JAKARTA, HUMAS MRKI - Hukum acara berkaitan dengan sarana atau instrumen yang harus dipahami ketika akan menjadi seorang advokat. Hal ini berguna untuk menegakkan hukum materiil yang akan berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh prinsipal. Tanpa menguasai hal itu, seorang advokat atau kuasa hukum tidak mungkin bisa memperjuangkan hak konstitusional dan keadilan bagi prinsipal yang dibantunya. Demikian pernyataan pembuka yang diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam kegiatan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) Angkatan VIII yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah bekerja sama dengan DPN Peradi pada Sabtu (3/10/2020) melalui Zoom Meeting.
“Berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi, seorang advokat itu tidak akan bisa memperjuangkan hak konstitusional para kliennya apabila tidak memahami hukum acara di MK itu seperti apa dan bagaimana,” ucap Suhartoyo dalam kegiatan bertema “Hukum Acara MK” ini.
Di Mahkamah Konstitusi, sambung Suhartoyo, hukum acaranya sedikit berbeda dengan masing-masing kewenangan yang menyertainya. Adapun beberapa kewenangan MK yang dimaksud dalam konstitusi di antaranya menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan hasil pemilihan umum, sedangkan kewajban MK adalah memberikan pendapat atas adanya dugaan pelanggaran oleh presiden menurut UUD 1945. Selain itu, ada pula kewenangan tambahan yang diberikan UUD 1945, tetapi tidak diturunkan dari konstitusi, yakni menangani perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada).
Sehubungan dengan hukum acara pengujian undang-undang (PUU) ini, Suhartoyo menjelaskan bahwa berkaitan dengan PUU, hal yang harus dipahami adalah ada pengujian yang bersifat formil dan materil. Dalam PUU ini, sifat perkaranya bukan perkara contensiosa, advesarial, dan perkara yang tidak ada para pihaknya dan hanya ada Pemohon dan tidak ada Termohonnya. Jika ada yang mengajukan permohonan judicial review di MK pihak terkait dimungkinkan ada dan pihak Pemerintah dan DPR dalam perkara ini hanyalah sebagai pemberi keterangan.
“Jadi Pemerintah dan DPR itu pun menjelaskan segala sesitunya atas permintaan MK. Dengan dasar, adanya permohonan Pemohon sehingga MK memanggil DPR/Pemerintah berkaitan dengan adanya pengkajian formil dan materiil terdapat sebuah produk hukum yang dibuat oleh pembuat UU,” terang Suhartoyo.
Hukum Acara
Selanjutnya, Suhartoyo mengulas lebih jauh mengenai perbedaan pengujuaan materiil dan formil. Bahwa pengujian materiil adalah pengujian yang berkaitan dengan materi muatan norma yang berhubungan dengan substansi dari sebuah UU, sedangkan pengujian formil berkaitan dengan proses pembentukan undang-undangnya. Apabila ada UU baru yang dirasakan ada prosesnya yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka hal tersebut dapat diujikan ke MK secara seluruhnya karena telah ditemukan adanya cacat formil dari prosedur pembentukan suatu undang-undang. Dalam hal ini, jelas Suhartoyo, ada batas waktunya paling lama 45 hari setelah UU itu diundangkan. Apabila lebih dari itu, maka uji formil tersebut telah melewati batas waktu dan tidak memenuhi syarat serta bisa dinyatakan tidak dapat diterima.
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan, yakni perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, kesatuan hukum publik/privat, dan lembaga negara. Dalam hal ini, para pihak ini yang dalam berperkara ini dapat saja dibantu oleh para calon advokat karena bentuk permohonan pengajuan perkara dapat dengan mudah dipelajari pada laman
mkri.id.
Selanjutnya, syarat untuk mengajukan permohonan adalah prinsipal harus mendalilkan mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh konstitusi; hak dan kewenangan itu dirugikan oleh UU yang dimohonkan diujikan, baik bersifat spesifik, aktual, dan potensial terjadai atau dialami pemohon; ada sebab akibat dari keberlakuan UU tersebut; dan adanya kemugkinan jika dikabulkan maka kerugian konstitusional tidak akan terjadi lagi.
“Ada banyak pertanyaan dari masyarakat, di MK kenapa disebut permohonan dan bukan gugatan? Ya, karena memang tidak ada Termohonnya, putusannya berlaku untuk siapa saja (erga omnes), dan perkara yang diajukan bersifat contensiosa. Dan untuk permohonan sendiri, di MK itu mulai dari pengajuan bahkan sidangnya sudah dapat dilakukan secara online sejak 2009. MK bekerja sama dengan 42 perguruan tinggi untuk menyelenggarakan sidang juga. Jadi, jauh sebelum adanya Covid-19 ini, MK telah menggelar sidang jarak jauh,” terang Suhartoyo. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari