JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap UUD 1945. MK berpendapat, permohonan Pemohon tidak jelas (kabur). Alhasil dalam amar putusan, MK menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” ucap Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman membacakan Putusan Nomor 65/PUU-XVIII/2020, Selasa (29/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan pengujian UU Minerba ini diajukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dalam hal ini diwakili oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman bersama Pimpinan DPRD Kepulauan Bangka Belitung yaitu Didit Srigusjaya, Hendro Apolo, Muhhamad Amin, dan Amri Cahyadi. Adapun materi UU Minerba yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 4 ayat (2), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 17 ayat (2), Pasal 21, Pasal 35 ayat (1), Pasal 37, Pasal 40, Pasal 48 huruf a dan huruf b, Pasal 67, Pasal 100A, Pasal 122, Pasal 140, Pasal 151, Pasal 169B ayat (5) huruf g, Pasal 173B, dan pasal-pasal lainnya sepanjang dimaknai “menghapus/mengubah kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi”.
Menurut Pemohon, persoalan pertambangan sebagaimana diintrodusir dalam konsideran “menimbang” UU Minerba bukan disebabkan karena faktor kewenangan otonomi daerah dan regulasinya. Kebijakan untuk mengembalikan sentralisasi urusan pertambangan di Pemerintah Pusat bukan menjadi solusi, tetapi lebih disebabkan oleh berubah-ubahnya kebijakan dan tarik-menarik kepentingan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Pemberlakuan ketentuan dalam UU Minerba yang dimohon pengujian ini berarti mengembalikan sentralisasi kewenangan pengurusan sektor pertambangan kepada Pemerintah Pusat. Jika ini terjadi tidak hanya dapat merugikan hak otonomi daerah tetapi juga akan merugikan masyarakat sehingga dapat memicu konflik antar masyarakat daerah dengan Pemerintah Pusat dan hal ini sering terjadi.
Baca Juga:
UU Pertambangan Mineral dan Batubara Digugat
Pemohon Uji UU Minerba Perbaiki Permohonan
Permohonan Kabur
Setelah Mahkamah menyandingkan antara bukti para Pemohon dengan Salinan UU Minerba yang diperoleh dari Jaringan Dokumentasi Informasi Hukum (JDIH) Sekretariat Negara, terdapat perbedaan di antara keduanya. Pada Salinan UU Minerba dari JDIH Sekretariat Negara, tidak terdapat ketentuan Pasal 100A dan Pasal 169B ayat (5) huruf g sebagaimana dimohonkan para Pemohon.
“Para Pemohon juga tidak menguraikan isi pasal yang dimaksudkan dalam permohonan sehingga Mahkamah tidak dapat memahami pasal yang dimaksudkan oleh para Pemohon,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan hukum putusan.
Kemudian, lanjut Arief, para Pemohon mencantumkan frasa “pasal-pasal yang lainnya sepanjang dimaknai menghapus/mengubah kewenangan pemerintah daerah provinsi” tanpa menguraikan lebih lanjut. Mahkamah diminta menyatakan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya” terhadap seluruh ketentuan pasal UU Minerba yang menghapus, merubah dan mencabut kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi dan Gubernur. Namun, Pemohon tidak menguraikan pasal berapa yang dimaksud.
Para Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan mengembalikan pasal-pasal UU Minerba kepada keadaan semula sebelum perubahan. Menurut Mahkamah, petitum demikian hanya mungkin dipertimbangkan dan dipenuhi sepanjang yang dimohonkan jelas dan berimplikasi kepada terjadinya kekosongan hukum.
“Menurut Mahkamah, permohonan para Pemohon tidak jelas (kabur),” tandas Arief.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.