JAKARTA, HUMAS MKRI – Siapa tak kenal dengan sosok Hakim Konstitusi Saldi Isra? Sosoknya telah menjadi inspirator khususnya bagi almamater tempat ia menimba ilmu dan memulai jenjang kariernya, yakni Universitas Andalas (Unand). Hal ini terungkap dalam acara temu wicara dalam jaringan dengan narasumber keluarga besar Unand, pada Jumat (25/9/2020) malam. Acara tersebut bertajuk “Unand Inspiring” diselenggarakan oleh Green Studio Fakultas Pertanian Unand (FAPERTA Unand) yang dipandu oleh Dekan FAPERTA Unand Munzir Busniah dan Dosen Biologi Henny Herwina, Saldi menceritakan secara singkat perjalanan hidupnya.
Dalam acara tersebut, Saldi bercerita bahwa setelah lulus MA, kemudian ia berusaha mengejar mimpi untuk berkuliah ke ITB. Memilih jurusan Fisika saat SMA membuat keinginannya untuk bisa kuliah di ITB sangat besar. Karena itu, mengikuti PMDK ke ITB, namun ternyata ia masih gagal. Tak mau menyerah terlalu dini, kemudian mengikuti Sipenmaru pada 1988 dengan mengambil jurusan Geologi ITB. Lagi-lagi ia harus menelan pil pahit karena gagal lagi menjadi mahasiswa ITB.
Namun tak berhenti disitu, Saldi Isra kembali mengikuti UMPTN 1989 dengan mendaftar ke ITB lagi. Lagi-lagi dia gagal. Tiga kali gagal, Saldi Isra kemudian merantau ke Jambi untuk mencari kerja. Setelah uang yang dimilikinya dirasa cukup untuk masuk kuliah, akhirnya Saldi Isra kembali mencoba peruntungan untuk mendaftar UMPTN pada 1990.
Saldi Isra memilih tiga jurusan, yakni Teknik Pertambangan Universitas Sriwijaya sebagai pilihan pretama, Teknik Sipil Universitas Andalas, serta Ilmu Hukum Universitas Andalas sebagai pilihan terakhir. Ilmu Hukum merupakan pilihan yang tidak ia pikirkan karena ia cantumkan untuk mengisi jurusan IPS saja. Namun siapa sangka, Saldi Isra justru lulus UMPTN di Jurusan Ilmu Hukum yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Akan tetapi, ketika ia mengambil jurusan Ilmu Hukum, Ia ragu dengan dirinya sendiri apakah bisa mengikuti perkuliahan.
“Di tengah-tengah keraguan itu, saya ikut ujian semester 1 dan ketika hasilnya keluar diluar perkiraan saya. IP saya ketika itu 3,71, saya berpikir dengan cara belajar masih belum yakin betul mendapatkan IP segitu. Lalu, saya perbaiki cara belajar di semester 2 ikut ujian lagi IP saya 4 lho di semester 2. Disitu saya mulai berpikir jangan-jangan memang Tuhan sengaja menyembunyikan tempat yang harus saya cari berkali-kali untuk ditemukan. Dan akhirnya saya temukan di Fakultas Hukum. Kemudian, saya mulai memikirkan kalau sudah di Fakultas Hukum mau jadi apa. Imajinasi saya waktu itu harus jadi lawyer, harus jadi advokat ketika itu atau kalau tidak jadi dosen,”cerita Saldi. Menurutnya, untuk mem-backup itu, Saldi harus banyak membaca dan menulis.
Saldi mengatakan, mulai menulis serius ketika akan tamat S1. “Jadi saya baru mulai tulisan saya dimuat di Koran Singkalang, kalau tidak salah,” ujar Saldi. Kemudian, lanjut Saldi, ketika tamat himpitan hidup semakin lama semakin berat. Menulis merupakan suatu keterpaksaan. Kemudian Saldi mulai belajar pelan-pelan menulis.
Lulus sebagai sarjana hukum terbaik dari Universitas Andalas membuat Saldi Isra langsung dipinang oleh Universitas Bung Hatta untuk menjadi dosen di sana, meski tak sampai setahun, ia kembali ke almamaternya pada Oktober 1995. Ia terus menulis dan mengirimkan tulisannya tersebut ke Republika.
Selain mengajar, Saldi Isra juga aktif menulis. Beberapa buku telah berhasil ia tulis dan diterbitkan oleh beberapa penerbit. Sambil mengajar, Saldi Isra juga melanjutkan kuliah S2 di Malaysia.
Di sela kegiatannya sebagai pengajar, Saldi dikenal aktif sebagai penulis baik di berbagai media massa maupun jurnal dalam lingkup nasional maupun internasional. Ribuan karyanya yang ia tulis sejak masih duduk di bangku mahasiswa membuatnya dikenal luas di kalangan masyarakat. Tak heran, jika wajahnya kerap berseliweran di media massa baik elektronik maupun cetak sebagai narasumber. Ia pun dikenal sebagai Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Unand yang memperhatikan isu-isu ketatanegaraan. Tak hanya itu, ia juga terlibat aktif dalam gerakan antikorupsi di Tanah Air.
Ia mengatakan, salah satu yang paling berat ketika ingin jadi hakim konstitusi, ia harus meninggalkan kebiasaan menulis. Padahal, hal tersebut merupakan sesuatu yang ia pertahankan dari awal. Meski sebenarnya Saldi tidak pernah belajar menulis secara sistematis yang mungkin dilakukan oleh sebagian orang.
Selain itu, Saldi juga bercerita bahwa banyak tokoh yang menjadi bagian dari proses perjalanan hidupnya. “Saya tidak bisa mengatakan maju sendiri, ada juga faktor lingkungan yang membantu untuk itu,” jelasnya.
Testimoni Sahabat
Hendra merupakan Wakil Rektor Universitas Negeri Padang yang merupakan sahabat Saldi dari SD hingga SMA bercerita tentang sosok Saldi Isra. Ia mengatakan, ketika kelas 1 SD, Saldi mulai membantu kakak sepupu menjaga toko emas. Hingga akhirmya, Saldi pandai mengukir perhiasan. Dari kecil, ia sudah memiliki rasa berani dan keyakinan yang besar. Selain itu, kemampuan akademis sudah terlihat sejak SD. Saldi mempunyai cita-cita sangat tinggi, yakni Insinyur. Menurut Hendra, apa yang diraih oleh Saldi sampai sejauh ini bukan serta-merta tetapi sudah dibangun dari kecil.
Lain hal dikatakan oleh I Dewa Gede Palguna yang merupakan karib Saldi selama menjabat sebagai hakim konstitusi. Palguna mengatakan, selama menjadi Hakim Konstitusi bersama dengan Saldi Isra sebagian besar sering berpendapat sama. Namun, dalam hal tertentu juga berbeda pendapat. Menurut Hakim Konstitusi dua periode tersebut, perbedaan pendapat itu tidak menghilangkan kedekatan mereka sebagai sahabat bahkan seperti saudara.
Palguna juga mengatakan bahwa Saldi memiliki keyakinan yang kuat yang mana ketika Saldi sudah menyampaikan pandangannya maka sulit untuk berubah. Kecuali bisa menyakinkan dia dengan sesuatu yang sangat fundamental. Selain itu, Saldi merupakan sosok yang sangat produktif dan sangat cepat dalam menulis.
Meneruskan ke Generasi Berikutnya
Sementara Zainal Mochtar mengatakan bahwa ia bertemu dengan Saldi Isra melalui tulisan-tulisan. Menurutnya, Saldi merupakan sosok egaliter. Ia tidak memperlihatkan senior dan junior ketika bergaul dengan orang yang usia di bawahnya. Saldi Isra dinilai sebagai orang yang pendiam, tetapi saat hal tertentu ia mempunyai kemarahan. Kemudian, lanjut Zainal, Saldi mempunyai kemampuan menulis yang jauh lebih baik dan sangat produktif.
Selain itu, Zainal juga menyampaikan kritik kepada Saldi. “Harus ada representasi pemikiran-pemikiran cemerlang yang harus di tampilkan. Menurut Zainal, tradisi menulis mulai ditinggalkan teman-teman di Unand. Saldi isra memiliki tradisi yang sangat menarik dan tongkat estafet itu seharusnya tidak dipegang terus oleh Saldi. “Prof Saldi bukan pelari tunggal, maka harus diserahkan ke generasi selanjutnya,” tegas Zainal. (*)
Penulis : Utami Argawati
Editor : Lulu Anjarsari