JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi) terkait aturan mengenai kebebasan mimbar akademik tidak dapat diterima. Putusan Nomor 53/PUU-XVIII/2020 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya pada Selasa (29/9/2020) siang.
Permohonan ini diajukan oleh Muhammad Anis Zhafran Al Anwary yang merupakan mahasiswa Universitas Brawijaya. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 9 ayat (2) UU Pendidikan Tinggi yang dinilai bertentangan dengan Pasal 28; Pasal 28C ayat (1); Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3); Pasal 28F; dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menurut Pemohon, pasal a quo menghilangkan hak civitas akademika dirinya selaku mahasiswa dalam menyampaikan secara leluasa pikiran, pendapat, dan informasi yang didasarkan pada rumpun dan cabang ilmu yang dikuasainya.
Baca juga: Maraknya Pembatasan Diskusi, Mahasiswa Gugat Aturan Kebebasan Mimbar Akademik
Terkait permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah menyebut bahwa permohonan Pemohon adalah kabur karena tidak memenuhi syarat formal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 UU MK dan Pasal 5 ayat (1) PMK 6/2005.
Lebih jelas Manahan mengatakan, dalam permohonan terdapat ketidaksesuaian antara posita permohonan dengan petitum. Dalam menguraikan alasan permohonannya, Pemohon pada pokoknya menyatakan Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012 telah menyebabkan adanya diskriminasi akademik sehingga tidak memberikan hak kebebasan mimbar akademik kepada mahasiswa, tetapi terbatas hanya kepada profesor dan/atau dosen. Nyatanya, tuntutan Pemohon tersebut tidak bersesuaian dengan petitum yang meminta agar mahasiswa dapat menyatakan secara terbuka dan bertanggung jawab mengenai sesuatu yang berkenaan dengan rumpun ilmu dan cabang ilmunya dan tetap berada di bawah naungan guru besar dan/atau dosen yang memiliki otoritas dan wibawa ilmiah.
“Dengan adanya ketidaksesuaian petitum dengan uraian alasan-alasan permohonan Pemohon telah dengan sendirinya dalam hal ini Pemohon menyadari ada ketidaksetaraan antara mahasiswa dengan profesor dan/atau dosen,” jelas Manahan dalam sidang pengucapan putusan yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK dengan dihadiri para pihak secara virtual dari kediaman masing-masing.
Baca juga: Pemohon Uji Aturan Kebebasan Mimbar Akademik Perkuat Kedudukan Hukum
Wewenang Profesor/Dosen
Selain itu, sambung Manahan, pemaknaan yang dimohonkan Pemohon dalam petitum, merupakan suatu praktik yang dilakukan selama ini yang sejalan dengan makna Pasal 9 ayat (2) UU 12/2012. Kebebasan mimbar akademik merupakan wewenang profesor dan/atau dosen, tetapi bukan berarti mahasiswa tidak dapat memiliki hak berpendapat dalam sebuah forum mimbar akademik tersebut. Hak berpendapat dari mahasiswa dalam sebuah mimbar akademik, tetap ada di bawah naungan profesor dan/atau dosen yang memiliki otoritas dalam rumpun dan cabang ilmunya.
“Pemaknaan yang Pemohon minta dalam petitumnya ini sesungguhnya sudah merupakan praktik yang lazim terjadi di perguruan tinggi,” jelas Manahan.
Dengan demikian, Mahkamah mendapati adanya ketidaksesuaian antara posita dan petitum tersebut telah menimbulkan ketidakjelasan atau kabur terhadap permohonan a quo. Sehingga Mahkamah sulit untuk memahami maksud permohonan dan tidak mempertimbangkan lebih lanjut pokok permohonan Pemohon. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari