JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (UU Pos) di Ruang Sidang Panel MK pada Rabu (30/9/2020). Perkara yang teregistrasi Nomor 78/PUU-XVII/2020 ini diajukan oleh PT Pos Indonesia (Pemohon I) dan Harry Setya Putra (Pemohon II). Para Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 8, Pasal 15, Pasal 27 ayat (2), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, Pasal 46, Pasal 51 UU Pos, yang dinilai bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), Pasal 33 ayat (4), dan Pasal 34 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Tegar Yusuf A.N. selaku kuasa hukum menyebutkan, Pemohon I merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang keberadaannya penting untuk menunjang pembangunan nasional. Pemohon I melakukan pelayanan surat-menyurat, pengiriman barang, dan layanan pos lainnya untuk masyarakat secara luas. Berpedoman pada UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, tujuan dari adanya Pemohon I untuk memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan negara pada khususnya serta mengejar dan menghasilkan keuntungan.
Kemudian, Pemohon mendalilkan adanya UU Pos terutama Pasal 1 angka 2 yang berbunyi, ”Penyelenggara Pos adalah suatu badan usaha yang menyelenggarakan pos,” berakibat pada tidak terlaksananya tugas Pemohon I dengan sebagaimana mestinya. Menurut Pemohon I, ketentuan pasal tersebut mengartikan penyelenggaraan pos dapat dilaksanakan oleh siapa pun sepanjang telah memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai badan usaha yang menyelenggarakan pos. Akibatnya Pemohon I kehilangan hak eksklusifnya sebagai pos negara dan bahkan tidak berbeda dengan penyelenggara pos non-negara yang ada. Selain itu, Pemohon I dalam tugasnya juga dibebani kewajiban untuk memberikan pelayanan umum. Dengan dibukanya akses bebas penyelenggara pos ini, menyebabkan Pemohon I mengalami kesulitan untuk bersaing dengan banyaknya penyelenggara pos swasta yang ada saat ini.
Sementara itu, terhadap hak konstitusional Pemohon II yang merupakan perseorangan warga negara Indonesia merasa dirugikan dengan keberlakukan Pasal 1 ayat (8), Pasal 27 ayat (2), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30, dan Pasal 46 UU Pos karena adanya perlakuan yang sama antara surat dengan kiriman jenis lainnya. Menurut Pemohon II, surat merupakan salah satu media komunikasi yang di dalamnya tercakup perlindungan hak atas privasi sehingga surat memiliki kedudukan tersendiri dibandingkan dengan kiriman lainnya. Substansinya yang berisikan informasi privat antara pengirim dan penerima surat merupakan hak asasi manusia yang secara tegas dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Akibat dari hal ini, kiriman yang dipaketkan oleh Pemohon II dapat saja dibuka dan diperiksa oleh penyelenggara pos sebelum dilakukan pengiriman pada alamat yang dituju.
“Berdasarkan hal-hal tersebut, kami memohon kepada Mahkamah untuk memeriksa dan memutus permohonan pengujian ini dalam pokok perkara menyatakan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” ucap Tegar pada Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams selaku pimpinan Sidang Panel dengan didampingi Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh melalui jaringan persidangan jarak jauh.
Sebagaimana ketentuan hukum acara di MK, pada Sidang Pendahuluan ini Majelis Panel akan memberikan nasihat-nasihat terkait catatan perbaikan yang harus dilakukan para Pemohon untuk menyempurnakan permohonannya. Akibat permasalahan jaringan internet yang tak dapat diselesaikan selama masa skorsing sidang, maka agenda persidangan akan dilanjutkan pada Kamis, 1 Oktober 2020 pukul 13.00 WIB. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari
Humas: Annisa Lestari