karena frasa “sesuai urutan sebagaimana dimaksud UU Keprotokolan” yang tidak mengatur dengan jelas Tata Letak Pimpinan DPR dalam acara kenegaraan dan acara resmi yang dimaksudkan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.
Foto: Gani.