JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang diajukan oleh PT. Nadira Intermedia Nusantara akhirnya ditolak. “Amar putusan mengadili, menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 78/PUU-XVII/2019 pada Selasa (29/9/2020).
Sebelumnya, Perkara Nomor 78/PUU-XVII/2019 ini diajukan oleh PT. Nadira Intermedia Nusantara. Pemohon mendalilkan telah dirugikan dengan diberlakukannya Pasal 25 Ayat (2) huruf a UU Hak Cipta karena dianggap melakukan “Penyiaran ulang siaran”. Pemohon yang melaksanakan ketentuan UU Penyiaran untuk menyalurkan paling sedikit 10% dari program lembaga penyiaran publik (TVRI) dan lembaga penyiaran swasta (TV-TV swasta yang bersiaran secara free to air) justru dilaporkan oleh karyawan PT. MNC SKY VISION ke pihak kepolisian karena menayangkan hasil karya cipta TV MNC Group.
Baca juga: Miliki Hak Ekslusif Tayangan, RCTI Tegaskan Pentingnya UU ITE
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams, terhadap dalil Pemohon yang menilai terdapat ketidakjelasan dan/atau ketidaklengkapan rumusan norma Pasal 25 ayat (2) huruf a UU 28/2014 mengenai siaran ulang, Mahkamah menilai rumusan norma mesti dibaca secara utuh sehingga maksudnya dapat dipahami secara komprehensif. Dalam hal ini, lanjut Wahid, siaran ulang tidak hanya dipahami sebatas kegiatan menggandakan dan menyiarkan kembali suatu siaran yang telah disiarkan. Siaran ulang juga mencakup pula kegiatan merelai siaran atau menayangkan secara bersamaan sebuah siaran yang diproduksi atau dimiliki lembaga penyiaran lain. Mahkamah juga menekankan tujuan dibentuknya undang-undang a quo untuk memberikan perlindungan terhadap hak ekonomi lembaga penyiaran sebagaimana dimaksudkan Pasal 25 ayat (1) UU 28/2014.
“Sebab hak ekonomi melekat pada hak cipta. Artinya, hak ekonomi lembaga penyiaran terhadap siaran yang dimiliki tidak akan terlindungi jika lembaga penyiaran lainnya dengan alasan telah memiliki IPP secara tanpa izin dapat menyiarkan kembali siaran yang dimilikinya. Dalam konteks itu, meskipun setiap orang berhak, antara lain, menyampaikan informasi yang dalam konteks norma Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008 adalah mentransmisikan, orang tersebut harus memahami bahwa informasi yang hendak ditransmisikan kepada masyarakat luas adalah hak milik atau hak cipta orang lain, maka orang tersebut wajib menghargai hak milik atau hak cipta orang lain itu,” papar Wahiduddin.
Baca juga: DPR: UU ITE Beri Perlindungan Informasi Elektronik Pribadi dan Publik
Jalin Kerja Sama
Wahiduddin melanjutkan ketentuan Pasal 26 ayat (2) huruf b UU 32/2002 menyediakan paling sedikit sepuluh per seratus dari kapasitas kanal saluran untuk menyalurkan program dari LPP dan LPS dapat dilakukan tanpa memerlukan izin lembaga penyiaran tersebut. Ihwal ini, UU 32/2002 memang mengatur tentang penyediaan paling sedikit sepuluh per seratus program dari LPP dan LPS, tetapi aturan tersebut tidak secara serta-merta diartikan bahwa LPB secara bebas menyiarkan program dari LPP dan LPS. Hal ini karena dalam UU 32/2002 juga ditentukan mengenai hak siar, yaitu hak yang dimiliki lembaga penyiaran untuk menyiarkan program atau acara tertentu yang diperoleh secara sah dari pemilik hak cipta atau penciptanya.
“Sehubungan dengan penyediaan paling sedikit sepuluh per seratus program dari LPP dan LPS, UU 32/2002 sudah memberikan solusi, sebagaimana dimaktubkan ketentuan Pasal 41 UU 32/2002 yang menyatakan, ‘Antar-lembaga penyiaran dapat bekerja sama melakukan siaran bersama sepanjang siaran dimaksud tidak mengarah pada monopoli informasi dan monopoli pembentukan opini’. Frasa ‘bekerja sama’ dalam Pasal 41 UU 32/2002 bermakna adanya perjanjian untuk bekerja sama antara LPP dan LPS dengan LPB,” papar Wahiduddin.
Baca juga: GO TV Kabel Indonesia Ungkap Fakta di Lapangan Uji UU ITE
Perlindungan Hak Siar
Sedangkan terkait pokok permohonan Pemohon yang menguji Pasal 32 ayat (1) UU 11/2008, Mahkamah menilai pasal tersebut sama sekali tidak dapat dikualifikasi telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Justru sebaliknya, norma a quo menjadi norma dalam rangka memberi jaminan terhadap perlindungan hak siar sebagai hak ekonomi lembaga penyiaran yang berada dalam ranah hukum privat dari tindakan atau upaya mentransmisikannya secara tanpa hak. Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, hukum privat mengatur kepentingan khusus termasuk mengatur hak ekonomi lembaga penyiaran.
“Oleh karena itu, dalil Pemohon sepanjang Pasal 32 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 telah menimbulkan ketidakpastian hukum adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Hakim Konstitusi yang membacakan pertimbangan hukum,” tukas Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Selain itu Mahkamah berpendapat, keberadaan Pasal 32 ayat (1) UU No. 11/2008 dan Pasal 25 ayat (2) huruf a UU No. 28/2014 sama sekali tidak menutup hak seseorang untuk menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi. Norma a quo justru mengatur hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka hukum, bahwa informasi tertentu yang merupakan milik publik atau milik swasta tetap dapat disampaikan oleh pihak lain sepanjang mendapatkan izin pihak pemegang hak dimaksud. Dengan demikian, lanjut Saldi, norma UU a quo hanya mengatur hak tersebut dilaksanakan dalam kerangka melindungi pihak lain yang memiliki hak hukum menguasai informasi tertentu sebagai hak ciptanya.
"Oleh karena itu, Pasal 32 ayat (1) UU No. 11/2008 tidak bertentangan dengan Pasal 28F UUD 1945. Sebab hak memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dapat dilakukan oleh lembaga penyiaran berlangganan setelah mendapat izin dari pemilik hak siar. Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," pungkas Saldi. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : M. Halim