JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (UU 2/2020) digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (5/10/2020) siang.
Ibnu Sina Chandranegara selaku kuasa Pemohon menyampaikan perbaikan permohonan Perkara Nomor 75/PUU-XVIII/2020 ini. Para Pemohon telah memperbaiki terkait surat kuasa hukum dan dalil permohonan. “Sesuai dengan kewajiban memperbaiki surat kuasa pada perkara dalam sidang sebelumnyan bahwa komposisi saat ini Pemohon perorangan adalah 43 orang dan hanya 4 badan hukum. Namun terdapat 3 badan hukum dan 14 nama Pemohon perorangan yang tidak menandatangani surat kuasa dikarenakan satu dan lain hal. Keempat belas orang tersebut nama-namanya sudah diberikan tanda dalam surat kuasa, serta 3 badan hukum lainnya yang disebabkan karena ketidakmampuan untuk menyelesaikan berbagai macam kewajiban. Dalam konteks ini adalah tanda tangan dan sebagainya berkas bukti sesuai dengan waktu yang ditentukan,” ungkap Ibnu kepada Majelis Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua Aswanto tersebut.
Baca juga: Lagi, UU Kebijakan Keuangan Negara Menangani Pandemi Covid-19 Dipersoalkan
Terkait dengan permohonan uji formil, para Pemohon melakukan penegasan beberapa kata yang keliru. Kemudian para Pemohon melakukan penegasan khususnya di Pasal 28, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. “Pada pokoknya kami tegaskan meskipun dalil tersebut umumnya berada pada konsep darurat. Tetapi kami berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 pada pokoknya berisi penetapan peraturan pemerintah yang juga merespon keadaan darurat kesehatan sebagaimana penetapan keadaan darurat yang masih berlaku hingga saat ini. Sehingga, terlepas bentuk dan bajunya adalah undang-undang, kami menilai bahwa di dalamnya memuat keadaan darurat yang telah diformilkan dalam bentuk undang-undang. Selanjutnya, petitum pun masih tetap sama dan kemudian ditandatangani oleh seluruh kuasa hukum sebagaimana arahan dari Majelis sebelumnya. Demikian apa yang bisa saya sampaikan pokokpokok perbaikan dari kami,” tambah Ibnu.
Para Pemohon Perkara 75/PUU-XVIII/2020 ini terdiri atas perorangan Din Syamsuddin dan 56 Pemohon lain maupun sejumlah badan hukum, antara lain Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis), Wanita Al- Irsyad, Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad. Para Pemohon menguji Pasal Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, huruf a angka 2 dan huruf a angka 3, Pasal 6 ayat (12), Pasal 27 dan Pasal 28 Lampiran UU 2/2020. Beberapa Pemohon perkara ini merupakan Pemohon yang sama dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XVIII/2020 yang dinyatakan tidak diterima.
Menurut para Pemohon, pasal-pasal yang diuji secara tersurat dan tersirat tidak sejalan dengan prinsip negara hukum yang diatur oleh UUD 1945. Hal ini didasarkan bahwa beberapa ketentuan a quo memberikan kewenangan absolut kepada Presiden, selain menegasikan DPR dan DPD sebagai lembaga negara untuk menjalankan kewenangannya di bidang legislasi atau pembentukan UU. Selain itu, ketentuan-ketentuan a quo juga memberikan imunitas bagi lembaga dan/atau pelaksana kebijakan serta kebijakan dalam kerangka pelaksanaan keketuan-ketentuan dalam lampiran UU 2/2020 jika terjadi penyimpangan atau tindakan penyelahgunaan kewenangan bukan merupakan tindak pidana. (*)
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: M. Halim