JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dinilai kabur oleh Mahkamah Konstitusi. “Amar putusan mengadili, menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” tegas Ketua Pleno Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi lainnya dalam sidang pengucapan putusan Perkara Nomor 56/PUU-XVIII/2020 pada Senin (28/9/2020).
Channy Oberlin Aritonang selaku Pemohon Perkara 56/PUU-XVIII/2020 ini menguji sejumlah pasal dalam KUHAP yakni Pasal 1 angka 14, Pasal 184 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 1 angka 14 menyatakan, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaanya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Kemudian Pasal 184 ayat (1), “Alat bukti yang sah ialah: a. Keterangan Saksi; b. Keterangan Ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa” dan Pasal 184 ayat (2), “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang menganggap hak konstitusionalnya telah dirugikan. Pemohon menjelaskan dalam dalilnya bahwa dirinya merasa ditipu oleh oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bappenas yang menjanjikan anak Pemohon dapat diterima bekerja di PT Aneka Tambang. Setelah Pemohon mengikuti informasi yang diberikan oleh oknum ASN tersebut, anak Pemohon tidak diterima bekerja di PT Aneka Tambang, sedangkan Pemohon telah melakukan transfer sejumlah uang kepada pihak oknum ASN tersebut.
Baca juga: Merasa Ditipu, Seorang Ayah Uji KUHAP
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Aswanto, Mahkamah menilai permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formal permohonan secara sistematika. Pada bagian kedudukan hukum, Pemohon tidak menguraikan secara spesifik adanya hubungan kausalitas bahwa berlakunya pasal yang diujikan dianggap merugikan Pemohon yang telah melaporkan penipuan makelar penerimaan pegawai dan penghentian proses penyidikannya.
“Pemohon hanya menguraikan kasus konkret yang tidak ada relevansinya dengan norma yang diujikan, yakni keterangan para Saksi Pemohon terkait dengan penipuan yang diduga dialami Pemohon. Pada bagian alasan permohonan, Pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi pertentangan antara pasal yang dimohonkan dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945. Bahkan dalam permohonannya, Pemohon tidak menyebutkan dasar pengujian yang digunakan. Pemohon hanya menguraikan kasus konkret yang dialami tanpa adanya argumentasi konstitusional mengenai pertentangan norma yang diajukan dengan norma UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian,” ungkap Aswanto.
Baca juga: Pemohon Uji KUHAP Perbaiki Objek Perkara
Sedangkan pada bagian petitum, sambung Aswanto, Pemohon hanya meminta permohonan uji materi yang diajukan diterima tanpa menyebutkan agar pasal atau norma yang diuji dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam petitum lainnya, Pemohon justru meminta agar mencabut penghentian penyidikan dan mengabulkan praperadilan yang jelas-jelas tidak berhubungan dengan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon adalah kabur karena tidak memenuhi syarat format permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK. Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun karena permohonan Pemohon adalah kabur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan lebih lanjut permohonan Pemohon,” ujar Aswanto. (*)
Penulis : Nano Tresna Arfana
Editor : Lulu Anjarsari
Humas : Fitri Yuliana