JAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjadi narasumber Pelatihan Analisis Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Sekretariat Negara pada Jumat (25/9/2020) siang secara virtual.
Mengawali pertemuan, Enny menyinggung politik hukum di Indonesia yang menjadi penentu arah kebijakan hukum dan perundang-undangan dalam rangka melakukan pembaruan hukum menuju pada hukum yang dicita-citakan. Politik hukum di Indonesia sampai saat ini masih menjadi perdebatan di antara banyak ahli, menyangkut letak politik hukum.
“Apakah letaknya di ilmu hukum atau di ilmu politik, ini masih menjadi perdebatan dan belum ada satu kesatuan pendapat. Selama ini kita hanya memahami hukum pada bunyi ketentuan norma itu sendiri. Tetapi kita tidak memahami mengapa norma itu dibentuk, apa yang melatarbelakangi suatu norma dan apakah norma itu dibutuhkan oleh masyarakat,” kata Enny yang menyajikan tema “Fungsi dan Peranan Politik Hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”.
Dikatakan Enny, ada pandangan sejumlah tokoh terkait perdebatan politik hukum. Mereka yang studi hukum tata negara umumnya lebih banyak mempelajari hukum positif. Namun pakar hukum Belinfante mengatakan sebaliknya. Tidak hanya mempelajari hukum positif ketika kita mempelajari ilmu hukum tata negara. Tetapi juga ada faktor lain yang sangat memengaruhi di luar hukum positif. Salah satunya terkait dengan politik hukum. Oleh sebab itu, Belifante meletakkan studi politik hukum adalah bagian dari hukum tata negara.
Pakar hukum lainnya, Moh. Mahfud MD juga menegaskan politik hukum adalah bagian dari studi hukum tata negara. Menurut Mahfud, ketika kita mempelajari politik, hal itu studi tentang legal policy-nya. Garis resmi dari negara tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan. Kemudian saat mempelajari politik hukum akan dipahami pergulatan politik yang melahirkan hukum dengan asumsi bahwa hukum adalah produk politik. Di sisi lain, juga dikatakan Mahfud, dalam studi politik hukum mencakup implementasi terkait bagaimana bekerjanya hukum di lapangan.
Dari berbagai pandangan tersebut, sambung Enny, ada satu pandangan yang menarik yaitu pandangan dari tokoh nasional Mochtar Kusumaatmadja. Pandangan ini sudah cukup lama tapi sangat relevan untuk didiskusikan. Kaitannya dengan pembentukan hukum, dalam hal ini pembentukan undang-undang. Banyak orang hanya bicara tentang hukum secara normatif, kadang-kadang terbentur pada sisi yang tidak bisa paham sekali. Karena ternyata ada beberapa faktor yang sangat memengaruhi bagaimana kemudian hukum itu bisa terbentuk.
Sementara pakar hukum Satjipto Rahardjo, kata Enny, melihat dari aspek sosiologi hukum. Satjipto sangat menekankan bahwa dalam studi hukum tidak bisa berpihak pada ketentuan normatif saja. Kalau hanya memahami ketentuan normatif, tidak bisa memahami aspek-aspek lain yang bisa memberikan makna bagaimana pembentukan hukum seharusnya dilakukan. Sehingga perlu dipahami aspek sosiologis dalam pembentukan hukum.
“Yang menarik adalah senior saya, Sunaryati Hartono yang pernah menjadi Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional, sering mendiskusikan kerisauan kita bersama mengenai kondisi hukum di Indonesia saat ini. Sampai saat ini masih ada kerisauan bagaimana sebetulnya pembentukan hukum yang dibutuhkan masyarakat kita. Di situlah kemudian dibutuhkan politik hukum yang bisa dikatakan sebagai sebuah sarana, alat yang bisa kita gunakan untuk menciptakan sebuah sistem hukum nasional yang dikehendaki, untuk kemudian memenuhi bagaimana cita hukum kita,” ungkap Enny.
Enny juga mengungkapkan, hingga saat ini terdapat sekitar 400 produk perundang-undangan di Indonesia dari zaman kolonial Belanda dan hingga sekarang masih diberlakukan. Misalnya masyarakat Indonesia masih dihadapkan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) produk dari Belanda yang sudah dilakukan pembaruan sedemikian rupa. Namun ironisnya, ketentuan pidana itu saat ini banyak sekali terjemahannya, yang belum ada satu terjemahan resmi soal itu. Tak jarang ada perbedaan antara terjemahan satu dengan lainnya. Belum lagi bermacam produk perundang-undangan, misalnya tentang izin gangguan, sampai sekarang masih belum dicabut. Kenyataan-kenyataan inilah menurut Enny, perlu ada arah kebijakan, salah satunya dengan mendesain sedemikian rupa politik hukum yang diterapkan untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan.
“Oleh karena itulah kemudian, bagaimana kita mendesain pembangunan hukum, kita dihadapkan pada satu kondisi yang tidak bisa kita nafikan bersama bahwa hukum itu produk politik. Sebagai produk politik, mau tidak mau, pembentukan hukum tidak bisa dipahami hanya perspektif normatif saja. Di situ kemudian muncul pergulatan yang sedemikian rupa. Apalagi kemudian dari sisi pemahaman yang berkembang, ketika pembentukan hukum pada rezim yang otoriter, coraknya represif. Ketika pembentukan hukum pada rezim yang demokratis, coraknya responsif. Tapi ini bukan menjadi sesuatu yang mutlak,” ucap Enny.
Terkait proses pembentukan hukum di Indonesia, menurut Enny, tidak bisa melepaskan dengan lembaga politik yang berperan penting dalam menentukan pembentukan hukum. Ketika bicara lembaga politik, tidak bisa dilepaskan dari pilihan untuk menentukan hal yang akan diatur sebagai bagian dari ketentuan hukum. Pergulatan-pergulatan terkait pilihan yang akan diambil dalam proses pembentukan hukum, sangat menentukan.
“Misalnya ada anggota DPR yang mengusulkan adanya UU Permusikan yang memunculkan perdebatan sedemikian rupa, ini menjadi hal menarik. Karena ini usul dari konstituen, apakah mewakili kepentingan masyarakat secara mayoritas, atau hanya kelompok-kelompok tertentu. Sementara substansi dari usulan undang-undang itu sebetulnya lebih banyak pada persoalan hak cipta. Padahal kita sudah memiliki UU Hak Cipta,” jelas Enny.
Lebih lanjut Enny menerangkan sistem hukum nasional merupakan sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, bermasyarakat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam sistem hukum nasional banyak keterkaitannya dengan hukum yang berlaku, tidak hanya hukum tertulis tetapi juga hukum tidak tertulis. Contohnya, pengelolaan sumber daya alam yang didorong untuk menjadi suatu undang-undang. Begitu banyak masyarakat yang ingin terlibat di dalamnya. Begitu banyak Non Government Organization (NGO) yang ingin berperan serta untuk bisa mengawal terkait undang-undang itu.
“Tapi harus diingat bahwa rancangan undang-undang itu ketika kemudian akan didorong menjadi sebuah prioritas, sangat berkaitan erat dengan hak-hak masyarakat hukum adat. Hal itu pelik sekali persoalannya. Induknya ada pada undang-undang yang mana? Kalau kita bicara pengelolaan sumber daya alam, ada sekian banyak undang-undang sektoral yang melingkupinya. Jadi hal-hal semacam ini memang harus diselesaikan. Sehingga dengan Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Alam bisa menyelesaikan berbagai macam persoalan,” imbuh Enny.
Disampaikan Enny, terdapat fakta yang tak bisa dihindari bahwa saat ini ada beberapa produk undang-undang yang ‘sumbunya’ pendek. Artinya, produk undang-undang tidak bisa menjangkau untuk jangka waktu yang dibutuhkan dan bisa menyelesaikan persoalan, namun menimbulkan persoalan baru. Ini bisa terjadi karena saat proses pembentukannya tidak melibatkan stakeholders terkait, atau pelibatannya sangat formal. Selain itu ada fakta ‘obesitas’ peraturan perundang-undangan yang belum ditangani dengan baik. Sehingga harus memangkas regulasi yang tidak harus dilanjutkan, mana yang harus diubah. Karena memang tabiat birokrasi yang rajin ingin membentuk satu produk hukum, khususnya peraturan perundang-undangan.
Bicara sejarah bangsa Indonesia membangun sistem hukum nasional, Enny menjelaskan adanya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan turunannya dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) maupun program pembangunan tahunan. GBHN bertujuan melakukan pembaruan hukum, dalam rangka mengganti produk hukum kolonial. Dalam GBHN Tahun 1960, belum ada arah kebijakan pembangunan bidang hukum dan fokus pada bidang ekonomi. Dalam GBHN Tahun 1973, pembangunan hukum menjadi bidang tersendiri, lalu dirumuskan dengan arah kebijakan untuk peningkatan, penyempurnaan pembinaan hukum nasional yang antara lain melakukan pembaruan. Dalam GBHN Tahun 1978 masih mengulangi GBHN Tahun 1973. Penambahannya terkait membentuk perundang-undangan untuk mengatur kewajiban dan hak asasi manusia, pembentukan UU PTUN, serta membangun budaya hukum untuk meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Sementara dalam GBHN 1983 menyebutkan program peningkatan prasarana dan sarana dalam pembangunan hukum, penekanannya pada penyuluhan hukum.
Penulis: Nano Tresna Arfana
Editor: Nur R.