JAKARTA, HUMAS MKRI - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto menjadi narasumber Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan 3 dengan tema “Hukum Acara Peradilan MK.” Kegiatan ini diselenggarakan oleh Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) bekerja sama dengan Universitas Halu Oleo melalui aplikasi Zoom Meeting pada Minggu (4/10/2020).
Pada acara tersebut, Aswanto menyampaikan dasar hukum pembentukan MK yakni berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 yang mana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
"Jadi, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 ini adalah dasar pembentukan MK," kata Aswanto.
Aswanto menjelaskan, kewenangan MK tersebut diatur dalam Pasal 24C Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945, UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2). Serta diatur dalam Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan ketentuan tersebut, tambah Aswanto, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Empat kewenangan tersebut yaitu menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran politik dan memutus hasil pemilihan umum. Sementara kewajiban MK yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD.
Namun, lanjut Aswanto, dalam perkembangan pelaksanaan kewenangan, MK menyatakan bahwa Pasal 50 UU No. 24 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 50 memuat ketentuan yang menyatakan bahwa UU yang dapat diuji MK adalah adalah UU yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945. Menurutnya, pasal tersebut telah dinyatakan inskonstitusional berdasarkan Putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 (pengujian UU No. 1 Tahun 1987 tentang Kadin). Dengan demikian, MK berwenang menguji semua undang-undang yang telah disahkan.
Selain itu, berdasarkan Putusan No. 138/PUU-VII/2009 MK menyatakan berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Pertimbangan hukum MK, menyebutkan Perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan UU.
Lebih lanjut Aswanto mengatakan, MK melakukan pengujian baik secara materiil maupun pengujian formil. Pengujian materiil ialah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Sedangkan pengujian formil yaitu pengujin UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
Berdasarkan putusan No. 27/PUU-VII/2009, MK telah menetapkan bahwa batas waktu pengujian formil suatu UU adalah 45 hari setelah UU tersebut dimuat dalam lembaran negara. Sedangkan Pengujian materiil tidak ada batas waktunya.
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.