JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) terkait aturan mengenai mekanisme pengangkatan serta periode masa jabatan ketua dan wakil ketua pengadilan pajak. Putusan Nomor 10/PUU-XVIII/2020 tersebut dibacakan pada Senin (28/9/2020) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan, ‘Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden dari para Hakim yang diusulkan Menteri setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung’, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘Ketua dan Wakil Ketua diangkat oleh Presiden yang dipilih dari dan oleh para Hakim yang selanjutnya diusulkan melalui Menteri dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 5 (lima) tahun’,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan yang disaksikan oleh para Pemohon secara virtual.
Baca juga: Mekanisme Pencalonan Pimpinan Inkonsisten, 3 Hakim Ujikan UU Pengadilan Pajak
Permohonan ini diajukan oleh Haposan Lumban Gaol, Triyono Martanto, dan Redno Sri Rezeki yang berprofesi sebagai hakim pengadilan pajak, yang mendalilkan Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 UUD 1945. Pemohon mendalilkan ketentuan norma a quo merugikan karena pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua yang diusulkan Menteri dalam Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menimbulkan masalah. Hal tersebut berkaitan dengan sistem pengangkatan dan pemberhentiannya, terutama dalam hal independensi, kemerdekaan, dan kewibawaan hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa pajak. Lebih lanjut, Pemohon menilai, bahwa UU a quo tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai mekanisme penentuan calon Ketua dan Wakil Ketua pengadilan pajak sebelum dimintakan persetujuan Ketua Mahkamah Agung dan diusulkan kepada Presiden oleh Menteri Keuangan.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan, terkait dalil para Pemohon yang menyatakan dirugikan akibat ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Pajak tentang pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua yang diusulkan oleh Menteri Keuangan, Mahkamah menilai bahwa hakim pengadilan pajak selain bebas dalam menjalankan kekuasaan kehakiman, juga harus bebas dalam menentukan pimpinannya. Hal ini mengingat dibutuhkan koordinasi dalam menjalankan tugas dan kewenangan dari badan peradilan itu sendiri, yang belum tentu diketahui oleh pihak eksternal (dalam hal ini Menteri Keuangan) terutama kualitas ataupun karakter dari masing-masing hakim.
“Oleh karena itu, menurut Mahkamah tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua Pengadilan Pajak harus dilepaskan dari keterlibatan Menteri Keuangan agar para hakim lebih dapat merefleksikan pilihan sesuai hati nurani, yang didasarkan pada pertimbangan kapabilitas, integritas, dan leadership dari calon pemimpinnya, serta dari hasil pilihannya tersebut para hakim dapat mempertanggungjawabkan konsekuensi pilihannya,” ucap Suhartoyo.
Baca juga: Pemohon Uji Ketentuan Pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak Perbaiki Permohonan
Berdasarkan alasan demikian, lanjut Suhartoyo, keterlibatan Menteri Keuangan hanya bersifat administratif untuk menindaklanjuti hasil pemilihan ketua atau wakil ketua, yang untuk berikutnya diteruskan pada Presiden, setelah adanya persetujuan Ketua Mahkamah Agung. Berikutnya terkait dengan pengusulan dan atau pemberhentian dengan hormat dan tidak hormat terhadap Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak, maka dengan sendirinya keterlibatan Menteri Keuangan pun hanya bersifat administratif.
Terbatas Soal Administratif
Berikutnya, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul mengatakan sehubungan dengan dalil para Pemohon terhadap frasa ‘pembinaan organisasi’ dalam Pasal 5 ayat (2) UU Pengadilan Pajak yang menghendaki pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak tidak boleh diusulkan oleh Kementerian Keuangan, maka Mahkamah menilai hal ini tidaklah tepat dengan cara menguji Pasal a quo terhadap UUD 1945. Karena pengertian dari frasa ‘pembinaan organisasi’ tersebut, belum tentu dapat diartikan termasuk dalam pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak. Terlebih lagi dalam ketentuan norma a quo, secara keseluruhan tidak mengatur mengenai tata cara maupun persyaratan pengusulan dan pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak.
“Oleh karena itu, menjadi tidak relevan melekatkan pemberlakuan secara bersyarat atas norma Pasal 5 ayat (2) UU a quo dengan persyaratan pengusulan dan pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak,” sebut Manahan.
Baca juga: Pemerintah: Mekanisme Pencalonan Pimpinan Pengadilan Pajak Konstitusional
Di samping pertimbangan hukum tersebut, Manahan melanjutkan bahwa terlepas pada kata ’pembinaan’ dapat mencakup keterlibatan Menteri Keuangan dalam pengusulan Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang dapat tumpang tindih dengan kewenangan independensi hakim, maka keraguan demikian tidak dapat dihindarkan. Sebab, sambung Manahan, sebagai konsekuensi dari masih ditegaskannya oleh Mahkamah Pasal 5 ayat (2) UU a quo adalah konstitusional, maka keterlibatan Menteri Keuangan dalam mengusulkan Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Pajak masih harus dipertahankan hingga terwujudnya Pengadilan Pajak berada dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung.
“Namun demikian, guna menjawab keraguan maka Mahkamah menegaskan jika keterlibatan Menteri Keuangan dalam pengusulan Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Pajak tersebut benar-benar hanya terbatas pada persyaratan formal yang bersifat administratif semata,” jelas Manahan.
Baca juga: DPR Tak Hadir dalam Sidang Akhir Uji UU Pengadilan Pajak
Satu Periodisasi
Selanjutnya, terkait periodisasi atau masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang juga dimohonkan oleh para Pemohon, Mahkamah menyatakan bahwa pada praktik demokrasi hal mendasar yang juga perlu dilakukan dalam sebuah organisasi adalah rotasi kepemimpinan secara periodik. Hal ini guna menghindari terjadinya praktik otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan. Melalui pengawasan internal yakni adanya pembatasan waktu atau masa jabatan yang didasarkan pada asumsi jika kekuasaan yang terus-menerus dapat menjadikan pimpinan yang cenderung menyalahgunakan kekuasaan, maka pemimpin haruslah memiliki jangka waktu dalam menduduki jabatan.
Periodisasi dalam suatu jabatan ini, jelas Suhartoyo, bukan hanya agar terjadi pergantian kepengurusan, tetapi juga untuk menciptakan proses kaderisasi dan regenerasi dalam sebuah lembaga atau jenjang karir para penggerak dari organisasi tersebut. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pimpinan pengadilan pajak terutama Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak sangat penting diberikan batasan masa jabatan. Oleh karena itu, masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Pajak yang relevan adalah satu kali periodisasi masa jabatan selama lima tahun.
“Dengan demikian, dalil para Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa frasa ‘dari para hakim’ dalam Pasal 8 ayat (2) UU 14/2002 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Ketua dan Wakil Ketua dipilih dari dan oleh Hakim dan diusulkan oleh Pengadilan Pajak untuk satu kali masa jabatan selama lima tahun beralasan menurut hukum. Sementara itu, dalil permohonan ara Pemohon sepanjang frasa ‘diusulkan menteri’ tidak beralasan menurut hukum dan Mahkamah memaknainya sebagai ‘diusulkan melalui menteri’,” urai Suhartoyo. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Annisa Lestari