JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) tidak dapat diterima. Permohonan ini diajukan oleh Teguh Satya Bhakti, Hakim Yustisial pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Republik Indonesia. Materi yang diujikan Pemohon yaitu Pasal 5 ayat (2), Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9 ayat (5), Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 25 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (4), dan Pasal 34 ayat (2) UU Pengadilan Pajak terhadap UUD 1945.
Baca Juga:
Hakim PTUN Uji UU Pengadilan Pajak ke MK
Penambahan Pasal Pengujian UU Pengadilan Pajak
“Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Pleno Hakim Konstitusi Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 57/PUU-XVIII/2020, Senin (28/9/2020) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum mencermati status Pemohon sebagai Hakim Yustisial sekaligus sebagai Panitera Pengganti pada Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung yang memiliki tugas dan fungsi membantu Majelis Hakim Agung. Menurut Mahkamah, status Pemohon tersebut tidak berkaitan langsung dengan anggapan kerugian konstitusional Pemohon dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Pemohon sebagai Hakim Yustisial maupun Panitera Pengganti di Mahkamah Agung. Sebab Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan adanya anggapan kerugian konstitusional yang bersifat spesifik, baik yang bersifat aktual maupun potensial yang dialami oleh Pemohon. Terlebih apabila anggapan kerugian konstitusional tersebut dikaitkan dengan adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara anggapan kerugian konstitusional Pemohon dengan berlakunya norma dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian.
“Pemohon bukanlah subjek hukum yang secara langsung terhambat dalam melaksanakan fungsinya yang membutuhkan kemandirian hakim, khususnya mengaktualisasikan independensinya dalam mengambil putusan terhadap perkara-perkara perpajakan, sehingga memengaruhi dan bahkan dapat menciderai rasa keadilan yang diakibatkan belum adanya sistem satu atap terhadap Pengadilan Pajak (one roof system),” kata Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.
Di samping itu, Pemohon juga bukan subjek hukum yang secara langsung terkena dampak adanya sistem pembinaan Pengadilan Pajak di bawah Kementerian Keuangan yang dapat berpengaruh terhadap independensi pengadilan pajak di dalam melaksanakan fungsi yudisialnya. Oleh karena itu, Mahkamah tetap tidak mendapatkan keyakinan adanya anggapan kerugian konstitusional yang dialami oleh Pemohon tersebut yang bersifat spesifik, baik aktual maupun potensial yang dapat terjadi pada diri Pemohon dan hal tersebut berkorelasi dengan berlakunya norma dari pasal-pasal yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon.
Pemohon pernah memiliki kedudukan hukum dalam permohonan pengujian undang-undang di MK, yaitu dalam Putusan Nomor 28/PUU-IX/2011 dan Putusan Nomor 37/PUU-X/2012. Kendati demikian, Mahkamah berpendapat, pemohon yang pernah memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian UU di MK tidak serta-merta dapat memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian dalam perkara lain. Sebab, kedudukan hukum yang dimiliki pemohon tergantung terpenuhi atau tidaknya kualifikasi subjek hukum sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, dan juga harus terpenuhinya syarat-syarat adanya anggapan kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksudkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007, di mana kedua syarat tersebut harus dipenuhi karena bersifat kumulatif.
“Subjek hukum dan syarat-syarat kerugian konstitusional merupakan persyaratan yang bersifat kumulatif yang tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya Mahkamah berkesimpulan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo,” lanjut Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh.
Penulis: Nano Tresna Arfana.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.