JAKARTA, HUMAS MKRI - Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) telah mengatur terkait batasan periodisasi masa jabatan Presiden, yakni selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. Dengan pengertian ini, maka masa jabatan demikian berlaku pula bagi kepala daerah. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jabatan-jabatan dalam Pemerintahan, baik menurut konstitusi maupun perundang-undangan lainnya dilakukan pengaturannya semua tingkatan jabatan hanya boleh dijabat dua periodisasi masa jabatan.
Demikian keterangan Staf Ahli Bidang Pemerintahan Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Suhajar Diantoro selaku wakil dari Presiden/Pemerintah dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada). Sidang keempat ini digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (5/10/2020) dengan dihadiri para pihak secara virtual dari tempat yang berbeda.
Sidang Perkara yang teregistrasi Nomor 67/PUU-XVIII/2020 ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad. Materi yang diujikan para Pemohon yaitu Pasal 7 ayat (2) huruf n UU Pilkada khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota…”
Menanggapi dalil permohonan para Pemohon, secara teperinci Suhajar menerangkan bahwa pengaturan tersebut telah sangat jelas dan tidak multitafsir karena seorang kepala daerah selain dipilih oleh rakyat, juga harus menjalankan undang-undang guna menciptakan kesejahteraan rakyat. Sehingga, perlu adanya pembatasan periode jabatan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan.
“Dengan adanya pembatasan ini, diharapkan mengurangi keinginan petahana untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah dan tata pemerintahan, dan demokrasi, serta memberikan kesempatan kepada warga negara lain yang berkompeten sebagai kepala daerah pada periode berikutnya,” terang Suhajar kepada Majelis Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi lainnya.
Berikutnya, Pemerintah menanggapi dalil para Pemohon mengenai akibat dari ketentuan norma a quo berpotensi dijadikan ruang penyelundupan hukum. Ketika ukuran untuk menyusun masa jabatan satu periode adalah menjabat sebagai kepala daerah saja atau dalam hal ini, apabila terjadi pemberhentian kepala daerah sebelum mencapai setengah masa jabatan, maka wakil kepala daerah menggunakan ruang penyelundupan hukum dengan cara sengaja mengulur-ulur waktu proses penetapan menjadi bupati pengganti.
Menanggapi hal tersebut Pemerintah secara tegas berpendapat bahwa faktor utama terjadinya penyelundupan hukum sebagaimana kekhawatiran para Pemohon tersebut lebih pada pelaksanaan ketentuan yang tidak dilaksanakan dengan semestinya atau dilaksanakan secara menyimpang. Hal demikian tidak dapat dijadikan alasan oleh para Pemohon untuk khawatir akan adanya ruang penyelundupan hukum yang dilakukan oleh wakil kepala daerah.
Selanjutnya, Suhajar juga mengulas bahwa adanya ketentuan a quo tidak lain adalah dalam rangka memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi semua warga negara yang akan mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah.
Apabila tidak ada ketentuan tersebut, mungkin saja nanti akan didapati kepala daerah yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaannya. Terutama dijadikan alat mengintimidasi rakyat guna tetap memilih dirinya pada setiap kontestasi pemilihan kepala daerah. Dengan demikian, menurut Pemerintah, ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Kewenangan Mendagri
Selain mendengarkan keterangan Pemerintah, persidangan kali ini juga mendengarkan keterangan Hamim Pou selaku Pihak Terkait. Duke Ari Widagdo selaku salah satu kuasa hukum dari Hamim Pou menerangkan proses penggantian wakil kepala daerah menjadi kepala daerah karena kepala daerah diberhentikan sementara atau meninggal dunia. Duke menyatakan, penetapan wakil kepala daerah menjadi pejabat kepala daerah merupakan tugas dan wewenang Menteri Dalam Negeri atas pertimbangan dari DPRD.
Hal tersebut secara jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 34 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan, “Apabila kepala daerah dan wakil kepala daerah diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (5), Presiden menetapkan penjabat gubernur atas usul Menteri Dalam Negeri atau penjabat bupati/walikota atas usul gubernur dengan pertimbangan DPRD sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sehingga ketika kepala daerah berhenti karena meninggal dunia, wakil kepala daerah menggantikannya sampai habis masa jabatannya. Hal ini juga telah diatur dalam Pasal 26 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004. Sehubungan dengan pelantikan wakil kepala daerah menjadi kepala daerah tersebut juga diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah. Penyelengara pelantikan adalah DPRD kabupaten setempat yang diselenggarakan dalam Rapat Paripurna DPRD yang bersifat istimewa. Dalam kaitannya dengan peristiwa pelantikan dari Pihak Terkait (Hamim Pou) sebagai Bupati Bone Bolango menggantikan Bupati Abdul Haris Nadjamudin yang meninggal dunia, telah dilakukan berdasarkan Surat Gubernur Gorontalo Nomor 880/Pan/262/IV/2013 tanggal 23 April 2013.
“Oleh karena itu, dari semua proses pergantian bupati tersebut tidak satu pun ada kewenangan wakil bupati (Pihak Terkait) untuk dapat dengan sengaja mengulur-ulur waktu penetapan dan pelantikan menjadi Bupati Bone Bolango. Sebab kewenangan tersebut ada pada DPRD Kabupaten Bone Bolango sebagai pihak penyelenggara pelantikan, Gubernur Gorontalo sebagai pihak yang melantik, dan Menteri Dalam Negeri sebagai pihak yang mengeluarkan surat keputusan pengesahan,” jelas Duke melalui persidangan jarak jauh.
Baca Juga:
Manakala Satu Periode Masa Jabatan Kepala Daerah Dipermasalahkan
Calon Kepala Daerah Perbaiki Permohonan UU Pilkada
DPR: Kepala Daerah Terlalu Lama Berhalangan Harus Diberhentikan
Sebagai informasi, permohonan uji materi UU Pilkada ini diajukan oleh Mohammad Kilat Wartabone dan Imran Ahmad. Mohammad Kilat Wartabone merupakan bakal calon kepala daerah yang mendapatkan dukungan melalui jalur perseorangan untuk maju dalam Pilkada Serentak Tahun 2020 di Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Sedangkan Imran Ahmad adalah penduduk Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, yang mempunyai hak untuk dipilih (right to be candidate) sekaligus hak untuk memilih (right to vote) dalam Pilkada Serentak Tahun 2020.
Para Pemohon merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 khususnya frasa “belum pernah menjabat sebagai Gubernur/Bupati/Walikota …” yang pemaknaannya berlaku untuk subjek hukum Gubernur/Bupati/Walikota saja. Makna dari norma tersebut dibatasi hanya untuk menghitung masa jabatan subjek hukum yang pernah menjabat sebagai kepala daerah saja, tetapi tidak berlaku untuk subjek hukum wakil kepala daerah yang menjadi pejabat kepala daerah dengan tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah. Padahal dalam satu periode masa jabatan, menurut para Pemohon, terdapat subjek hukum yang menjabat sebagai kepala daerah yakni (1) Gubernur/Bupati/Walikota itu sendiri, dan/atau (2) Wakil Gubernur/Bupati/Walikota yang menjadi pejabat kepala daerah.
Secara aktual, para Pemohon mengalami kerugian atas praktik ketatanegaraan kepala daerah di Kabupaten Bone Bolango. Bupati Bone Bolango terpilih Periode 2010-2015, Abdul Haris Nadjmudin, diberhentikan sementara karena tersangkut perkara pidana sehingga Wakil Bupati Hamim Pou diberi wewenang menjalankan pemerintahan sebagai pejabat bupati sejak 18 September 2010-27 Mei 2013. Dalam rentang waktu 2 tahun 3 bulan, Bupati Abdul Haris Nadjmudin meninggal dunia sehingga Hamim Pou menjadi bupati pengganti sejak 27 Mei 2013-17 September 2015.
Pada Periode 2016-2021, Hamim Pou terpilih menjadi Bupati satu periode untuk masa jabatan 17 Februari 2016-17 Februari 2021. Kemudian pada Pilkada Serentak 2020 nanti, Hamim Pou yang merupakan ketua salah satu partai dicalonkan kembali menjadi Bupati Bone Bolango Periode 2021-2026.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Lambang TS.