JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memaparkan materi “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” secara virtual (online) dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) pada Jumat (2/10/2020). Kegiatan ini diselenggarakan oleh DPC Peradi Ambon bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Pattimura.
Sebagai pengantar, Daniel menjelaskan mengenai kekuasaan kehakiman di Indonesia. “Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Sedangkan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) disebutkan dalam Pasal 2 UU MK yang menyatakan, “Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekusaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Lebih lanjut Daniel mengatakan, berdasarkan Pasal 24C Ayat (1) disebutkan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Kemudian Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan, “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.”
Dalam perkembangannya, ungkap Daniel, ada kewenangan tambahan MK yang diberikan baik melalui putusan MK maupun melalui undang-undang. Kita tahu bahwa ada penambahan kewenangan pengujian perpu yang mengacu pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
“Dalam pertimbangan hukum putusan tersebut dinyatakan bahwa oleh karena perpu dapat menimbulkan norma hukum yang kekuatan mengikatnya sama dengan undang-undang, maka terhadap norma dalam perpu tersebut, Mahkamah dapat menguji secara materiil terhadap UUD 1945. Sejak 2009 sampai 2020 telah dilakukan sebanyak 24 pengujian perpu di MK,” jelas Daniel yang juga menyinggung fungsi MK sebagai pengawal konstitusi, penafsir akhir konstitusi, pengawal demokrasi, pelindung hak asasi manusia, pelindung hak konstitusional warga negara, pelindung ideologi negara.
Selain itu, tambah Daniel, ada kewenangan tambahan MK lainnya yaitu mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sampai dibentuknya badan peradilan khusus. Dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013, MK menyatakan untuk menghindari keraguan, ketidakpastian hukum serta kevakuman lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilu kepala daerah karena belum adanya undang-undang yang mengatur mengenai hal tersebut, maka penyelesaian perselisihan hasil pemilu kepala daerah tetap menjadi kewenangan MK.
Daniel juga memaparkan statistik perkara dan putusan MK hingga 2019. Perkara paling banyak diuji di MK adalah perkara pengujian undang-undang sebanyak 1.321 perkara (43,96%). Kemudian perselisihan hasil pilkada sebanyak 982 perkara (32,68%). Perkara perselisihan pemilu legislatif sebanyak 671 perkara (22,33%). Perkara sengketa kewenangan lembaga negara sebanyak 26 perkara (0,87%). Terakhir, perkara perselisihan hasil pemilu presiden sebanyak 5 perkara (0,17%).
Sedangkan data statistik putusan MK, sebanyak 1.305 perkara ditolak (45,81%). Kemudian 1.005 perkara tidak dapat diterima (35,28%). Sebanyak 397 perkara dikabulkan (13,93%), 171 perkara ditarik kembali (5,75%), 60 perkara gugur (2,11%), 25 perkara putusan sela (0,84%), dan terhadap 11 perkara (0,32%) MK menyatakan tidak berwenang mengadilinya.
Lebih lanjut Daniel menerangkan aspek-aspek umum beracara di MK. Terkait pengajuan permohonan, dilakukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasa Pemohon dalam 12 rangkap, wajib memuat uraian yang jelas mengenai salah satu kewenangan MK, disertai alat bukti, menyertakan soft copy permohonan dan daftar alat bukti dalam bentuk ms. Word, diserahkan langsung ke Kepaniteraan MK atau dapat diajukan secara online. Daniel menandaskan, beracara di MK tidak dibebani biaya perkara. “Konon kabarnya saat pertama kali MK Republik Indonesia berdiri, pernah ada yang datang mengajukan permohonan secara lisan. Namun sekarang, semua permohonan diajukan secara tertulis, “ ujar Daniel.
Pengajuan perkara di MK dikenal dengan istilah “permohonan”, bukan “gugatan” seperti dalam praktik hukum acara perdata karena lebih bernuansa kepentingan umum dan tidak mengandung sengketa kepentingan yang bersifat contentiosa. Permohonan diajukan karena adanya kerugian konstitusional yang dialami Pemohon dengan berlakunya suatu norma undang-undang. Kerugian konstitusional harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Sedangkan para pihak terdiri atas Pemohon dan Pemberi Keterangan. Pemohon meliputi perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama), kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat maupun lembaga negara.
“DPR dan Presiden dalam perkara pengujian undang-undang bukanlah lawan dari Pemohon, melainkan sebagai Pemberi Keterangan,” imbuh Daniel.
Kemudian format permohonan secara sederhana meliputi identitas Pemohon, Kewenangan MK, kedudukan hukum (legal standing), alasan permohonan (posita), dan petitum. Namun dalam perkara perselisihan hasil pemilu atau pilkada, format permohonan turut mencantumkan tenggang waktu pengajuan permohonan.
Berikutnya, Daniel mengingatkan pentingnya alat bukti dalam berperkara di MK. Sesuai Pasal 36 ayat (1) UU MK, alat bukti adalah surat atau tulisan, kemudian keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk dan alat bukti lain berupa informasi yan diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Pasal 45 ayat (1) UU MK menegaskan Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
Daniel juga memaparkan mengenai persidangan di MK, yakni terdiri dari sidang panel pemeriksaan pendahuluan dan sidang pleno pemeriksaan persidangan. Sidang panel dihadiri oleh tiga orang Hakim Konstitusi, sedangkan sidang pleno dihadiri sekurang-kurangnya tujuh orang Hakim Konstitusi. Sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Selain itu pihak yang ingin berperkara di MK dapat mengajukan permohonan pelaksanaan sidang jarak jauh (video conference) sesuai Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 18 Tahun 2009.
Adapun mengenai tahapan persidangan MK yaitu bermula dari sidang panel pemeriksaan pendahuluan yang bertujuan memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, selain itu hakim wajib memberikan nasihat untuk melengkapi atau memperbaiki permohonan serta memeriksa dan mengesahkan alat bukti Pemohon. Sedangkan sidang pleno pemeriksaan persidangan bertujuan mendengarkan keterangan Pemberi Keterangan, Pihak Terkait, Saksi maupun Ahli. Setelah itu berlanjut dengan RPH dan terakhir sidang pengucapan putusan.
Hal lain dan sangat penting adalah pengucapan putusan. MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Putusan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Sesuai Pasal 47 UU MK.
“Putusan MK bersifat erga omnes. Meskipun dimohonkan oleh perseorangan atau individu, namun keberlakuan putusan mengikat seluruh warga atau umum dan memengaruhi politik hukum di Indonesia,” tegas Daniel.
Sebagaimana diketahui, amar putusan MK yaitu, tidak dapat diterima, ditolak, bisa juga dikabulkan baik sebagian maupun keseluruhan.Varian lain dari putusan dalam perkara PUU meliputi konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional), menunda keberlakuan putusan, serta merumuskan norma baru.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.
Foto: Gani.